Gay/Lesbi/Trans boleh di Buddhis
Tidak seperti Agama lainnya yang kebanyakan mengutuk homoseksual (yang dapat dilihat dalam Kitab Suci mereka), Agama Buddha tidak pernah mengutuk homoseksual atau siapapun dan itu dapat dibuktikan bahwa segala jenis pengutukan tidak pernah terjadi dalam perkembangan Agama Buddha sehingga tidak pernah tercatat dalam Kitab Suci Agama Buddha Tipitaka.
++++++++++++++++++++++++
Oleh karena homoseksual tidaklah secara eksplisit dibicarakan dalam khotbah Buddha, kita hanya bisa mengasumsikan bahwa masalah ini juga bisa dievaluasi dengan cara yang sebagaimana adanya heteroseksual. Dan sesungguhnya atas dasar inilah, homoseksual tidak secara khusus dikupas.
Dalam kehidupan umat awam antara pria dan wanita, dimana ada kesepakatan bersama, dimana tidak ada perbuatan penyelewengan, dan di mana hubungan seksual adalah ungkapan rasa cinta, hormat, kesetiaan, dan kehangatan, ini semua tidaklah melanggar sila ke-3 Pancasila Buddhis (berusaha untuk tidak melakukan perjinahan).
Homoseksualitas sudah dikenal di zaman India kuno; masalah ini secara eksplisit. Disinggung dan dilarang di dalam Vinaya. Akan tetapi, tidak dituding secara khusus, melainkan disebutkan di antara banyak jenis perilaku penyimpangan seksual lain yang bertentangan dengan keharusan hidup seharusan hidup selibat seorang biarawan/wati. Hubungan seksual, apakah dengan pasangan sejenis atau lawan jenis, di mana organ seks memasuki vagina, mulut, atau anus, adalah tindakan yang bisa mengakibatkan dikeluarkannya seseorang dari Sangha. Tindakan seksual lainnya seperti saling masturbasi, walaupun bukan dianggap sebagai pelanggaran berat dan tidak mengakibatkan dikeluarnnya dari sangha, tetapi harus diakui di depan anggota sangha (persaudaraan Bhikku/bhikkuni).
Tipe orang yang disebut dengan “pandaka” seringkali disinggung dalam Vinaya untuk menggambarkan seseorang yang berperilaku seksual tidak tepat. Vinaya juga menetapkan bahwa para pandaka tidak diperbolehkan untuk ditahbiskan, dan apabila secara tidak disengaja telah ditahbiskan, orang tersebut akan dikeluarkan dari sangha. Menurut penjelasan kitab, hal ini disebabkan para pandaka tersebut ‘penuh dengan nafsu, haus akan birahi, dan didominasi oleh keinginan seksual”. Kata “pandaka” diterjemahkan sebagai banci atau kaum homoseksual yang berperilaku seperti layaknya perempuan. Oleh karena Buddha mempunyai pemahaman yang mendalam akan sifat manusia, dan sungguh-sungguh bebas dari segala pasangka, dan karena tidak ada bukti bahwa kaum homoseksual mempunyai tingkat birahi yang lebih tinggi atau lebih sulit mempertahankan hidup sebagai biarawan/wati. Oleh karenanya, istilah “pandaka” kemungkinan besar tidak mengacu kepada homoseksual secara umum, melainkan segelintir kaum homoseksual yang feminis, yang secara terang-terangan berpenampilan seperti wanita di depan umum.
Oleh karena homoseksual tidaklah secara eksolisit dibicarakan dalam khotbah Buddha, kita hanya bisa mengasumsikan bahwa masalah ini juga bisa dievaluasi dengan cara yang sama sebagaimana adanya heteroseksual. Dan sesungguhnya atas dasar inilah, homoseksual tidak secara khusus dikupas. Dalam kehidupan umat awam antara pria dan wanita, di mana ada kesepakatan bersama, dimana tidak ada perbuatan penyelewengan, di mana hubungann seksual adalah ungkapan rasa cinta hormat, kesetiaan dan kehangatan, ini semua tidaklah melanggar sila ke-3. Dan sama pula halnya apabila kedua orang tersebut berjenis kelamin sama. Tindakan seperti penyelewengan dan pengabaian perasaan pasangan kita akan menjadikan suatu perbuatan seksual tidak tepat, baik itu homoseksual ataupun heteroseksual. Semua prinsip yang kita gunakan untuk mengevaluasi hubungan heteroseksual akan kita gunakan pula untuk mengevaluasi hubungan homoseksual.
Di dalam agama Buddha, bisa kita katakan bahwa bukanlah objek dari nafsu seksual seseorang yang menentukan apakah suatu hubungan seksual seseorang yang baik atau tidak, melainkan sifat dari emosi dan maksud yang melandasinya.Walaupun demikian, Buddha kadangkala menganjurkan untuk menghindari perilaku tertentu, bukan karena hal ini salah dari sudut pandang etika melainkan akan menjadi seseorang aneh di dalam lingkungan sosial, atau karena akan mengakibatkan sanksi akibat pelanggaran hukum yang berlaku. Dalam hal-hal seperti ini, Buddha berkata bahwa menjauhkan diri dari perilaku seperti itu akan membebaskan seseorang dari kecemasan dan rasa malu yang disebabkan oleh ketidaksetujuan sosial atau ketakutan akan sanksi hukum. Homoseksualitas tentu saja akan masuk dalam kategori perbuatan ini. Dalam hal ini, seorang homoseksual haruslah memutuskan apakah ia akan mengikuti arus harapan masyarakat umum atau mencoba mengubah sikap publik.
Pandangan yang menolak homoseksualitas
Sekarang kita akan secara ringkas menelaah berbagai penolakan terhadap homoseksualitas dan memberikan pandangan penolakan dari sisi ajaran Buddha. Penolakan yang paling umum di dalam masyarakat adalah karena homoseksualitas tidaklah alami dan melanggar hukum alam. Tampaknya sedikit sekali landasan bagi pendapat seperti ini. Miriam Rothschild, seorang ahli biologi ternama, telah menunjukkan bahwa perilaku homoseksualitas juga telah ditemukan dalam hampir semua jenis spesies hewan. Kedua, walaupun bisa disanggah bahwa fungsi biologis dari seks adalah reproduksi, kebanyakan hubungan seksual dewasa ini bukanlah untuk tujuan reproduksi, melainkan sebagai hiburan dan pemuasan emosi, dan bahwa ini juga merupakan fungsi sah dari hubungan seksual. Dengan demikian, walaupun hubungan homoseksual tidaklah alami dalam arti tidak bisa menghasilkan fungsi reproduksi, hubungan ini adalah alami karena bisa memberikan pemuasan fisik dan emosi bagi pelakunya.
Kita seringkali mendengar, “Jika homoseksual bukanlah illegal, akan banyak orang, termasuk kaum muda, akan menjadi gay.” Pernyataan seperti ini menggambarkan kesalahpahaman yang serius terhadap homoseksualitas, atau mungkin suatu potensi homoseksualitas dalam diri orang yang membuat pernyataan tersebut. Hal ini sama bodohnya dengan mengatakan bahwa apabila bunuh diri bukanlah perbuatan yang melanggar hukum, semua orang akan melakukannya. Apapun penyebab homoseksualitas (akan banyak sekali perdebatan tentang masalah ini), seseorang pastilah tidak akan “memilih” untuk menjadi orientasi seks sesama jenis, seperti layaknya memilih minum teh atau kopi.
Beberapa orang berpendapat bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam diri seorang homoseksual karena begitu banyaknya kaum homoseksual yang jiwa atau emosinya yang terganggu. Sekilas, tampak ada benarnya pernyataan ini. Di barat, setidak-tidaknya banyak kaum homoseksual yang menderita masalah kejiwaan, kecanduan alkohol, dan menujukkan perilaku seksual yang sangat menggoda. Dalam pengelompokan data, kaum homoseksual menduduki peringkat tertinggi dalam kasus bunuh diri. Kemungkinan sekali bahwa kaum homoseksual lebih menderita akibat perlakuan sosial masyarakat terhadap mereka atas dasar orientasi seksual mereka, dan apabila mereka akan menunjukkan gejala yang sama pula. Sesungguhnya, inilah yang menjadi argumen terkuat untuk menerima dan memahami homoseksualitas.
Walaupun di negara-negara yang banyak penganut agama Buddha, homoseksual tidak ditentang secara nyata-nyata dalam hukum yang berlaku, bukanlah berarti homoseksualitas bisa diterima di negara-negara tersebut. Hal ini lebih disebabkan karena pengaruh agama Buddha yang berlandaskan manusiawi dan penuh toleransi. Walaupun demikian, seringkali ditemui adanya prasangka dan diskriminasi terhadap kaum homoseksual di negara-negara tersebut. Sekali lagi perlu dijelaskan bahwatidak ada bagian dalam agama Buddha yang membenarkan adanya kutukan, hukuman, maupun penolakan terhadap kaum homoseksual atau perilaku homoseksual.
Tidak seperti Agama lainnya yang kebanyakan mengutuk homoseksual (yang dapat dilihat dalam Kitab Suci mereka), Agama Buddha tidak pernah mengutuk homoseksual atau siapapun dan itu dapat dibuktikan bahwa segala jenis pengutukan tidak pernah terjadi dalam perkembangan Agama Buddha sehingga tidak pernah tercatat dalam Kitab Suci Agama Buddha Tipitaka.
Alasan yang kuat untuk itu adalah bahwa Agama Buddha berlandaskan pada Kasih Sayang dan Kebijaksanaan. Dan selama lebih dari 2500 tahun perkembangan Agama Buddha selalu dilandasi oleh Kasih Sayang dan Kebijaksanaan sehingga tidak pernah terjadi paksaan atau pertumpahan darah atas nama Agama Buddha.
Siapa saja, termasuk kaum Gay dan Lebsian berhak untuk menjadi umat Buddha karena Sang Buddha menawarkan Jalan Pembebasan bagi siapa saja termasuk Anda. Bahkan Sang Buddha selaku pendiri Agama Buddha pernah menerima pelacur menjadi murid, jadi tidak ada alasan bagi pihak-pihak tertentu mengatakan bahwa Homoseksual tidak boleh menjadi umat Buddha.
Ini dia Pancasila (Buddhis) yang dianjurkan untuk dijalankan dalam hal mencapai kebahagiaan dalam Buddhisme:
1. Saya berusaha untuk menghindari pembunuhan.
2. Saya berusaha untuk menghindari pencurian
3. Saya berusaha untuk menghindari perjinahan
4. Saya berusaha untuk menghindari kata-kata bohong.
5. Saya berusaha untuk menghindari mabuk-mabukan.
1. Saya berusaha untuk menghindari pembunuhan.
2. Saya berusaha untuk menghindari pencurian
3. Saya berusaha untuk menghindari perjinahan
4. Saya berusaha untuk menghindari kata-kata bohong.
5. Saya berusaha untuk menghindari mabuk-mabukan.
Anda lihat sendiri, tidak ada alasan seorang gay atau lesbian atau kaum transexual tidak bisa melaksanakan ke 5 sila dalam Pancasila Buddhis itu. Mungkin ada pertanyaan tentang sila ke 3. Berusaha untuk menhindari perjinahan. Dalam Buddhis, hubungan sexual yang direstui adalah sex yang dilakukan dengan dasar cinta, tanpa paksaan tapi atas dasar kesadaran pelaku seiring dengan kedewasaan pelakunya. Jadi sama sekali tidak mengacu ke surat nikah sebagai sahnya sebuah hubungan badan.
Perjinahan dalan Buddhisme lebih kepada acuan hubungan sex yang dilakukan tidak pada pasangan orang lain, pemerkosaan dan pada mereka yang masih di bawah umur.
Intinya adalah bukan pada orientasi sexualnya, tetapi kepada kemampuannya menjalankan apa yang dinamakan kebajikan. Buddhisme tidak pernah secara tegas ataupun samar mencap kaum kaum gay/lesbian dan transexual sebagai orang yang pasti masuk neraka. Tidak ada sama sekali. Apa yang membuat mahluk hidup lahir di alam yang rendah, adalah karena perbuatan mereka yang didasari atas kesadaran (cetena).
Apabila anda dan pasangan bersama-sama menjalankan Pancasila Buddhis, maka anda berdua akan lebih yakin dalam membina hubungan ini. Sama-sama bebas dari pengejaran pihak berwenang/hukum, sama-sama jujur dan tidak berbohong sehingga tidak saling mencurigai, sama-sama tidak melakukan perbuatan asusila, dan sama-sama selalu sadar sehingga keuangan juga terjamin.
Sedangkan untuk diterima menjadi anggota Sangha (Bhikkhu/ni atau Ulama Buddhis), seseorang harus meninggalkan kehidupan seksualnya baik itu Homoseksual ataupun Heteroseksual. Dengan kata lain, seorang anggota Sangha harus menjadi Aseksual sehingga sebelum seorang Gay atau Lesbian dapat mengambil sumpah untuk menjalankan kehidupan suci, maka mereka harus meninggalkan kebiasaan seksual mereka.
Akan tetapi perlu diingat bahwa Agama Buddha juga tidak mendukung atau menggalakkan seseorang menjadi Gay atau Lesbian. Kata-kata yang lebih tepat adalah Agama Buddha menerima siapa saja dalam kondisi alami mereka untuk mengapai kebahagiaan, karena semua orang berhak untuk memperoleh kebahagiaan dan perlu dicantumkan bahwa siapapun anda, semuanya memiliki benih keBuddhaan didalam diri anda. Anda tidak perlu mencari kebahagiaan, atau mencariNya diluar diri Anda.
0 Response to "Gay/Lesbi/Trans boleh di Buddhis"
Posting Komentar