Tulisan Paling Terakhir E. A. (Maaf Bang Toyip, terpaksa saya beberkan)
Banyak yang ketipu pas EA posting "Tulisan Terakhir Saya"(09 February 2011 | 00:21). Sebenarnya itu bukan tulisan terakhir dia. Dasar belut! Saya mencatat sendiri, EA nulis uneg unegnya di lapak saya yang ini "Kreativitas Tidak Pernah Punya Batas".
Awalnya memang ini insiden tak sengaja. EA yang gundah karna kolom Agama dibubarkan. Padahal kan bla bla bla...... Jadi, entah mengapa dia kok tiba tiba muncul di lapak saya itu.
9 February 2011 04:29:27 (tumben ini setan sombong mau mampir!)
Dasar! Sialan mas Lubis!
Tarikan focal dan arensmen musikmu merusak saya
Memaksa saya muncul di sini.
Mencabik dawai bathin saya. Pilhan akornya menggetarkan inspirasi saya.
Saya mengutuk mas Lubis. Kenapa tidak dilempar ke pasaran. Cari dan cari orang yang bisa mengorbitkannya. Dan pasti saya orang pertama yang akan membelinya.
Memaksa saya muncul di sini.
Mencabik dawai bathin saya. Pilhan akornya menggetarkan inspirasi saya.
Saya mengutuk mas Lubis. Kenapa tidak dilempar ke pasaran. Cari dan cari orang yang bisa mengorbitkannya. Dan pasti saya orang pertama yang akan membelinya.
9 February 2011 04:31:40 (berusaha ramah)
Mas EA download saja, tidak dijual umum. Bukan itu tujuan saya. Saya memainkan segala jenis music. Kalo masuk ke induustri bakal dipaksa main satu jenis. Ogahhh
Erianto Anas - 9 February 2011 04:42:36 (bengong kali ya...?!)
Mas Lubis memainkan segala jenis musik?
Begitulah tulisan saya (menurut saya).
Tulisan spt musik mas Lubis itulah yang saya gandrungi.
Begitulah tulisan saya (menurut saya).
Tulisan spt musik mas Lubis itulah yang saya gandrungi.
Traktor Lubis - 9 February 2011 04:43:59 (coba bujuk anak anak)
Hehehehe, tulisan saya juga begitu. Genrenya tak tentu. Ini lagi demen music yah saya tulis yang music music.
Nah, mas Anas perhatikan. Bahkan di tulisan ini saya sempat dakwah agama juga. Asik kan?....
Ya sama. Makanya saya gerah dengan agama yang dipasung menjadi sekedar TEKS SKRIPTURALIS. Ritual seremonial. Itulah hasilnya pembunuhan atas nama agama. Tidak membakar gairah hidup. Tidak membangun cinta UNIVERSAL.
Seperti para musikus yang menncintai semua musik.
Sebenarnya saya juga minta besar thd SENI. Spt tercantum pada profil saya. (SENI-AGAMA-FILASAT). Tapi saya belum sempat menulis soal apresiasi dan kecintaan saya thd seni. Dalam pandangan saya agama itu intinya ROH, Isnpirasi. Seperti juga musik, seni sastra, seni lukis. Singkatnya DUNIA INSPIRASI.
Bahkan, maaf, saya berani menarik inti atom keyakinan bisa disebut inspirasi. Inspirasi Mistik. Tapi susah bicara DUNIA PENGHAYATAN disini. Susah bicara "dunia dalam" di sini. (Saya lagi proses download nih)
Bahkan, maaf, saya berani menarik inti atom keyakinan bisa disebut inspirasi. Inspirasi Mistik. Tapi susah bicara DUNIA PENGHAYATAN disini. Susah bicara "dunia dalam" di sini. (Saya lagi proses download nih)
SENI-AGAMA-FILASAT - ini juga hobby saya + Sejarah.
Sebenarnya (sekali lagi) ide ide mas EA tidak dipermasalahkan. Yang jadi masalah adalah cara penyampaian dan judul yang menurut saya, justru menjadi senjata EA untuk menarik perhatian publik.
Yang masalah cara penyampaian?
Itulah jawabannya pada SENI dan Sastra.
Dan itu juga bagian dari hakikat kedirian bening manusia.
Tapi ...ya gimana bisa bicara. SENI dan SASTRA, spt juga meditasi, tak bisa dipahami kalau tidak pernah merasakannya. Apalagi tidak mau mencoba memahaminya. MAsak musikus tidak tahu. Masak Vocalis tidak tahu bagaimana menghayati, ekpsresi bathin, atau feel sebuah lagu?
Itulah jawabannya pada SENI dan Sastra.
Dan itu juga bagian dari hakikat kedirian bening manusia.
Tapi ...ya gimana bisa bicara. SENI dan SASTRA, spt juga meditasi, tak bisa dipahami kalau tidak pernah merasakannya. Apalagi tidak mau mencoba memahaminya. MAsak musikus tidak tahu. Masak Vocalis tidak tahu bagaimana menghayati, ekpsresi bathin, atau feel sebuah lagu?
Hahahahaha betul! Memang seni tak kenal kompromi. Mungkin kalo Chairil Anwar masih hidup, puisi puisinya akan di bredel juga yak?....
Makanya. Sejarah membuktikan para Filsuf, Seniman, Sastrawan dan Mistikus dibunuh Penguasa dalam arti luas (mainstream hegemoni). Tapi karyanya dipajang untuk kebanggaan sebuah agama dan negara. Mereka lilin yang terbakar. Tapi dunia kecipratan terangnya.
Saya tidak mengatkan saya begitu. tapi saya terinspirasi secara mendalam pada orang2 spt itu. SAya berkhidmat pada mereka dari pada RITUAL PUBLIK. Itulah yang saya katakan LIPSTIK.
Andai saja mau berjujur2 diri telanjang apa adanya mengakui setiap lentik pikiran dan kegelisahan kita, nyaris tidak ada gesekan soal keyakinan. Tapi begitulah. Dunia inspirasi, dunia keyakinan, duania yang sejatinya spt ROH yang tak bertepi, dikerangkekng oleh teks-teks kitab suci dan dogmatisme tradisi. Dan sayanganya, menurut saya, aroma Kompasiana secara umum juga demikian.
Saya ngerti betul kondisinya. Coba mas liat komen saya di tulisan terakhir EA. Saya menyayangkan tapi menghormatinya. Karena saya tau. Saya juga emoh masalah seni saya disensor. Makanya saya menghormati keputusan itu.
Untungnya agama saya tidak berkeyakinan seperti itu. Makanya saya santai santai saja menikmati pro dan kontra yang terjadi. Bagi saya itu kegelapan bathin. Bagaimana cara membukanya? Tak ada lain hanya dari diri sendiri.
Kalau mereka tidak ingin mencari, tak akan ketemu.Mungkin saya atau anda hanya bisa menunjukkan jalan. Susah juga kalau sama sama keras.
Menurut saya, saya tidak pernah memaksakan pemikiran saya. Saya hanya mengekspresikan segala pandangan saya. Dan sekian teman-teman terinspirasi. Dan bagi mereka yang tidak ya sudah. Justru yang saya suarakan HORMATILAH SESAMA MANUSIA. Tanpa embel-embel. Cukup atas nama manusia.
Tapi lapisan GEOLOGIS keyakinan sudah membatu. Makanya saya harus berangkat dari mencongkel bangunan dogmatisme dulu, untuk akhirnya ending tulisan saya dalam satu jargon: HORMATILAH MANUSIA.
Tak ada yang melebihi kemuliaan selain menghormati manusia. Tuhan, Bapa, Dewa, Roh Absolut tidak butuh dihormati. Restu Tuhan di atas hormat atas sesama manusia.
Tapi mungkin karena saya menyampaikannya dengan metode seni, sastra, atau seperti pekikan melodi gitaris GILDOR. Akhirnya salah paham. Dan salah paham itu berakar dari iklim. Iklim sharing yang tak pernah diwdahi secara lebih terbuka. Dan Kompasiana (admin) tidak siap masuk ke kancah demokrasi-humanis dalam arti yang sebenarnya.
(Omong-omong mas Lubis pegang Drum atau hanya vokalis. Terus aransmennya siapa?)
Saya vokalis, engineer computernya, mixing, loop (kalo ada). Aransemen biasnya bareng bareng. Tapi producernya saya, bukan producer kaya di Indonesia. Maksudnya kaya sutradara. Karna saya yang bikin lagunya, saya yang nentuin lagunya mau dibuat aliran apa.
Satu lagi, saya tak perna nulis lirik duluan. Selalu nadanya dulu. Bahkan sampai detik detik terakhir take vocal saya belum punya lirik.
Jadi kalau biasanya take vocal itu penyanyi baca teks lagu, saya kebalikannya. Saya nikmati musiknya, ntar apa yang terlintas jadi kata kata langsung dinyanyikan. Kemudian baru dicatat.
Boleh saya publis VCD-nya di bogernas? Spt saya mempublis VCD Lady GaGa? Sebagai sumber inspirasi sambil menulis? Kalau boleh, tunjukkan cara mengambil kode embed-nya. Pokoknya cara menguploadnya. Soalnya setelah saya klik klak kluk gak ketemu embed-nya. Makasi.
boleh saja. ntar saya send di colak colek di blog ya
@ Hhmm ..hebat. Maaf saya mengutuk mas Lubis. Musiknya tak beranjak dari headset (telinga) saya dari tadi, menggantikan Lady GaGa. Kenapa saya mengutuk? Tarikan vocalnya lebih BERNYAWA dari tulisannya. Lebih menarik-narik dawai bathin saya.Mengingatkan saya pada Scoupenhaur: "Musik seni yang paling Universal"
So, saya menuntut: TArik dan lendingkan NYAWA musiknya pada tulisannya. Tulisan mas Lubis nggak boleh lagi sekedar memuaskan selera baca. Tapi menusuk rongga-rongga bathin yang membaca, hingga membuka ruang imajinasi. WAJIB! Marah pada saya? Salah sendiri kenapa mempublish musik ini. Saya tidak bisa pura-pura.
Ditunggu url-kodenya. Makasi
Udah kok urlnya liat di blog.
Mana pernah saya nulis buat nyenangkan pembaca. Cuman yah ini gaya saya dari dulu juga begini.
Soal lagu yang mas dengar, mungkin karna lagu Satu diantara bintang itu, saya tulis pas abis ibu saya meninggal. Makanya dalem....
Dalam hal menulis saya menyukai ungkapan, umpama dan sebagainya. Dengan interprestasi sendiri, maknanya bisa jadi lebih dalam dari yang seharusnya. Artinya pembaca saya harus membayangkan sendiri. Tidak langsung dijejeli pisang kaya tulisan situ... wakakakaa tuh kan banyak yang tersedak.
Sensor sensor
Kok hilang komentar panjang saya barusan ya?
Sudah kayak admin pula mas Lubis?
Sudah kayak admin pula mas Lubis?
---
Eh hehe....mas Lubis lupa dengan aliran2 dalam seni? yang ada akhiran isme dibelakanganya? Atau pura-pura lupa? Itu saya menulis tidak satu gaya, meskipun diminan yang Ekspresif. Tapi dua tulisan terakhir itu kalau boleh saya nilai sendiri: Puitis-simbolik. Dan saya pilih gaya itu tergantung efek yang saya inginkan thd pembaca. Ah ..masak seorang arensmen musik gak tau? Atau pura-pura lupa. Atau sudah lupa dengan Psyco-writing. Di blogernas banyak tuh saya tulis. Hampir 100 tulisan.
Kutip:
Soal lagu yang mas dengar, mungkin karna lagu Satu diantara bintang itu, saya tulis pas abis ibu saya meninggal. Makanya dalem....
Soal lagu yang mas dengar, mungkin karna lagu Satu diantara bintang itu, saya tulis pas abis ibu saya meninggal. Makanya dalem....
Hmm ...pantas. Memang lagu itu yang paling menggetarkan bagi saya. Kenapa tidak menulis spt itu? Jangan terpengaruh slogan jurnalisme mainstream. Biar wartwan saja yang menulis begitu. Seorang seniman, seorang musikus, mestinya tulisannya juga seperti alunan dan hentakan musiknya. Maaf, saya benar-benar terinspurasi nih. Lagi ON FIRE...
(Turut bersedih atas almarhumah ibu mas Lubis telah pergi)
-----
Hehe...baru saja selesai saya upload VCD-nya di blog dammy saya untuk sementara. Soalnya biar jam 7.30 nanti bisa langsung saya putar pas saya ngajar WEB di sekolah. Makasi banyak yah..
Maaf mas, saya gak pernah ngapus komen orang. Sumpahisme deh.
Soal menulis, saya gak tau aliran aliran apapun. Saya hanya pakai istilah sendiri. Tulisan saya humanis. Kenbanyakan tentang manusia, alam dan budaya. Diantara itu ada agama, falsafah dan music tentu saja juga cinta.
Anda dan saya mungkin seniman.
Tapi selalu menolak pengkotakan. Dulu di Friendster saya nulis di bulletin suka pakai bahasa pasaran, tetap dengan gaya begini tapi seenaknya menyelipkan kon*** atau ngen***
Namun entah kenapa, sekarang saya eneg baca tulisan tulisan lama saya. Bahkan dulu saya pernah tulis tentang Iblis yang membela diri, dalam bentuk prosa.
Bukan sok sadar. Hanya sekarang menurut saya hidup itu bukan cuman agama.
Embed nya udah kan?
Ya justru karena hidup bukan cuma agama itulah kita blender habis semuanya menjadi satu harmoni. BUkankah begitu GILDOR ?
Nah itu dia. Dakwah gak harus di lapak agama. Ngajarin orang biar tahu harmoni itu paling pas ya dengan ngasi contoh!
Selamat ngajar. Btw, udah dapat air es nya?
Nah, sehabis debat panjang itu (sebenarnya saya merasa kaya figur papa di tulisan dia itu), saya garis bawahi ini yang dia mau:
"So, saya menuntut: Tarik dan lendingkan NYAWA musiknya pada tulisannya. Tulisan mas Lubis nggak boleh lagi sekedar memuaskan selera baca. Tapi menusuk rongga-rongga bathin yang membaca, hingga membuka ruang imajinasi. WAJIB! Marah pada saya? Salah sendiri kenapa mempublish musik ini. Saya tidak bisa pura-pura."
Jadi sodara sodara, sodari sodari (biar gak dibilang gender), saya penuhi tuntutan dia. Dengan menerbitkan dua tulisan ini:
Tuntutan EA sudah kupenuhi. Sekarang aku nuntut ke EA! Selama lu gak pulang, Lu tetap bang TOYIP.... Gak ada lagi Dan Brown, gak ada lagi Omar Dhani, Gak ada lagi Israel.... Tapi tetap
pandangan saya agama itu intinya ROH, Isnpirasi. Seperti juga musik, seni sastra, seni lukis. Singkatnya DUNIA INSPIRASI.
Bahkan, maaf, saya berani menarik inti atom keyakinan bisa disebut inspirasi. Inspirasi Mistik. Tapi susah bicara DUNIA PENGHAYATAN disini. Susah bicara "dunia dalam" di sini. (Saya lagi proses download nih)
tulisan pak ea menurut saya ada bagusnya, cuma mgkin bukan 'konsumsi umum. ga ada kebebasan yg benere bebas!kalolah sudah jadi 'sufi dalam pencarianya tentu ga akan 'banyak omong
walauun saya percaya iblis dan mengakui haknya, tapi saya ga stuju iblis pidato didepan televisi..
kiranya sebuah tafsiran menjadi pegangan hidup si penafsir itu sendiri, karena surga atau neraka hanya Tuhan yang tahu dan yang berkuasa
traktor ku gilas kau dengan buldozerku