Badai Demokrasi
DEMOKRASI tidak satu sisi, seperti mata uang dia selalu dua sisi. Indonesia sekarang sudah dianggap negara demokrasi, negara demokrasi yang sangat besar malah. Dimana pemimpin langsung dipilih rakyat. Tidak seperti jaman-jaman sebelumnya. Demokrasi sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang diciptakan agar suara rakyatlah yang menentukan jalannya pemerintahan.
Itu mengapa demokrasi juga menciptakan kemelut. Apalagi saat para pengusung demokrasi ternyata berbeda pendapat soal pemerintahan yang berdasarkan keinginan rakyat. Misalnya di masalah Jogya. Jogya yang eksotik, dengan Sultan sebagai pemimpinnya. Permasalahannya penetepan pemimpin tidak populer di dalam mekanisme demokrasi. Sebagian anggapan menyatakan bahwa pemerintahan yang demokrasi harus dipilih langsung oleh rakyat.
Uniknya di Jogya, rakyat justru menghendaki mereka diperintah Sultan. Tanpa melalui mekanisme pemilihan. Rakyat Jogya mencintai Sultan. Tak peduli dengan mekanisme pemilihan yang sedang ditawarkan sebuah gagasan yang katanya demokrasi. Pendapat menjadi bersilangan. Jogya sempat memanas. Ibaratnya kalau menilik ke latar belakang sejarah, Jogya seperti dikhianati RI. Sementara pemerintah pusat berkeras bahwa demokrasi menurut mereka adalah yang terbaik untuk Jogya dimasa depan.
Menurut saya, sesuai dengan makna dari demokrasi yang paling dalam, bukan terpaku pada mekanisme pelaksanaannya, serahkan saja kepada rakyat Jogya, mereka maunya gimana. Itu benar benar demokrasi. Bukan sekedar caranya saja yang demokrasi.
Lalu ada lagi permasalan lain demokrasi, kenyataannya publik banyak yang enggan dengan mekanisme demokrasi ini. Buktinya, semakin banyak yang memilih GOLPUT. Walau sebenarnya lebih bijaksana untuk mengatakan bahwa publik tidak kenal dengan siapa yang mencalonkan diri untuk dipilih. Alias, daripada salah pilih, mendingan golput.
Pembela Golput umumnya akan berteriak lantang, bahwa golput juga demokrasi. Bahwa menyatakan abstain adalah sebuah hak yang sama kedudukannya dengan ikut memilih, yang mana, siapa dan mengapa seorang caleg bisa diangkat menjadi wakil.
Wahyudi (tentu saja nama samaran), mantan office boy BDNI yang sudah lama dilikuidasi dulu, semenjak dikawini janda kaya, sekarang berusaha keras untuk populer. Dengan nomor urut 3 partai Petruk di kabupaten anu… sekarang sih masih sangat optimis.
Teman yang lain, supir freelance. Lian, jadi caleg no 2 untuk partai Gareng. Entah sudah berapa duit yang dihabiskan untuk cita-cita sekali seumur hidup ini.
Dari hasil obrolan dengan dia, dia mengibaratkan jadi caleg dengan judi, ini perjudian maha besar. mempertaruhkan semuanya. Seluruh harta yang dimiliki. Duit dan lain sebagainya dipertaruhkan disini. Bila gol kelak, akan terbayar dengan angan-angan kemakmuran seumur hidup.
Saat kupertanyakan lebih jauh, proyek daerah, APBN dsb dipilih sebagai peluang untuk uang masuk. Tentu saja obrolan seperti ini hanya dilakukan dengan teman-teman dekat. Tidak dengan konstituan mereka. Bisa mencoreng nama partai.
Layakkah? Itu biar rakyat yang menentukan. Seiring dengan iklim demokrasi. Rakyat memilih siapa yang pantas dan siapa yang tidak.
Ada lagi legislatif keluarga. Namanya Dhanny. Anak dari ketua DPRD saat ini dari partai Bagong. Sebenarnya pada masa jabatan saat ini nama mr. Dhanny sudah lumayan jelek. Beberapa proyek pemda yang dimenangkannya (dengan ketebelece bapaknya tentunya) sempat masuk koran lokal karena bermasalah. Beberapa photo proyek bahkan rekayasa. Areal proyek yang seharusnya dikerjakan sudah, karena mengejar deadline agar pencairan dana dilakukan, justru tidak dikerjakan. Tapi menuntut dana cair. Maka dibuatkan photo rekayasa. Saya tahu, karna sempat ke tempat saya untuk mengedit photonya. Yang begitu saya tahu apa tujuannya, dengan alasan keamanan saya tolak dengan halus.
Sekarang, si bapak jadi caleg no 2, si anak jadi caleg no 12. Dari partai yang sama, Bagong. Ajaib, tapi tetap tidak menyalahi demokrasi.
Lalu ada lagi mantan abang becak. Yang sehari-harinya ngepost di depan toko. tiba-tiba menyodorkan kartu tanda caleg ke aku. Minta dukungan. Order juga diberikan, cetakan semacam kartu nama berwarna. Juga souvenir berbentuk lighter/mancis Tokai warna warni dengan tempelan stiker pesan sponsor.
Dan itulah demokrasi.
Anda berhak menjadi wakil rakyat. Itu demokrasi. Dari rakyat untuk rakyat. Lupakan sistem feodal. Bahwa hanya keluarga Kennedy yang boleh menjadi politikus. Itu tidak demokrasi. Demokrasi memungkinkan abang becak, supir, masyarakat kelas bawah lainnya. Ekolim, kaum marhaen, buruh pabrik. Asal lulus SMA, dan ada dana untuk kampanye, sanggup beraliansi dengam partai tertentu yang mau menangpung. Monggo… Demokrasi memungkinkan itu.
Disatu sisi suara pesimis akan mengernyit sebel. Mantan supir, Office boy, satpam atau Jupe.. dll… kok sok mau jadi caleg…. Dilain sisi, pada hakekatnya… mengapa tidak? Untuk memimpin tidak dibutuhkan insyinyur kan? Lebih kepada kemampuan menentukan bejikan yang diharapkan bisa memihak rakyat kecil. Sesuatu yang bisa mengerem rakusnya pemerintah dalam menggerogoti uang rakyat.
Itu bila prosesnya berjalan lancar. Asal jangan sebaliknya. Tujuan demokrasi untuk asprirasi rakyat. Bukan membuka peluang sebesar besarnya bagi pemain-pemain keluarga. Alias KKN.
Lalu bila melihat tak ada calon yang bisa dipercaya. Atau bahkan tidak tahu siapa dan apa yang mau dicoblos? Apa boleh buat. Golput bakal merajalela. PR pelik bagi caleg caleg untuk meyakinkan rakyat, bahwa mereka bisa menjadi aspirasi rakyat. Bisa menyuarakan isi hati rakyat. Bukan gembar gembor sebagai nurani rakyat.
Belakangan ini angin demokrasi mulai menjadi badai. Badainya langsung menjadi rakyat yang bergelora, mengamuk dan menuntut penguasa tumbang. Badai ini sudah kedengaran sampai disini. Bahaya.
Siap menyambut badai demokrasi? Siapkan sabuk pengaman, atau helm SNI bagi anda yang pakai motor. Siapa tahu anginnya ribut!!!
Itu mengapa demokrasi juga menciptakan kemelut. Apalagi saat para pengusung demokrasi ternyata berbeda pendapat soal pemerintahan yang berdasarkan keinginan rakyat. Misalnya di masalah Jogya. Jogya yang eksotik, dengan Sultan sebagai pemimpinnya. Permasalahannya penetepan pemimpin tidak populer di dalam mekanisme demokrasi. Sebagian anggapan menyatakan bahwa pemerintahan yang demokrasi harus dipilih langsung oleh rakyat.
Uniknya di Jogya, rakyat justru menghendaki mereka diperintah Sultan. Tanpa melalui mekanisme pemilihan. Rakyat Jogya mencintai Sultan. Tak peduli dengan mekanisme pemilihan yang sedang ditawarkan sebuah gagasan yang katanya demokrasi. Pendapat menjadi bersilangan. Jogya sempat memanas. Ibaratnya kalau menilik ke latar belakang sejarah, Jogya seperti dikhianati RI. Sementara pemerintah pusat berkeras bahwa demokrasi menurut mereka adalah yang terbaik untuk Jogya dimasa depan.
Menurut saya, sesuai dengan makna dari demokrasi yang paling dalam, bukan terpaku pada mekanisme pelaksanaannya, serahkan saja kepada rakyat Jogya, mereka maunya gimana. Itu benar benar demokrasi. Bukan sekedar caranya saja yang demokrasi.
Lalu ada lagi permasalan lain demokrasi, kenyataannya publik banyak yang enggan dengan mekanisme demokrasi ini. Buktinya, semakin banyak yang memilih GOLPUT. Walau sebenarnya lebih bijaksana untuk mengatakan bahwa publik tidak kenal dengan siapa yang mencalonkan diri untuk dipilih. Alias, daripada salah pilih, mendingan golput.
Pembela Golput umumnya akan berteriak lantang, bahwa golput juga demokrasi. Bahwa menyatakan abstain adalah sebuah hak yang sama kedudukannya dengan ikut memilih, yang mana, siapa dan mengapa seorang caleg bisa diangkat menjadi wakil.
Wahyudi (tentu saja nama samaran), mantan office boy BDNI yang sudah lama dilikuidasi dulu, semenjak dikawini janda kaya, sekarang berusaha keras untuk populer. Dengan nomor urut 3 partai Petruk di kabupaten anu… sekarang sih masih sangat optimis.
Teman yang lain, supir freelance. Lian, jadi caleg no 2 untuk partai Gareng. Entah sudah berapa duit yang dihabiskan untuk cita-cita sekali seumur hidup ini.
Dari hasil obrolan dengan dia, dia mengibaratkan jadi caleg dengan judi, ini perjudian maha besar. mempertaruhkan semuanya. Seluruh harta yang dimiliki. Duit dan lain sebagainya dipertaruhkan disini. Bila gol kelak, akan terbayar dengan angan-angan kemakmuran seumur hidup.
Saat kupertanyakan lebih jauh, proyek daerah, APBN dsb dipilih sebagai peluang untuk uang masuk. Tentu saja obrolan seperti ini hanya dilakukan dengan teman-teman dekat. Tidak dengan konstituan mereka. Bisa mencoreng nama partai.
Layakkah? Itu biar rakyat yang menentukan. Seiring dengan iklim demokrasi. Rakyat memilih siapa yang pantas dan siapa yang tidak.
Ada lagi legislatif keluarga. Namanya Dhanny. Anak dari ketua DPRD saat ini dari partai Bagong. Sebenarnya pada masa jabatan saat ini nama mr. Dhanny sudah lumayan jelek. Beberapa proyek pemda yang dimenangkannya (dengan ketebelece bapaknya tentunya) sempat masuk koran lokal karena bermasalah. Beberapa photo proyek bahkan rekayasa. Areal proyek yang seharusnya dikerjakan sudah, karena mengejar deadline agar pencairan dana dilakukan, justru tidak dikerjakan. Tapi menuntut dana cair. Maka dibuatkan photo rekayasa. Saya tahu, karna sempat ke tempat saya untuk mengedit photonya. Yang begitu saya tahu apa tujuannya, dengan alasan keamanan saya tolak dengan halus.
Sekarang, si bapak jadi caleg no 2, si anak jadi caleg no 12. Dari partai yang sama, Bagong. Ajaib, tapi tetap tidak menyalahi demokrasi.
Lalu ada lagi mantan abang becak. Yang sehari-harinya ngepost di depan toko. tiba-tiba menyodorkan kartu tanda caleg ke aku. Minta dukungan. Order juga diberikan, cetakan semacam kartu nama berwarna. Juga souvenir berbentuk lighter/mancis Tokai warna warni dengan tempelan stiker pesan sponsor.
Dan itulah demokrasi.
Anda berhak menjadi wakil rakyat. Itu demokrasi. Dari rakyat untuk rakyat. Lupakan sistem feodal. Bahwa hanya keluarga Kennedy yang boleh menjadi politikus. Itu tidak demokrasi. Demokrasi memungkinkan abang becak, supir, masyarakat kelas bawah lainnya. Ekolim, kaum marhaen, buruh pabrik. Asal lulus SMA, dan ada dana untuk kampanye, sanggup beraliansi dengam partai tertentu yang mau menangpung. Monggo… Demokrasi memungkinkan itu.
Disatu sisi suara pesimis akan mengernyit sebel. Mantan supir, Office boy, satpam atau Jupe.. dll… kok sok mau jadi caleg…. Dilain sisi, pada hakekatnya… mengapa tidak? Untuk memimpin tidak dibutuhkan insyinyur kan? Lebih kepada kemampuan menentukan bejikan yang diharapkan bisa memihak rakyat kecil. Sesuatu yang bisa mengerem rakusnya pemerintah dalam menggerogoti uang rakyat.
Itu bila prosesnya berjalan lancar. Asal jangan sebaliknya. Tujuan demokrasi untuk asprirasi rakyat. Bukan membuka peluang sebesar besarnya bagi pemain-pemain keluarga. Alias KKN.
Lalu bila melihat tak ada calon yang bisa dipercaya. Atau bahkan tidak tahu siapa dan apa yang mau dicoblos? Apa boleh buat. Golput bakal merajalela. PR pelik bagi caleg caleg untuk meyakinkan rakyat, bahwa mereka bisa menjadi aspirasi rakyat. Bisa menyuarakan isi hati rakyat. Bukan gembar gembor sebagai nurani rakyat.
Belakangan ini angin demokrasi mulai menjadi badai. Badainya langsung menjadi rakyat yang bergelora, mengamuk dan menuntut penguasa tumbang. Badai ini sudah kedengaran sampai disini. Bahaya.
Siap menyambut badai demokrasi? Siapkan sabuk pengaman, atau helm SNI bagi anda yang pakai motor. Siapa tahu anginnya ribut!!!
0 Response to "Badai Demokrasi"
Posting Komentar