Keledai, Kedelai dan Kuda





Ada orang yang seperti kedelai, ada yang dituding seperti keledai. Namun ada juga yang seperti kuda.

Begini. Pada dasarnya manusia itu adalah mahluksosial, artinya mahluk yang berusaha untuk hidup bersama sama orang lain, karena tak ada manusia yang bisa hidup sendiri, tetapi selalu tergantung pada orang lain untuk kehidupannya. Sebagai misal. Anda penulis di Kompasiana.

Benar anda bisa menjadi penulis suka suka seperti sempat diistilahkan dengan masturbasi imajinasi atau penulis onani. Penulis yang menulis untuk diri sendiri. Tak peduli orang lain suka, marah, atau dendam pada tulisan anda. Namun secara ironis. Tulisan yang bersifat selfish tersebut justru mengharapkan reaksi publik, dengan cara seakan akan tidak peduli dengan reaksi umum. Karena, dalam hati kecil berbisik. Publik tidak suka yang biasa biasa, mereka menyukai hal hal ekstrem untuk dibicarakan.

Tabrak norma norma, tabrak tabu tabu itu. Bila perlu nyampah.
Nah… pengetahuan ‘publik tidak suka’ ini yang mendorong penulis beronani dengan tulisannya. Taktik ini berhasil. Tulisan yang tidak mempedulikan reaksi publik, adalah tulisan yang biasanya paling gampang menyorot perhatian publik. Karena biasanya hal hal tak umum, ganjil, melanggar norma, menabrak tembok dan lain sebagainya akan sangat sangat menarik perhatian publik.

Kemudian, dalam membentuk atau mencari atau menjalin pertemanan dengan 100 orang, anda tidak bisa menolak jika ternyata ada 2 musuh di sana. Dalam 1000 batu bata yang membentuk sebuah tembok akan ada beberapa batu bata yang ngacok letaknya. Pada Candi Borobudur yang utuh itu ada puluhan mungkin ratusan ribu keping batu. Banyak sekali yang rusak berat dan tak utuh lagi. Tapi Candi Borobudur tetap indah. Bila anda tidak melihat ke beberapa patung Buddha yang sudah terpenggal itu.

Bila anda bisa melihat segalanya dengan universal.

Seekor anjing yang terluka akan terus menerus melolong. Seekor srigala yang kesakitan, akan meledak menjadi monster.

Iri hati dan dengki adalah bahan bakar untuk sebuah penderitaan. Kita bebas mengkritik dan di kritik. Namun tetap ada rambu rambu yang harus dipatuhi. Kebebasan itu bermata dua. Menyayat ke atas dan menyayat ke bawah.

Iri hati dan dengki yang timbul karena keberhasilan seseorang menguasai publik. Bisa jadi akan menimbulkan reaksi awal yang berupa perasaan benci tak mendasar. Seandainya saja aku yang….. seandainya saja si setan itu tak ada…. buset ini…. buset itu…..

Kepuasan semu bisa didapat dengan menindas. Dalam tulisan ini pun bisa menindas. Tulisan tulisan yang bersifat menindas. Bisa jadi sedang menjadi trend yang disukai publik di sini.

Puaskah penulisnya? Puaskah sang penindas?

Yang pasti mereka bersyukur. Namun satu yang tak bisa dielakkan. Kepuasan ini menimbulkan kebencian…. Hahahaha, betul. Tak mungkin ada tulisan yang menindas orang lain bila bukan benci yang melatari. Benci itu bahan bakar, untuk sebuah kebencian yang lebih besar lagi. Begitu terus, sampai tubuh yang dibakar benci itu habis dimakan belatung dan diserap tanah. Sampai mati.

Kutipan dari ayat ayat sampah Al traktor ayat 3:3:

“Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya.” Selama seseorang masih menyimpan sampah pikiran seperti itu, maka kebencian tak akan pernah berakhir.

Itu sampah yang bermanfaat. Tapi pada orang orang yang tidak kreatif atau berjiwa kedelai… bener bukan keledai tapi kedelai yang bahan baku tempe, ayat ayat itu tetap sampah busuk.

Dan kedelai akan tetap merasa lebih berguna daripada keledai yang ingin berkuasa. Paling tidak masih bisa dijadikan tempe, begitu mungkin perkiraannya. Bahkan tempe bosok pun masih ada pembelinya. Tetap bermanfaat. Seperti juga keledai.

==============

Namun bila saja semua orang bisa berpikiran begini :

…….. bahwa, dalam pertengkaran mereka akan binasa; tetapi mereka, yang dapat menyadari kebenaran ini; akan segera mengakhiri semua pertengkaran.

Itu makanya saya menyarankan, HAPUS semua komen komen yang anda rasa mengajak anda berantem di tulisan tulisan very good punya anda. Dengan menghapus komen komen itu, anda sudah membantunya. Dengan tidak menyebarkan keburukan dirinya pada dunia Kompasiana. Anda menolong diri anda sendiri, untuk tidak terjun terlelap begitu jauh pada apa yang kadang tidak anda sadari, kebencian itu sendiri.

Anda tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Tulisan anda adalah milik anda, dengan catatan bila tulisan itu tidak copas. Anda tidak mungkin bisa disenangi semua orang. Tapi anda bisa mengusahakan relatif. Terlalu banyak jangan begini, jangan begitu, kadang jadinya tidak asik. Resiko nya itu yang asik.

Jangan pedulikan hinaan, telaah kembali kritik, intropeksi pada diri sendiri. Kalau anda marah pada sebuah tuduhan kepada anda, saya malah jadinya curiga, jangan jangan tuduhan itu benar adanya.

Akhirnya, bila anda ingin maju… biarkan saja dulu mengalir dengan apa adanya. Jangan takut dibilang begini, jangan takut dibilang begitu. Hidup akan mengajari anda. Bukan nasehat dari orang terbijak sekalipun. Anda lah yag terbijak untuk anda. Anda diminta menimbang nimbang, untuk kebaikan bagi anda sendiri, yang sebisanya tidak banyak merugikan sesama. Kuda yang sehat, akan berlari meninggalkan kuda kuda lain yang tidak waspada, saat mendengar atau merasakan ada harimau yang ingin memangsa.

Karena lihat alinea 1, anda mahluk sosial.

Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan; kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati, Tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.

Itu yang harus anda terapkan jika ingin maju. Gilas jalan anda dengan Ilmu, berjalanlah dengan kebijaksanaan. Tak pernah kebenaran lebih berharga dari kebijakan. Anda bijak, bila berbohong pada istri anda bahwa anda tidak selingkuh. Tapi anda akan lebih bijak lagi bila ada usaha dari diri anda (setelah anda berhasil membohongi istri anda) untuk bertekad tidak selingkuh.

Jakarta, 1 Maret 2011
Salam - Traktor Lubis
Artikel Yang Berhubungan Badan:


0 Response to "Keledai, Kedelai dan Kuda"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme