Di SMA: Ipa - Sos - Bahasa, di Kompasiana: Reportase - Opini - Fiksi


Daily Traktor, 05 Maret 2011.  Akhirnya, demo Hari Fiksi Kompasia menunjukkan hasil sekitar pukul 9.00 - 10.00 WIB, tulisan fiksi Rahasia Kepedihan sudah turun dari HL digantikan Pipi Merah Jambu karya Granito Ibrahim.

12992549501464300135
Saya print screen semalam, karena feeling saya hari ini pasti diganti


Apakah Admin Kompasiana memang tidak peka pada tulisan tulisan bersifat fiksi? Kisah, buah pemikiran, imajinasi dari penulis penulis muda atau yang sudah kawakan di Kompasiana? 

Karena melihat kecenderungan HL juga tulisan tulisan seperti itu.  Saya mengambil contoh ke tulisan saya sendiri.  Hampir semua tulisan saya yang bersifat reportase yang menjadi jagoaan menurut Admin (Masuk HL).

Tulisan tulisan yang banyak menyajikan fakta, laporan pandangan mata, pengalaman yang bermanfaat, info terbaru tantang gadget, laporan ini dan itu, konflik, acara gunting pita dll, yang seperti itu yang sering nongkrong HL di Kompasiana.

Saya melihat kembali ke tulisan tulisan saya yang lain, yang menurut saya sendiri kadang adalah tulisan saya yang (bisa jadi) terbaik menurut saya.  Misalkan kisah sarat emosional, perjalanan  hidup dan pluralisme yang indah dalam kisah bertajuk Dan Bu Hajjah Pun Bangkit Seketika… atau yang ini “Ibu Mengajar, Nak!”, Bu Siti terharu. Kisah manis getir guru desa yang mengajar di sebuah sekolah reyot di pedalaman.

Sebenarnya 2 kisah tersebut menurut saya lebih menyentuh ke kehidupan yang sebanarnya.  Karena fiksi fiksi itu benar benar seperti nyata, tidak dibuat buat, jelas jelas menggambarkan kehidupan orang Indonesia baik di masa lampau maupun di hari ini.  Yang sebenarnya idenya tidak jauh beda dengan yang HL ini Cerita dari Batu-batu Tua di Borobudur. Lihat di judul saya tulis Cerita.

Hanya, karena Cerita dari Batu-batu Tua di Borobudur itu saya sajikan dengan gaya reportase.  Artinya saya menggambarkan proses terjadinya cerita itu.  Bukan ke ceritanya tapi ke prosesnya.  Mungkin karena sifat sifat teknis tersebut tulisan dianggap layak menjadi HL.

Ini menyedihkan.  Karena sebenarnya hidup tidak seperti itu. Hidup selalu dinamis.  Mengalir seperti air, yang kita tidak tahu ke arah mana mengalirnya.  Atau Admin untuk Kolom Fiksi sebenarnya bukan orang yang mengerti fiksi?

1299255982303214513Ibaratnya kalau di SMA, jurusan IPA dianggap lebih elit daripada jurusan Sosial, apalagi Bahasa.  Begitulah yang saya amati di Kompasiana, reportase lebih bergengsi daripada Opini, dan Fiksi jauh di belakangnya.

Apakah Kompasiana terobsesi jadi SMA? Atau malah ingin menjadi seperti koran? 

Sekedar info untuk Admin, kalau tidak percaya cek ke data penjualan Gramedia.  Buku terlaris sepanjang sejarah percetakan manusia itu buku fiksi, imajinasi, Harry Potter. Yah benar.  Bukan buku tentang bagaimana cara mengamankan Facebook atau panduan kilat memakai Ipad, bukan buku buku politik. Bahkan buku buku bersifat Politik itu termasuk yang paling susah dijual, terkecuali Gurita Cikeas.

Kemudian di genre fiksi lagi.  Komedi dan Horor kesannya dikesampingkan.  Maksud saya kisah fiksi yang bersifat jenaka seperti banyak karya karya Putu WIjaya. Komedi Satir tentang hidup.  Saya kok ragu Admin Kompasiana bisa memahami hal hal seperti ini.

Kemudian, tahukh anda mengapa di sekolah sekolah dari SD sampai SMA murid muridnya dipaksa belajar puisi? Mulai dari apresiasi sampai menulis puisi? Apakah dimaksudkan agar mereka menjadi penyair?


12992562761433844570
Puisi puisi dipejari di sekolah karena kesulitan memahami bahasa. Puisi adalah tulisan yang paling susah dipahami.  Bila anda sanggup memahami puisi (yang bener).  Dengan catatan bukan tulisan prosa yang dibentuk seperti puisi. Tapi benar benar puisi yang berisi kiasan, permainan kata, idiom, yang mengekspresikan jiwa penulisnya.  Anda memahami hal hal seperti ini.  Saya jamin, anda akan sangat mudah memahami bahasa Biologi. Anda juga akan sangat gampang memahami bahasa Fisika.  Anda juga akan bisa sambil dengar musik Metal memahami bahasa Sejarah.

Namun karena ketidak tahuan akan hal ini.  Pentingnya bahasa seni ini sebagai pemicu dasar bagi manusia untuk berpikir ketika membaca. Untuk berimajinasi saat mata menemukan sebentuk huruf huruf mati yang ternyata bisa menari nari di kepala.

Ketidakmampuan memahami ini akan menyebabkan fiksi itu dianggap kelas 3. Setelah Ipa dan Sos, lalu Bahasa di pembagian jurusan di SMA. Setelah Reportase, Opini, baru Fiksi di Kompasiana.

Saya ragu, jikalau Chairil Anwar atau Gibran masih aktif, nulis di Kompasiana, tulisan mereka bisa diganjar HL. Lah... tulisan di HL Fiksi bisa bertahan 14 hari, sementara tulisan tulisan Fiksi bisa dibilang sangat banyak silih berganti muncul.

Ini gejala apa? Apakah tulisan HL Rahasia Kepedihan itu sangat sangat bagus sekali?  Saya tidak melihatnya ke sana.

Atau ini cara Admin untuk menggairahkan Fiksi yang sebenarnya sudah bergairah?

Terus terang, saya lebih percaya opsi dugaan saya yang sebelumnya.

Salam - Traktor Lubis 5 Maret 2011





Artikel Yang Berhubungan Badan:


9 Response to "Di SMA: Ipa - Sos - Bahasa, di Kompasiana: Reportase - Opini - Fiksi"

  1. Apakah mas Lubis masih ingat ketika saya menulis ttg hal ini? Dimana HL Kompasiana mirip KORAN DAERAH? Cuma main kutip berita aktual di sana-sini? Tapi gagasannya tidak ada.

    Tulisan HL Kompasiana ibarat soerang tukang foto yang menjulurkan kameranya kesana kemari. Setalah itu KLIK, cetak, selesai.

    Tapi giliran memahami gagasan, bahasa sastra-simbolis, tidak mempan. Banyak yg mengamuk. Kenapa? karena nalar puitisnya sudah ditumpulkan karena rakus berita. Memory kesadaran mereka adalah gudang tumpukan data dan data. Maaf, ini pendapat saya.

    Traktor says:

    Ingat dong.... apalagi yang papa dan anaknya itu.

    Hihihihi.... tapi gaya traktor kan beda. tajem tapi melindas.

    Tapi seingat saya mas Lubis membantah ketika itu. Lalu mengajak saya agar berpikir Positif Thinkisme. Betul tidak ya?

    u now me lah mas TL says:

    Ha ha ha
    bener2 si TL ini
    Kepikiran nulis begini.
    dan
    bener lagi....

    Thank you
    karena sebagian dan mungkin semua uneg2 sy ke admin itu tercurah di sini....
    Tapi
    sebetulnya menurut saya
    admin kompasiana itu baru smapai taraf SMP

    eh
    dah di post di kompasiana lum?

    Traktor says:

    EA: betul... bagian dari strategi biar nyodok ke permukaan. ilmu marketing blogernas... kalo blogernas nyodok Islam. Traktor nyodok Blogernas aja.... wakakakakaka

    Orong Orong, makasih mau mampir.

    Hahaha...!
    Anda memang cerdas. Dan sudah nampak hasilnya di Kompasiana. Sudah menjadi orang beken. Selamat!

    Cuma kalau boleh pesan:
    Tinggalkan cara bepikir Positif Thikisme bila berhubungan dg gagasan. Jadikan itu sebagai metode pergaulan, bukan dalam berpikir dan diskusi. (Hanya saran, tidak mutlak)

    Traktor says:

    Kalau ente sudah meninggalkan negative thinkingisme, baru ane jalankan perintah ente

    wekekekekekeke

    Hahaha....

    Saya bisa maklum kenapa Traktor Lubis itu mengartikan KRITISISME dengan Negatif Thinking. Karena semangat atau aura tulisan Traktor sangatkonformistis. Mirip ketika seseorang pendamai yang rela berdusta untuk sesaat asal kedua orang yg bertengkar itu mau berdamai.

    Kritisisme adalah ladang tempat tumbuhnya benih dikusi dalam arti sesungguhnya. Pertentangan antar gagasan adalah magnit yang akan menyedot diskusi yang seru, untuk akhirnya menemukan pencerahan2 baru yg tak pernah diduga sebelumnya. Tapi oleh orang yg tak terbiasa akan menilai itu sebagai pikiran negatif. Tapi dikalangan peminat kajian, peminat diskusi, justru itulah sorga para penggila debat wacana.

    Tapi Konformisme, hanya ladang untuk saling MENGIYAKAN. Wadah untuk saling mengangguk sambil senyum-senyum.

    Tapi sikap konformis biasanya sangat dicinta oleh penguasa. Karena bisa menyedot partisipan mayoritas. Sedang sikap kritis sangat dibenci Penguasa karena dia mengambil posisi sbg oposan atau balance kekuasaan.

    Dan akhirnya bisa dipahami, kenapa Trkator mengambil posisi sbg seorang Konformis atau Positif-Tinkisme, karena dia ingin menyebot segemen mayoritas. Menggenjot branding dg cara aman dan nyaman. Soal idelaisme? Traktor Lubis sptnya tidak tertarik.

    Demikianlah apa adanya tanpa saya kurangi dan saya tambah.

    Dari blogernas, saya Erianto Anas melaporkan.

    Traktor says:

    Saya juga mengerti mengapa right thingkin disamakan dengan konformis thingking oleh Anas.

    Karena Negative Thingking Anas dianggapnya sebagai Kritisisme. Padahal right thinkingnya Traktor secara dinamis mengkritisi negative Thinkingnya Anas terus menerus.

    Wakakakaka

    Dan, saya juga tahu mengapa Anas suka yang negative negative. Yah seperti FPI lah, namun dalam sisi yang terbalik.

    Tidak bisa melihat mana yang benar benar bisa mengubah pandangan orang, mana yang hanya sekedar memanaskan hati.

    Anas berhasil dengan cara itu, dan itu dianggapnya sexy... wakakakakakaka

    Tapi bagi Traktor, yang paling sexy tetap Atiek CB.... ketawanya itu loh... gak kuat!

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme