Agama dan Bahasa
Dulu, sampai SMP-SMA (80an awal) saya tidak pernah sekalipun ketemu buku berbahasa Indonesia yang berisi Buddha Dharma. Dari kecil saya malah tidak tahu apa agama saya sebenarnya. Saat ketertarikan itu datang, kendala juga datang.
Saya tidak ngerti bahasa Sansekerta dan bahasa Mandarin apalagi bahasa Pali. Kebanyakan teks Buddha ditulis dalam ragam bahasa ini. Atau paling tidak yang kandungan lokal, bahasa Jawi kuno. Wah.... menebak nebak yang ada.
Saya ikut kebaktian di Vihara. Baca Paritta di buku bersampul kuning yang tebalnya paling ada 15 lembar. Semuanya isinya paritta (semacam puji-pujian) pada Buddha, Dharma dan Sangha. Apa yang saya baca, saya lafalkan dengan berusaha keras. Seringkali tidak sesuai dengan lidah Melayu saya.
Bahkan, di awal awal perkenalan ini banyak terjadi kesalahan pengucapan.
Misalnya dalam mengucapkan Namo Buddhaya.... dulu diucapkan dengan Namo Buddhaye....
Kemudian saya baca Nirvana.... mereka kok bacanya Nirwana...
Sabbe satta bavantu sukitatta... dibaca sabbe satta bawantu sukitatta
Sampai ke Vihara pun bacanya harus wihara.
.
.
Tanpa peduli aliran, saya menyebang ke Mahayana. Disini juga saya mengalami hal hal yang sama. Pengucapan dalam bahasa Mandarin ternyata lebih sulit lagi....
"Tidak bisa begitu...." ujar panditta yang membimbing saya
"Salah pengucapan akan menjadi salah arti... bisa berbahaya dan sia-sia... karena maksud yang akan diutarakan tidak akan sampai ke tujuan" begitu kira kira nasehat mereka
Saya bersedih hati.
Saya hanya ingin belajar agama. Bukan mencari bahaya. Apakah agama ini hanya untuk mereka yang fasih berbahasa Mandarin? Lalu saya pun beranjak lagi ke Sankrit Mahayana....
Namun kendalanya sama saja.
Akhirnya sewaktu saya kuliah saya bertemu dengan Bhante (panggilan untuk Bhikku) Jinadammo yang waktu itu tinggal di Vihara Borobudur Medan. Juga dengan almarhum bhante Nanda, tempat saya banyak bertukar pikiran.
Dengan kedua 'teman' inilah agaknya saya mendapatkan ketetapan.
"Buddha Dharma dibaca dengan hati, dipahami dengan pikiran" demikian kira kira ucapan beliau berdua.
Bahkan bhante memberitahu saya, "kelak kamu akan menemukan sesuatu dari yang kamu baca! Baca apa saja yang ingin kamu baca! baca dengan hati, jangan hanya memakai mata..." begitu pesan beliau.
Saat itu saya merenung. Dengan perasaan ingin meneteskan air mata di dalam dada. Seyogianya bahasa adalah membantu manusia untuk berkomunikasi. Baik dalam hal pemahaman keagamaan. Namun kondisi bathin yang gelap menjadikan bahasa sebagai penghalang.
"Lupakan dialeg dialeg itu! ambil hakikat yang ada di dalamnya" begitu kira kira pesan kedua manusia yang saya anggap paling suci yang pernah saya jumpai seumur hidup saya sampai hari ini.
Mungkin ini yang dinamakan keyakinan. Atau kalau boleh lancang sebagai kesadaran tingkat bawah. Sesudah pemahaman ini saya merasa bisa menerima relatif lebih banyak ide-ide yang bersebrangan dengan agama yang saya pelajari. Religius menjadi universal. Dengan karakter yang kuat tajam menghujam di sanubari.
Sampai di music metal yang saya gandrungi yang jelas jelas berlabel setan, saya bisa merasakan denyut nadi. Nadi kemanusiaan yang bernama cinta. Walau kadang penuh darah, walau tak jarang penuh nanah. Saya merasa paling kecil, disaat saya merasa adalah yang paling menyita tempat di muka bumi.
Semoga Semua Mahluk Berbahagia
0 Response to "Agama dan Bahasa"
Posting Komentar