SASTRA? BENAR BENAR TIDAK PENTING!
Ini tulisan spontan, pada masalah sastra yang belakangan banyak dikemukakan. Sejujur jujurnya, saya tidak pernah membaca sebuah tulisan karena alasan pengelompokan. Istilahnya, kalau sudah dilabeli sastra baru saya baca, kalau dilabeli novel dilewatkan... Tak pernah.
Buku sastra yang saya ingat sudah saya baca antara lain Karya Pramodya Ananta Toer, Judulnya Aok Dedes, terus yang kisah pembuatan jalan Karawang Bekasi yah?! sudah gitu yang tema perjuangan wanita yang ikut dengan angkatan 45, permepuan yang bintang film, kenal dengan Chairul Anwar yang akhirnya dijadikan gundik pdagang keturunan Arab yang antek antek Kompeni.
Mengapa saya ingatnya Arok Dedes?.... Mungkin karna ini judul yang paling gampang diingat. Ingatan saya parah pada nama nama atau nomor nomor. No telpon saja susah menghapal, begitu juga pada nama. Tapi saya suka sejarah. Aneh kan? padahal sejarah itu nama dan angka.
Nah, Ken Arok ini menarik, karena kira kira kita tahu bahwa Ken Arok itu pendiri kerajaan Singosari, bandit pada jamannya dan sebagai simbol dari pergerakan kelas bawah untuk meraih pucuk pimpinan hierarki di kerajaan Jawa. Sama sekali bukan bangsawan. Bukan darah biru. Menjadi menarik karena dibredel penguasa Orde baru jaman itu, dengan kecurigaan paham Komunis yang dianut Pramodya.
Padahal saya melihat, kisah Ken Arok yang ditulis Pramodya, sedikit banyak menyindir peristiwa 65, saat proses lengsernya Soekarno yang sudah ditetapkan oleh MPRS sebagai Presiden seumur hidup. Seumur Hidup, bukankah hanya raja yang bisa berkuasa begitu? Darah biru. Dilengserkan oleh seorang Jendral yang kemudian mendirikan rezim Orde Baru.
Persis dengan lengsernya raja Kediri terahir, darah biru yang harus menyerahkan tahta kapada seorang bagal biasa dari kaum kebanyakan, Ken Arok.
Apakah saya peduli ini sastra atau tidak? No way!
Sastra atau tidak, buka Pram memang asik untuk dibaca karena bahasanya yang cerdas, mengalir, bertutur apa adanya tanpa harus dibuat indah indah, kau lah bulan, kau lah bintang, kau matahariku, aku tak bisa mengalihkan mata darimu.... ah, jadi ingat Kangen Band... wakakakakakakaka
Yang jelimet juga ada yang enak dibaca. Trilogi The Lord of The Rings, yang semat dianugerahi sebagai book of millenium entah oleh badan apa, saya lupa. Karya Tolkien ini memang luar biasa.
Terutama pada riset yang dilakukannya pada rune kuno bahasa Inggris yang kemudian dijelmakan menjadi bahasa Quenya di trilogi itu. Istilahnya, Tolkien menciptakan bahasa yang bisa dipelajari siapa saja untuk karya tulisnya. Jelimet, sangat jelimet.
Dalam membaca TLOTR nya Tolkien, biasanya saya melewatkan puisi puisi 'aneh' yang banyak terdampar di buku buku itu. Kecuali puisi puisi kunci, misalnya pada adegan teka teki antara Smeagol dengan Bilbo yang terdapat di The Hobbits.
Dan ini sangat sangat jelimet.
Kadang saya berpikir, mengapa kisah yang sebenarnya sederhana ini harus dibuat serumit sedetail mungkin? Tapi anehnya, di pihak lain saya sangat terpesona pada detail yang dibuat penulisnya. Bagaimana imajinasinya menghidupkan kisah kisah yang ditulisnya. Seperti membaca sebuah kitab suci, kesan dogma nya bisa sedemikian tinggi, walau saya sadar yang saya baca hanya fiksi.
Bayangkan, sebuah cincin ganjil, yang bila dipakai bisa membuat pemakainya menghilang. Ternyata adalah cincin Iblis. Sangat jahat, yang bisa membuat pemakainya tak mati mati. Walau tak bisa juga dikatakan hidup, karena hidupnya sudah tidak normal. Contohnya pada Smeagol yang kadang kadang menjadi Gollum.
Lalu Frodo yang ketiban sial menjadi pemegang cincin malapetaka itu. Malapetaka yang bisa membuat orang atau mahluk lain menginginkannya setengah mati. Bahkan pada Frodo sendiri, hobbit kecil malang yang berjiwa polos, apa adanya, tak suka rumit rumit, tak suka berantem, senangnya makan enak, ketawa ketawa, merokok dari pipa dan bernyanyi nyanyi sesuka hati.
Efek pemikat dari cincin yang sangat pas bagi orang yang tamak, justru sedikit teredam di tangan Hobbit bernama Frodo. Walau di akhir kisah, bisa disimak bagaimana pertempuran bathin Frodo antara jiwa hobbit dan ego si cincin.
Cincing yang hanya bisa dilebur di kawah gunung tempat dia ditempah. Mordor. Negri hitam para Iblis di Middle Earth. Mungkin anda sudah melihat bagaimana adegannya di filmnya yang wajib tonton itu.
Nah... saya tak peduli apakah itu sastra atau bukan. Yang penting enak dibaca dan asik bisa membuat saya kecebur ke dunia penulisnya. Saya suka saya baca.
Lalu saya ingat dulu film Dead Poet Society. Film yang dibintangi Robin Williams. Film tentang sastra. Tentang seorang profesor yang mengajarkan sastra di sebuah sekolah paling elit entah dimana. Namun professor yang sangat nyeni ini sangat nyentrik.
Di awal ngajar dia masuk dari pintu yang satu, sambil bersiul melenggang melewati kelas yang sudah terbiasa kaku dan disiplin. Kelas bengong, ada yang menegtawai, tapi lebih banyak yang bertanya tanya, apa maunya ini guru. Dan jelas tertarik, baik yang negatif maupun yang positif.
Tak ada yang mengikutinya, si guru mendongak ke dalam... hayooo.... ikuti saya... katanya. Masih ragu ragu, akhirnya seisi kelas diajak ke ruang nostalgia. Melihat foto foto jadul murid murid sekolah itu.
Mereka adalah cacing cacing!
Dan bla bla bla.... akhirnya carpe diem. Itu yang dilontarkannya ke murid muridnya. Artinya apa? jangan manja, cari sendiri di google. hehehehehe
Lalu yang lebih ajaib lagi dari profesor ini. Dia memerintahkan murid muridnya merobek bagian awal dari butu tentang sastra yang menjadi teks book. Bagian tentang bagaimana menilai kualitas sebuah karya seni. Barometer X dan Y. Semakin tinggi X biasanya semakin rendah Y. Semakin bagus sastranya/seninya, semakin sedikit gregetnya.
ROBEK!
Campakkan ke keranjang sampah!
Masih ragu ragu... tapi sudah ada beberapa orang yang santai merobek halaman buku tentang standar penilaian sastra itu. bla bla bla.... Profesor sastra itu menekankan, agar dalam menghasilkan karya sastra atau memahami sastra, harus bisa melepaskan semua kotak kotak yang bermaksud membatasi sastra/seni itu sendiri.
Karena seni adalah kebebasan, seni adalah pribadi, seni adalah gairah, seni adalah nafsu, seni adalah kepuasan tertinggi di dunia. Yang tidak bisa dikotak kotakka menjadi dengan barometer barometer yang dibuat para ahli (sok) sastra.
Demikianlah yang diperbuat Orde Baru, saat melarang karya karya Pram beredar. Politisi dengan paranoid yang mengkungkung seni akibat perbedaan paham. Anti komunis yang menjadi penilaian menjadi tidak objektif terhadap sebuah karya seni. Novel novel bagus dari satu satunya maestro penulis Indonesia yang tulisannya bisa menerobos dominasi International, Pramodya Ananta Toer. 50 an novel sastra yang sudah diterjemahkan ke 41 bahasa asing. WOW.
Bentar.. dikit lagi. Saya tahu tulisan ini sudah cukup panjang. Kalau anda mendengar Mariah Carey atau Whitey Houston atau Michael Jackson, Guns n' Roses atau Padi atau Metalica atau Queen, dari awal mereka akan lembut mengalun, semakin menghentak, dan di bagian refrain terakhir mereka akan memberikan klimaks, improvisasi gila gilaan yang akan mengedor gedor urat sarap anda, demikian juga tulisan saya. Di bagian akhir jangan dilewatkan. Orgasme sebenarnya ada disitu.
Nah, penulis penulis itu, pada saat menulis karya masterpiece mereka apakah mikir dulu, saya ingin membuat karya sastra, yang begini yang begono, yang harus bagus, harus nendang, yang bisa menjadi legenda?
Kebanyakan justru sebaliknya. Karya mereka yang paling dikenal justru yang kecelakaan. Tidak direncanakan sama sekali menjadi besar. Tapi ternyata meledakkan publik. Yang seiring dengan waktu menjadi klasik, lalu pada abad berikutnya menjadi abadi. Tak peduli sastra atau tidak.
Hero, lagu Mariah Carey, sebenarnya itu ditulis untuk ilustrasi musik bagi film berjudul sama yang sedianya mau dinyanyikan oleh Gloria Estefan. Tapi tak jadi. Lagu tersebut juga dinilai terlalu ngepop bagi Carey yang aliran musicnya sangat hitam (RnB/Soul/Hophop). Akhirnya lagu tersebut dimasukkan ke album Music Box. Dan bukan sebagai singe andalan, hanya jadi singel kedua setelah Dreamlover. Tapi apa nyana? Hero menjadi lagu trademark Mariah Carey. Lagu wajib yang abadi, tetap enak didengar sampai sekarang. Tak pernah tidak dinyayikan di konser resminya yang manapun.
Jadi, tulislah apa yang memang ingin ditulisakan, jangan pikirkan hal hal lain. Tulisan anda jeritan, suara, ekpresi anda. Di reportase pun anda bisa menyelipkan secara samar gaya pemberitaan anda. Tak usah terpaku dengan ini sastra tidak ya?... semakin anda menginginkan sastra, sastranya akan lenyap. Karna sastra itu seni. Seni itu tidak bisa dipelajari. Hanya bisa dirangkul, dirasakan, dirasuki, lalu menjelma jadi karya karya, tulisan, music, lukisan, film, keramik, patung, gambar, sketsa bahkan Jalan Tol!
Nah, mari dengar musik dulu ya
0 Response to "SASTRA? BENAR BENAR TIDAK PENTING!"
Posting Komentar