Benarkah Sikap Beragama Buddhis Lebih Dewasa dari Muslim?
Ini bincang bincang tidak nginjak tanah dua ekor demit dalam lapak yang berjudul
Kenapa Sikap Beragama Buddhis Lebih Dewasa dari Muslim?
Sebagai pengantar, EA kira kira berpendapat bahwa seperti judul kelakuan umat Buddha lebih dewasa dari umat Muslim
TL:
Sidharta Gautama lahir sebagai Hindu. Dia adalah pria pintar yang gelisah. Kerajaannya tak punya laut. Nyaris mati diimpit 2 kerajaan lain. Dalam kekalutannya dia seenaknya saja meninggalkan keluarganya. Mencari kedamaian dan kebahagian sejati.
Perbuatan ini diakuinya salah, maka pada masa dia sudah menjadi Buddha, orang yang tercerahkan, vinaya (peraturan) yang dibuatnya agar seseorang bisa menjadi bhikku adalah salah satunya harus mendapat izin dari orangtua, kerabat dan keluarga. Satu saja ada yang protes, secara batiniah batal. Orang yang ingin menjadi bhikku, harus berusaha dulu mengamankan sosialnya, baru berkelana mencari jati diri pribadi.
Umat Buddha menteladani Buddha Gautama, bukan Sidharta Gautama. Artinya, umat Buddha menteladani Buddha, bukan calon Buddha.
Kemudian Sidharta Gautama sebagai guru agung. Hanya guru bukan tuhan atau dewa.
Sidharta yang kalut dalam pencarian jati diri berpikir keras, apa yang bisa diwariskannya untuk kerajaannya? rakyatnya? dia sadar, tidak bisa mewariskan kejayaan duniawi. Misalnya membawa kerajaannya menjadi kerajaan terbesar di India.
Pandangan ini bukan pesimis, tapi sebaliknya sangat optimis namun tetap berpijak pada pemikiran yang benar. Maka dari itu, Sidharta bertekad untuk mewariskan kejayaan rohani bagi rakyatnya.
Setelah berhasil mencapai cita citanya, Buddha Gautama kembali bimbang. Sanggupkah dia mewartakan isi kepalanya kepada khalayak?
Setelah merenung 7 hari mondar mandir seperti orang gila di depan pohon boddhi, Sidharta memutuskan untuk memberikan ajaran yang diibaratkannya ’seperti daun di telapak tangannya, dibandingkan kebenaran yang seperti daun di dalam hutan’
Mungkin kesadaran ini yang membuat Sidharta tidak gegabah mengganggap ajarannya yang paling benar. Karena dia berpesan agar murid muridnya mencari sendiri daun daun dalam hutan tersebut. Yang diberikannya dalam telapak tangan itu hanya metode, falsafah dan prinsip hidup.
Yang harus diuji sendiri. Karna masih ada daun yang banyaknya seperti daun di dalam hutan tersebut.
Konsep Buddhisme sendiri pada awalnya datang dari penolakannya pada konsep kasta yang terdapat di Hindu, agama yang dipeluknya saat itu.
NB: coba baca komik Buddha. Ini bacaan ringan yang cukup gampang untuk memahami Buddha Dharma.
EA:
Waah makasi mas Lubis. Uraian yang gamblang tapi mencerahkan. Artinya mas Lubis setuju dengan tulisan saya yang ringkas perbedaan antara sikap seorang Buddhis dengan seorang muslim yang fanatik?
TL:
Buddhis fanatik juga ada, tapi tidak banyak. Anda lihat sendiri waktu Bhikku-bhikku di Myanmar bergejolak. Sangat sedikit umat Buddha yang mendukung.
Kenapa? karna bhikku-bhikku itu harus lepas jubah dulu kalau mau anarkis.
Fanatik atau tidak saya tidak tahu. Yang penting jangan anarkis. Buddhisme itu kebajikan. Lebih memilih berbuat dari cuman sekedar slogan. Makanya perbuatan bhikku bhikku itu yah dicuekin saja sama kebanyakan umat Buddha. Karna umat Buddha melihat ke perbuatannya itu.
Kita tidak bisa mencap suatu agama berdasarkan kelakuan sebagian umatnya. Itu saja mas. Anda menurut saya terlalu gelisah. Gejolak dalam dada anda memerlukan zikir. Kalo di Buddhis kami menyebutnya meditasi. Maaf.
EA:
Kita tidak bisa mencap suatu agama berdasarkan kelakuan sebagian umatnya.
Hati-hati mas Lubis. Saya sedang menulis SIKAP BERAGAMA, yang artinya prilaku umat beragama dalam realitas sosial. Dan meninjau apa penyebabnya. Dan itulah yang saya gambarkan pada tulisan di atas, setidaknya dalam pengamatan dan analisa saya.
Anda menurut saya terlalu gelisah. Gejolak dalam dada anda memerlukan zikir. Kalo di Buddhis kami menyebutnya meditasi. Maaf.
Hahaha… saya suka keterus-terangan mas Lubis. Hanya saja mas Lubis terjebak. Hati-hati dengan prinsip seorang Buddhis mas. Mengaku Buddhis itu adalah beban yang teramat berat, setidaknya menurut pemahaman saya. Begitu juga seandainya saya mengaku sebagai seorang muslim.
Tulisan ini adalah tulisa mas. Jangan terburu-buru menyandingkannya dengan kepribadian saya. Apa mas Lubis sudah lupa pesan dalam banyak tulisan saya sebelumnya? Bahwa pahamilah gagasan dengan gagasan. Jangan terjebak berimajinasi. Bukankah imajinasi mas Lubis itu bertentangan dengan semangat moksa dan nirvana? Atau samsara imajinatif?
Yang mas Lubis tangkap itu adalah gaya penulisan mas. Dalam bahasa kreativitas istilahnya style. Dalam dunia seni istilahnya corak, teknik garapan atau ISME kekaryaan. Dalam hal ini tulisan saya mungkin bisa tergolong bercorak Ekspresionisme.
Hati-hati mas Lubis. Maaf juga ya. Hehe..asyik nih perjumpaan kita
TL:
makanya di akhir komen saya ada maaf.
saya belum sempurna.
Perbuatan ini diakuinya salah, maka pada masa dia sudah menjadi Buddha, orang yang tercerahkan, vinaya (peraturan) yang dibuatnya agar seseorang bisa menjadi bhikku adalah salah satunya harus mendapat izin dari orangtua, kerabat dan keluarga. Satu saja ada yang protes, secara batiniah batal. Orang yang ingin menjadi bhikku, harus berusaha dulu mengamankan sosialnya, baru berkelana mencari jati diri pribadi.
Umat Buddha menteladani Buddha Gautama, bukan Sidharta Gautama. Artinya, umat Buddha menteladani Buddha, bukan calon Buddha.
Kemudian Sidharta Gautama sebagai guru agung. Hanya guru bukan tuhan atau dewa.
Sidharta yang kalut dalam pencarian jati diri berpikir keras, apa yang bisa diwariskannya untuk kerajaannya? rakyatnya? dia sadar, tidak bisa mewariskan kejayaan duniawi. Misalnya membawa kerajaannya menjadi kerajaan terbesar di India.
Pandangan ini bukan pesimis, tapi sebaliknya sangat optimis namun tetap berpijak pada pemikiran yang benar. Maka dari itu, Sidharta bertekad untuk mewariskan kejayaan rohani bagi rakyatnya.
Setelah berhasil mencapai cita citanya, Buddha Gautama kembali bimbang. Sanggupkah dia mewartakan isi kepalanya kepada khalayak?
Setelah merenung 7 hari mondar mandir seperti orang gila di depan pohon boddhi, Sidharta memutuskan untuk memberikan ajaran yang diibaratkannya ’seperti daun di telapak tangannya, dibandingkan kebenaran yang seperti daun di dalam hutan’
Mungkin kesadaran ini yang membuat Sidharta tidak gegabah mengganggap ajarannya yang paling benar. Karena dia berpesan agar murid muridnya mencari sendiri daun daun dalam hutan tersebut. Yang diberikannya dalam telapak tangan itu hanya metode, falsafah dan prinsip hidup.
Yang harus diuji sendiri. Karna masih ada daun yang banyaknya seperti daun di dalam hutan tersebut.
Konsep Buddhisme sendiri pada awalnya datang dari penolakannya pada konsep kasta yang terdapat di Hindu, agama yang dipeluknya saat itu.
NB: coba baca komik Buddha. Ini bacaan ringan yang cukup gampang untuk memahami Buddha Dharma.
EA:
Waah makasi mas Lubis. Uraian yang gamblang tapi mencerahkan. Artinya mas Lubis setuju dengan tulisan saya yang ringkas perbedaan antara sikap seorang Buddhis dengan seorang muslim yang fanatik?
TL:
Buddhis fanatik juga ada, tapi tidak banyak. Anda lihat sendiri waktu Bhikku-bhikku di Myanmar bergejolak. Sangat sedikit umat Buddha yang mendukung.
Kenapa? karna bhikku-bhikku itu harus lepas jubah dulu kalau mau anarkis.
Fanatik atau tidak saya tidak tahu. Yang penting jangan anarkis. Buddhisme itu kebajikan. Lebih memilih berbuat dari cuman sekedar slogan. Makanya perbuatan bhikku bhikku itu yah dicuekin saja sama kebanyakan umat Buddha. Karna umat Buddha melihat ke perbuatannya itu.
Kita tidak bisa mencap suatu agama berdasarkan kelakuan sebagian umatnya. Itu saja mas. Anda menurut saya terlalu gelisah. Gejolak dalam dada anda memerlukan zikir. Kalo di Buddhis kami menyebutnya meditasi. Maaf.
EA:
Kita tidak bisa mencap suatu agama berdasarkan kelakuan sebagian umatnya.
Hati-hati mas Lubis. Saya sedang menulis SIKAP BERAGAMA, yang artinya prilaku umat beragama dalam realitas sosial. Dan meninjau apa penyebabnya. Dan itulah yang saya gambarkan pada tulisan di atas, setidaknya dalam pengamatan dan analisa saya.
Anda menurut saya terlalu gelisah. Gejolak dalam dada anda memerlukan zikir. Kalo di Buddhis kami menyebutnya meditasi. Maaf.
Hahaha… saya suka keterus-terangan mas Lubis. Hanya saja mas Lubis terjebak. Hati-hati dengan prinsip seorang Buddhis mas. Mengaku Buddhis itu adalah beban yang teramat berat, setidaknya menurut pemahaman saya. Begitu juga seandainya saya mengaku sebagai seorang muslim.
Tulisan ini adalah tulisa mas. Jangan terburu-buru menyandingkannya dengan kepribadian saya. Apa mas Lubis sudah lupa pesan dalam banyak tulisan saya sebelumnya? Bahwa pahamilah gagasan dengan gagasan. Jangan terjebak berimajinasi. Bukankah imajinasi mas Lubis itu bertentangan dengan semangat moksa dan nirvana? Atau samsara imajinatif?
Yang mas Lubis tangkap itu adalah gaya penulisan mas. Dalam bahasa kreativitas istilahnya style. Dalam dunia seni istilahnya corak, teknik garapan atau ISME kekaryaan. Dalam hal ini tulisan saya mungkin bisa tergolong bercorak Ekspresionisme.
Hati-hati mas Lubis. Maaf juga ya. Hehe..asyik nih perjumpaan kita
TL:
makanya di akhir komen saya ada maaf.
saya belum sempurna.
Oke balik ke Topik ya… maaf kalo saya salah duga, hanya saran kepada mas EA yang saya anggap teman.
——————
Hati-hati mas Lubis. Saya sedang menulis SIKAP BERAGAMA, yang artinya prilaku umat beragama dalam realitas sosial. Dan meninjau apa penyebabnya. Dan itulah yang saya gambarkan pada tulisan di atas, setidaknya dalam pengamatan dan analisa saya.
——————-
Gini Mas EA. Kita kembali ke kualitas bukan kuantitas ya…. Mungkin Muslim yang santung juga sama banyaknya dengan yang anarkis. Tapi menurut saya, memang yang anarkis lebih menonjol. Mengapa demikian, karena media massa. Pers dan sebagainya.
Mengapa saya berpandangan begitu. Ada Gusdur dengan NU nya. Juga Amien Rais dengan Muhammadiyah nya…
Kita tidak tahu bagaimana penyebaran Islam di Jawa. Yang kita tahu, peralihan hierarki di Jawa berlangsung damai. Bahkan menurut sejarah, Prabu Brawijaya raja terakhir Majapahit juga masuk Islam.
Tidak ada sensus yang bisa membuktikan bahwa umat Islam yang anarkis lebih besar dari umat Islam yang humanis. Tapi kalau saya melihat ke sekeliling saya. Rasanya umat Islamnya tidak semengerikan di TV dan media massa. Bahkan orang Islam yang menghujat FPI juga tak kalah banyaknya. Sampai mereka menyebut FPI itu sebagai (maaf) Front Perusak Islam.
Tapi mengapa yang muncul ke permukaan adalah yang anarkis? Ini tak lebih dari dari peranan pers yang jelas jelas bisnis. Mereka ingin laku. Mereka ingin mengejar rating.
Mana bisa laku beritanya kalau beritanya Pak Haji ngasih makan 100 anak yatim sekecamatan?
Anda pasti sangat mengerti mengapa TV getol menyiarkan demo besar besaran menentang Ariel atau Ahmadiyah. Tapi sangat sedikit yang menyiarkan bagaimana NU melawan mereka itu.
EA:
Waah tambah seru nih mas Lubis.
Saya paham kok politik media massa. Tapi mengutip media massa saja tentu belum cukup. Saya juga tidak bisa memberikan data sensus. Tapi contoh2 yang mas Lubis sebutkan itu adalah level elit agama, level cendekiawan. Kalau di level elit, nyaris tidak ada masalah antar agama, bahkan dengan kaum Atheis pun tidak ada masalah.
Tapi yang saya maksud dalam tulisan ini adalah level UMAT (grass root). Dan ini bukan rahasia atau sekedar isu lagi. Ini bukan berarti saya bermaksud menjelekan umat Islam, dimana saya juga Islam. Tapi ini adalah kajian seosial. Sosiologi agama.
Tidak usah jauh-jauh mas Lubis. Di Kompasiana ini saja sudah bisa dijadikan bahan bukti yang bersifat online. Tidakkah mas Lubis melihat bagaimana hiruk pikuknya debat kusir di berbagai lapak yang terjadi antara Kompasianer Islam dengan Kompasianer Kristen? Bahkan kata-kata yang ditulis sebagian umat Islam ada yang setara dengan bau SEPTI TANK.
Dan saya sudah pernah melakukan survey sederhana akan hal ini. Jika mas Lubis tertarik dan berkenan bisa dibaca di sini: Inilah Debat Panas Islam Kristen
TL:
——————
Hati-hati mas Lubis. Saya sedang menulis SIKAP BERAGAMA, yang artinya prilaku umat beragama dalam realitas sosial. Dan meninjau apa penyebabnya. Dan itulah yang saya gambarkan pada tulisan di atas, setidaknya dalam pengamatan dan analisa saya.
——————-
Gini Mas EA. Kita kembali ke kualitas bukan kuantitas ya…. Mungkin Muslim yang santung juga sama banyaknya dengan yang anarkis. Tapi menurut saya, memang yang anarkis lebih menonjol. Mengapa demikian, karena media massa. Pers dan sebagainya.
Mengapa saya berpandangan begitu. Ada Gusdur dengan NU nya. Juga Amien Rais dengan Muhammadiyah nya…
Kita tidak tahu bagaimana penyebaran Islam di Jawa. Yang kita tahu, peralihan hierarki di Jawa berlangsung damai. Bahkan menurut sejarah, Prabu Brawijaya raja terakhir Majapahit juga masuk Islam.
Tidak ada sensus yang bisa membuktikan bahwa umat Islam yang anarkis lebih besar dari umat Islam yang humanis. Tapi kalau saya melihat ke sekeliling saya. Rasanya umat Islamnya tidak semengerikan di TV dan media massa. Bahkan orang Islam yang menghujat FPI juga tak kalah banyaknya. Sampai mereka menyebut FPI itu sebagai (maaf) Front Perusak Islam.
Tapi mengapa yang muncul ke permukaan adalah yang anarkis? Ini tak lebih dari dari peranan pers yang jelas jelas bisnis. Mereka ingin laku. Mereka ingin mengejar rating.
Mana bisa laku beritanya kalau beritanya Pak Haji ngasih makan 100 anak yatim sekecamatan?
Anda pasti sangat mengerti mengapa TV getol menyiarkan demo besar besaran menentang Ariel atau Ahmadiyah. Tapi sangat sedikit yang menyiarkan bagaimana NU melawan mereka itu.
EA:
Waah tambah seru nih mas Lubis.
Saya paham kok politik media massa. Tapi mengutip media massa saja tentu belum cukup. Saya juga tidak bisa memberikan data sensus. Tapi contoh2 yang mas Lubis sebutkan itu adalah level elit agama, level cendekiawan. Kalau di level elit, nyaris tidak ada masalah antar agama, bahkan dengan kaum Atheis pun tidak ada masalah.
Tapi yang saya maksud dalam tulisan ini adalah level UMAT (grass root). Dan ini bukan rahasia atau sekedar isu lagi. Ini bukan berarti saya bermaksud menjelekan umat Islam, dimana saya juga Islam. Tapi ini adalah kajian seosial. Sosiologi agama.
Tidak usah jauh-jauh mas Lubis. Di Kompasiana ini saja sudah bisa dijadikan bahan bukti yang bersifat online. Tidakkah mas Lubis melihat bagaimana hiruk pikuknya debat kusir di berbagai lapak yang terjadi antara Kompasianer Islam dengan Kompasianer Kristen? Bahkan kata-kata yang ditulis sebagian umat Islam ada yang setara dengan bau SEPTI TANK.
Dan saya sudah pernah melakukan survey sederhana akan hal ini. Jika mas Lubis tertarik dan berkenan bisa dibaca di sini: Inilah Debat Panas Islam Kristen
TL:
Sudah lama itu saya baca mas. Waktu pertama kali ketemu Blog Mas EA, satu malaman saya gak tidur membaca hampir semuanya. Kecuali maaf, yang porno porno. Bukan mau sok alim atau muna. Saya bisa mendapatkan konten porno yang lebih sip di lapak lain hahahahaha
Nah, apa mas tidak melihat di lapak mas yang ini. Berapa kira kira yang pro sama ide ide EA dan berapa yang kontra? Saya masih melihat lebih banyak yang berpihak pada EA.
Perang agama di Kompasiana itu, saya menganggapnya juga tidak bisa dijadikan pijakan untuk memvonis demikian. Karena apa? Karena kalau mas cermati di gaya bahasa yang perang disana. Saya curiga satu orang pakai beberapa account supaya kesannya yang mendukung dia banyak.
Dalam setiap konflik masing masing pihak pasti cari pendukung. Di dunia maya ini kalau tidak ada pendukung, kita bisa membuatnya. Itu diistilahkan zombie.
Nah, saya lebih suka melihat ke pengalaman hidup saya. Di Aceh, yang terkenal kefanatikannya tinggi. Tahun 1996 - 1998 saya tinggal di sebuah keluarga Muslim. Tak sekalipun saya diajak masuk Islam. walaupun bapak yang punya rumah sudah jadi bapak angkat saya.
Kemudian di Kisaran-Sumut, saya juga punya bapak angkat. Kejadiannya persis kaya di Aceh. Yangt ini lebih parah lagi. Pak Abdul Gafur Munthe ulama. Mendirikan madrasah dan stanawiya. Lebaran saya beliin baju koko, sejadah dan kupiah. Tapi saya tak pernah diajak masuk Islam.
Begitu juga di pergaulan saya sehari hari. Saya dulu kepala cabang Daihatsu. Tau sendiri kan yang dijual angkot. Nah, saya harus bergaul dengan para supir angkot dsb. Tak pernah saya diajak masuk Islam.
Jadi saya menarik kesimpulan. Heboh Islam anarkis itu sangat sedikit. Islam sebagai agama teroris hanya berlaku pada mereka yang picik. Dan ini jumlahnya sangat sedikit.
Hanya mereka memang gila. Kegilaan mereka dimanfaatin media massa untuk ngejar rating. Istilahnya biar seru. Malah makin dikompor kompori.
Saya kira keyakinan umat Islam tidak berubah. Hanya situasi politik yang berubah. Dulu semasa sensor pers sangat ketat. Bahkan Bahsir pindah ke Malaysia. Apakah umat Islam di jaman orde baru lebih baik dari jaman sekarang. Saya kira tidak. Keyakinan tidak bisa dipaksakan oleh sebuah kediktatoran.
Di lingkungan saya tinggal, bertemu dan bermasyarakat, umat Islamnya sama baiknya dulu di jaman Orde Baru dengan sekarang. Hanya di TV saya lihat lebih beringas.
Itu mengapa saya berpendapat, banyak sekali umat Islam yang tahu apa itu Al kafirun. Hanya mereka jarang diekspos.
Yang begitu itu sesekali muncul di debat kusir tentang agama. Tapi saya yakin, kebanyakan dari kompasianer Islam sejati memilih diam. karena seperti juga umat Buddha, mereka merasa gak ada gunanya ribut ribut di lapak Kompasiana.
Kalau mas kurang yakin. Lihat berapa yang klik artikel mas. Bandingkan dengan yang mau komen. satu banding berapa…. saya yakin kebanyakan mereka Muslim. Dan mereka Muslim yang lebih memilih diam. Yang menyerang mas juga orangnya itu itu saja kan? Tapi mereka bikin heboh, spam, bikin akun banyak banyak, mengumpulkan pengikut. Dan sebagainya.
Saya jadi ingat buku Dan Brown The Last symbols. Di bag akhir ada tertulis begini:
Sama sama baca alkitab, kau baca hitam, kubaca putih.
Namun tetap alkitab.
Thanks ya…
Nah, apa mas tidak melihat di lapak mas yang ini. Berapa kira kira yang pro sama ide ide EA dan berapa yang kontra? Saya masih melihat lebih banyak yang berpihak pada EA.
Perang agama di Kompasiana itu, saya menganggapnya juga tidak bisa dijadikan pijakan untuk memvonis demikian. Karena apa? Karena kalau mas cermati di gaya bahasa yang perang disana. Saya curiga satu orang pakai beberapa account supaya kesannya yang mendukung dia banyak.
Dalam setiap konflik masing masing pihak pasti cari pendukung. Di dunia maya ini kalau tidak ada pendukung, kita bisa membuatnya. Itu diistilahkan zombie.
Nah, saya lebih suka melihat ke pengalaman hidup saya. Di Aceh, yang terkenal kefanatikannya tinggi. Tahun 1996 - 1998 saya tinggal di sebuah keluarga Muslim. Tak sekalipun saya diajak masuk Islam. walaupun bapak yang punya rumah sudah jadi bapak angkat saya.
Kemudian di Kisaran-Sumut, saya juga punya bapak angkat. Kejadiannya persis kaya di Aceh. Yangt ini lebih parah lagi. Pak Abdul Gafur Munthe ulama. Mendirikan madrasah dan stanawiya. Lebaran saya beliin baju koko, sejadah dan kupiah. Tapi saya tak pernah diajak masuk Islam.
Begitu juga di pergaulan saya sehari hari. Saya dulu kepala cabang Daihatsu. Tau sendiri kan yang dijual angkot. Nah, saya harus bergaul dengan para supir angkot dsb. Tak pernah saya diajak masuk Islam.
Jadi saya menarik kesimpulan. Heboh Islam anarkis itu sangat sedikit. Islam sebagai agama teroris hanya berlaku pada mereka yang picik. Dan ini jumlahnya sangat sedikit.
Hanya mereka memang gila. Kegilaan mereka dimanfaatin media massa untuk ngejar rating. Istilahnya biar seru. Malah makin dikompor kompori.
Saya kira keyakinan umat Islam tidak berubah. Hanya situasi politik yang berubah. Dulu semasa sensor pers sangat ketat. Bahkan Bahsir pindah ke Malaysia. Apakah umat Islam di jaman orde baru lebih baik dari jaman sekarang. Saya kira tidak. Keyakinan tidak bisa dipaksakan oleh sebuah kediktatoran.
Di lingkungan saya tinggal, bertemu dan bermasyarakat, umat Islamnya sama baiknya dulu di jaman Orde Baru dengan sekarang. Hanya di TV saya lihat lebih beringas.
Itu mengapa saya berpendapat, banyak sekali umat Islam yang tahu apa itu Al kafirun. Hanya mereka jarang diekspos.
Yang begitu itu sesekali muncul di debat kusir tentang agama. Tapi saya yakin, kebanyakan dari kompasianer Islam sejati memilih diam. karena seperti juga umat Buddha, mereka merasa gak ada gunanya ribut ribut di lapak Kompasiana.
Kalau mas kurang yakin. Lihat berapa yang klik artikel mas. Bandingkan dengan yang mau komen. satu banding berapa…. saya yakin kebanyakan mereka Muslim. Dan mereka Muslim yang lebih memilih diam. Yang menyerang mas juga orangnya itu itu saja kan? Tapi mereka bikin heboh, spam, bikin akun banyak banyak, mengumpulkan pengikut. Dan sebagainya.
Saya jadi ingat buku Dan Brown The Last symbols. Di bag akhir ada tertulis begini:
Sama sama baca alkitab, kau baca hitam, kubaca putih.
Namun tetap alkitab.
Thanks ya…
kalau ga gitu ga rame.......