MENULIS SEPERTI PRIYAYI, BUAT APA?
Rakyat Indonesia, yang sekarang berkisar 250 juta jiwa, mayoritasnya berasal dari suku Jawa. Hampir di setiap pelosok nusantara, orang orang Jawa bisa beradaptasi dengan baik dengan penduduk setempat. Di tempat saja, paguyuban orang orang Jawa ii dikenal dengan nama Pujakesuma. Putera Jawa kelahiran Sumatera.
Kemudian dalam hal politik juga, sentral politik Indonesia ini adalah Jawa. Bukan hanya sekarang. Dari jaman kerajaan dulu, baik yang Hindu, Buddha dan Islam, sampai pada masa Belanda, konsentrasi politik berada di Jawa. Mungkin sebentar pernah diambil alih Sri Wijaya yang terletak di Sumatera.
Namun, dalam keluarga kerajaan Sri Wijaya juga mengalir wangsa Sailendra, yang berhubungan kuat dengan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Bahkan, dalam sejarahnya. Raja terbesar Sri Wijaya, yaitu Balaputeradewa, adalah pelarian dari Sailendra dari jawa Tengah. Samaratungga (yang membangun Borobudur) yang Buddha yang menduduki kursi raja, berputri sulung Promadyawardhani dan berputra Balaputeradewa.
Promodyawardhani merried dengan Rakai Pikatan yang Hindu. Kemudian terjadi perang saudara, antara Balaputeradewa yang merasa berhak atas tahta, dengan Pramodyawardhani sang kakak yang diperistri Rakai PIkatan. Balaputeradewa kalah, terusir dan menduduki tahtah kerajaan di Sri Wijaya sebagai raja.
Kelak, raja buangan dari Mataram ini, menjadi penguasa paling besar sepanjang sejarah Sri Wijaya. BAhkan sampai melakukan penaklukan penaklukan di India.
Namun, dicermati… seorang yang terusir dari Jawa, bisa dengan gampang menduduki tahta kerajaan di Sumatera. Ini menunjukkan, walau kalah besar, Mataram Kuno yang di Jawa punya pengaruh gak main main pada raksasa Sri Wijaya. Artinya, lihat saja, Borobudur toh dibangun di Jawa, bukan di Sri Wijaya atau Sumatera. Padahal kedua kerajaan itu sejaman. Dan Sri Wijaya lebih besar dari pada Mataram kuno.
Namun, ada sebuah kejanggalan, mengapa bukan bahasa Jawa yang jadi bahasa Nasional. Melainkan bahasa Melayu yang berasal dari Sumatera.
Salah satu alasan yang pernah saya baca, mengapa bahasa Jawa tidak dijadikan sebagai bahasa nasional adalah karena bahasa Jawa mengenal kelas dalam pemakaiannya. Artinya. Dalam bahasa Jawa ada bahasa priyayi, ada bahasa kelas bawah, ada bahasa pingggiran, dan sebagainya. Salah satu yang sering jadi bahan ejekan untuk memperlihatkan hal hal yang minus, mungkin bahasa Jawa Ngapak. Saya gak gitu tahu.
Lalu mengapa bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.
Ini berasal dari kaum pesisir. Kaum perantau nusantara yang terdiri dari beribu ribu suku. Sudah sejak jaman dulu, mereka mengenal apa yang disebut Lingua Franca… artinya kira kira, bahasa gaul yang bisa dimengerti semua kalangan. Tak peduli priyayi atau budak, bahasa Melayu tidak memandang kelas. Beberapa prasasti peninggalan Sri Wijaya ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno, ini beda dengan kebanyakan yang di Jawa pada zaman itu, umumnya pakai bahasa Sansekerta.
Kemudian sebegitu tersebarnya bahasa Melayu ini, ternyata tidak hanya melingkupi nusantara. Namun, menjadi dasar dialeg di negara negara Asia Tenggara. Lihat saja Malaysia, Brunai Darusallam, dan bahkan bahasa Tagalog Phillipina, dasarnya juga bahasa melayu. Dengan lagu Child - Freddie Aguilar, mereka bilang anak juga untuk nyebut anak…
Feodalisme Modern
Nah…. sisa-sisa feodal yang kita lihat sekarang adalah, sebuah pengelompokan baru. Banyak kalangan yang merasa gak keren, kalau gak pakai bahasa Inggris. Baik di wall maupun di inbox… Ini semacam sindrom priyayi. Bahasa Inggris dianggap lebih penting lebih baik dan lebih cool dibanding bahasa Indonesia…. Yah, memang sih, bahasa Inggris lebih go international. Tapi, kalo mau bilang dableg…. mau di Inggirskan gimana pun, kesan kenesnya gak bakal mencuat….
Kembali ke ide utama. Apa yang harus dibanggakan dari seorang priyayi? Apa itu priyayi? Mereka yang berdarah biru? atau kelompok bangsawan? atau orang orang terpelajar?
Mungkin banyak yang menuding ke ‘orang orang terpelajar'
Baiklah, siap siap saya traktor. Terpelajarkah anda, bila menarik diri dari lingkungan anda yang masih megap megap antara garis kemiskinan dan garis kaya raya? Terpelajarkah anda, bila menjauh dari kaum petani dan buruh yang pas pasan? Iwan Fals walo banyak yang mohon dia jadi presiden. Selalu keras dalam kritik namun termasuk santun dalam beraksi, sampai dinobatkan jadi Pahlawan Asia oleh majalah luar, gak bakal pernah masuk ke golongan Priyayi. Karna beliau selalu dekat dengan wong cilik.
Priyayi bergaul terus dengan priyayi. Buruh dengan buruh. Ibu rumah tangga dengan ibu rumah tangga.
Dan mereka merasa diri mereka priyayi atau Golongan elit atau Gedongan atau paling gak Golongan Sendiri. Serta kerap kali memandang yang lain aneh.
Priyayi Priyayi Yang Menulis
Selesai basa basinya. Kita masuk ke wilayah yang lebih nikmat. Menanggapi tulisan seorang rekan, tantang kecenderungan tulisan tulisan di Kompasiana menjadi seperti ini dan itu. Diibaratkan dengan Tabloid kuning atau koran lampu merah. Pemakaian bahasa yang cuman memancing tawa. Istilah mereka tulisan tulisan seperti itu tidak bagus. Tidak menarik. Tidak berkelas. Tidak priyayi.
Lalu yang kasihan adalah penulis pemula yang masih belajar menulis. Ngetik satu halaman, dibaca sekali, lalau ctrl+a, seleksi semua lalu delete. Norak! Gak kelas. Kesannya murahan. Pede pun hilang, ekspresipun lenyap. Ini bukan tulisan sastra. Tapi paling tidak disastrakan dikit lah...
Dan apa yang terjadi, proses latihan gagal. Tulisan tak jadi. Hanya takut dikira tulisannya gak kelas priyayi.
Sedemikian parah priyayilisasi dan priyayisme di sini? Sampai minggu ini ada beberapa tulisan yang saya nilai sebenarnya tidak kalah kelas toblid kuningnya, karena keusilan yang membahas gaya menulis orang lain.
Gaya tulisan anda adalah sastra anda. Bukan sastra mereka. Hanya anda yang bisa begitu. Orang lain tak bisa. Anda adalah Mariah Carey, anda juga Michael Jackson. Hanya anda yang bisa menyanyi seperti itu. Karena anda adalah Freddie Mercury. Anda tak tergantikan.
Tulis sastra anda. Bukan tulis tulisan yang disastra-sastrakan. Tak ada penulis sastra. Yang ada tulisan mereka menjadi sastra.
Lalu kalau tulisan anda dinilai tidak sastra atau sekwalitas tabloid kuning? Bersyukurlah, anda sudah menjadi diri anda yang seutuhnya. Bukan meniru niru gaya tulisan si anu atau si ana. Itu baru yang namanya sastra yang sesungguhnya. Priyayi mana yang menghasilkan karya sastra. Elton John ngetop dulu, baru dianugerahi gelar priyayi. Bukan sebaliknya.
Robek barometer sastra atau kualitas yang anda jadikan barometer untuk tulisan anda. Menulislah dengan jujur. Jangan untuk menjadi ini atau menjadi itu. Inspirasi akan datang kalau anda sudah memulainya. Mau Nyuci Baju saja bisa jadi tulisan yang indah. Bila anda bisa menemukan filosofinya.
Van Gogh mati dulu baru lukisannya dianggap seni. Begitu juga Madonna. Dulu dia dianggap sampah music. Sekarang dia dibilang legenda.
Publik adalah penghakiman yang paling objektif. Pihak pihak yang berkepentingan bisa mengarahkan, namun pengarahannya tetap ke arah publik. Di era keterbukaan sekarang ini begitu hukumnya.
Hukum hukum sastra yang harus mengikuti apresiasi manusia saat ini, bukan sebaliknya.
Bila anda memang bukan priyayi, mengapa memaksakan diri menjadi priyayi? Kelak, bila memang sudah saatnya, Sri Sultan masih bisa memberikan gelar Priyayi kepada anda. Itu kalau memang apa yang anda tuliskan benar benar berkelas priyayi, bukan karena priyayilisasi atau terkena dampak priyayiisme.
nah kalau saya jenis manusia golongan apa ya mas ?
saya bergaul dengan " priyayi " karena tuntutan pekerjaan, jujur itu kadang bikin saya BETE, PENUH BASA BASI, BUKAN " diri " saya. Tapi lalu saya nikmati ketika ingat oh iya masih banyak org yg harus saya support ( wong cilik ) krn saya hanyalah cerek mengalir, itu kemudian menyemangati saya kembali.
Setelah bertahun tahun saya jalani , maka beberapa thn kemudian SAYA BERANI menunjuk kan " siapa saya YG SESUNGGUH nya TANPA TOPENG " kepada gol priyayi yang saya " gauli " krn nurani sudah tercerahkan WONG YANG KASIH REJEKI SAYA TUHAN BUKAN KAMU, KALO KAMU SALAH YA SALAH , GA MASALAH KAMU PELANGGAN KU
hahaha
pas mbak... jadi diri sendiri saja.... gpp bergaul sama priyayi, saya juga kok...