BOM BOROBUDUR TAK PERNAH TERUNGKAP
LEDAKAN itu terdengar 10 menit setelah Suyono dan Triyanto mulai berpatroli. Kedua anggota Satpam (Satuan Pengamanan) candi Borobudur (yang berjumlah 56 orang) itu terhenyak.
Sumber ledakan tidak mereka ketahui. Cuaca gelap pukul 01.30 Senin 21 Januari lalu itu menghalangi penglihatan mereka. Satu menit kemudian ledakan kedua terdengar. Kali ini terlihat kepulan putih di sisi timur candi Borobudur.
Bergegas kedua orang itu lari melapor ke pos induk. Secara beruntun, kemudian terdengar beberapa ledakan lagi. Ledakan terakhir, yang kesembilan, terdengar pada pukul 03.40, sepuluh menit setelah kepala Polres Magelang tiba di tempat kejadian. Tatkala para petugas naik ke candi, mereka menemukan pecahan batu berserakan di lantai dan tangga candi.
Di sana-sini terlihat tubuh-tubuh Budha tergeletak dengan kepala patah. "Ada sembilan dari 72 stupa yang ada di candi Borobudur yang diperkirakan menjadi sasaran ledakan," kata Mayjen Soegiarto, panglima Kodam VII/Diponegoro, yang sekitar pukul 08.05 tiba di candi dengan helikopter.
Tujuh stupa yang rusak terkena ledakan terletak di sisi timur. Tiga stupa di lantai 8, dua stupa di lantai 9, dan empat di lantai 10. Pukul 05.30, tim Jihandak (Penjinak Bahan Peledak) dari Yon Zipur Magelang, yang terdiri dari tujuh orang dan dipimpin Kapten Mardjono, tiba di candi.
Satu jam kemudian dua orang anggota tim Jihandak Polda Ja-Teng tiba. Berembuk sejenak, kesembilan penjinak bom itu berdoa bersama, lalu memulai tugas mereka. Di teras pertama dan kedua (lantai 8 dan 9), tim jihandak itu menemukan dua bom berupa batangan dinamit - yang belum meledak. Letaknya pada pantat patung Budha dalam stupa di samping kanan pintu timur.
"Kami agak ragu mengambil dinamit itu, karena timer-nya tak begitu kelihatan," tutur Mardjono. Setelah diketahui timer dinamit pertama menunjuk angka 10.30, barulah bom itu diambil.
Di luar, timer dimatikan, lalu sumbu yang menghubungkannya dengan peledak dipotong. Dinamit kedua lebih sulit, karena timer-nya menggunakan jam tangan murahan Rotax.
"Detonator listrik yang digunakan kebetulan buatan RRC. Seperti diketahui, di Indonesia detonator semacam ini, selain yang buatan RRC, juga beredar buatan Swiss dan Jepang," kata Pangdam Soegiarto dalam keterangan persnya Senin siang pekan ini di pendopo candi Borobudur.
Sumber tenaga yang digunakan: dua buah baterai National 1 1/2 Volt untuk tiap perangkat bom, yang terdiri dari tiga atau empat batang dinamit, yang masing-masing 100 gram. Dinamit yang dipakai TNT (TriNitro Toluen) tipe batangan PE 808/tipe Dahana. "Kabelnya halus dan dipatri dengan rapi," ujar Soegiarto.
Menurut Mardjono, 34, pembuat bom itu "sudah termasuk profesional, untuk ukuran Indonesia". Teknik elektronya cukup tinggi. Si pembuat, misalnya, hanya memasang jarum kecil arloji Rotax saja, yang dijadikan timer. "Artinya, menit dan detik tak bisa diketahui oleh penjinak," kata Mardjono.
Serma (Pol.) Sugiyanto, anggota tim Jihandak Brimob Polda Ja-Teng, di depan Pangdam Soegiarto juga menjelaskan, untuk merakit satu perangkat bahan peledak itu dibutuhkan sekitar 30 menit. Jadi, untuk merakit 11 buah bom yang dipasang di Borobudur itu diperkirakan perlu waktu sekitar 5 1/2 jam.
Pangdam Soegiarto mengimbau, agar masyarakat tak guncang karena peledakan itu. "Masyarakat hendaknya meningkatkan kewaspadaan dengan meningkatkan siskamling," ujarnya. Siapa pelakunya? "Belum diketahui. Sejauh ini belum ada yang ditangkap," jawab Soegiarto.
"Tapi aparat keamanan kita sudah mendapat gambaran para pelakunya," tambahnya. Melihat njlimetnya pekerjaan, diperkirakan pelakunya tidak sendirian. Mengingat kompleks candi ditutup pukul 18.00, Soegiarto memperkirakan pemasangan bom itu dilakukan malam hari. Peledakan Borobudur, candi Budha yang dibangun Wangsa Syailendra sekitar abad VIII ini, dengan segera mengundang kutukan.
"Sungguh tindakan yang biadab," kata budayawan Yogyakarta Dick Hartoko. Peristiwa biadab itu cepat disiarkan lewat RRI dan TVRI pada Senin malamnya. Presiden Soeharto sendiri menganggap pelaku peledakan itu "orang yang tidak mempunyai kebanggaan nasional, karena Borobudur adalah monumen nasional, bahkan sudah menjadi monumen dunia".
Kepala Negara menegaskan hal itu setelah menerima laporan Menteri P & K Nugroho Notosusanto di kediamannya di Jalan Cendana, Senin pagi. Kata Nugroho, tidak tertutup kemungkinan bahwa peledakan dilakukan kelompok teroris.
Pemerintah, menurut Nugroho yang mengutip penjelasan Presiden, sama sekali tidak berniat menjadikan candi Borobudur tempat ibadat. "Sebab, bagi umat Budha yang ingin beribadat, pemerintah telah menunjuk candi Mendut."
Karena Borubudur bukan tempat ibadat, siapa pun orangnya dan apa pun agamanya boleh mengunjunginya. Penegasan Presiden ini dianggap perlu agar semua orang tahu prinsip pemerintah dalam menangani monumen tersebut.
KERUSAKAN akibat peledakan itu cukup parah.
Dari sembilan stupa (yang tersusun dari 2.692 blok batu), diperkirakan 60% sampai 70% runtuh. "Dari sekian yang runtuh itu, yang sama sekali tidak bisa dipakai lagi ada 25 persen," kata Gusti Ngurah Anom, kepala Suaka Sejarah dan Sejarah Ja-Teng.
Dua arca Budha yang terletak di teras ketiga rusak amat berat, sedangkan yang lainnya rusak berat. "Dari sudut arkeologis, kerusakan ini sulit dinilai," kata Anom. Patung yang rusak sedapat mungkin akan dilem.
Anom memperkirakan, perbaikan Borobudur memerlukan waktu lima sampai enam bulan, dengan biaya sekitar Rp 16,3 juta. Senin siang lalu, perbaikan candi langsung dimulai, dengan mengerahkan 50 pekerja. Hanya sehari itu candi ditutup untuk umum. Selasa lalu candi sudah bisa dikunjungi umum lagi.
Menurut Anom, kerusakan Borobudur tidak begitu berat, karena candi itu menggunakan sistem konstruksi goyang (movable), sehingga kalau ada ruas (sambungan) akan pecah, bagian batu bisa selamat. Candi Borobudur selesai dipugar pada Februari 1983. Biaya pemugaran US$ 25 juta, 75% dari pemerintah Indonesia. Sisanya dari Unesco (US$ 6,5 juta) dan sejumlah penyumbang swasta lainnya.
17 MEI 1999
Bom Borobudur, 16 Tahun Kemudian
SEPERTI banyak kasus bom lain, peledakan Candi Borobudur 16 tahun lalu juga masih menyisakan misteri yang menyangkut dalang sebenarnya di belakang tindakan amoral itu.
Nama Ibrahim-alias Mohammad Jawad alias Kresna-disebut-sebut sebagai dalangnya. Anehnya, makhluk misterius itu tak diketahui batang hidungnya hingga kini. Aparat belum berhasil meringkusnya, apalagi mengorek motivasinya.
Memang, Abdulkadir Ali Alhabsyi, 40 tahun, yang ditangkap beberapa saat setelah kejadian, telah divonis oleh Pengadilan Negeri Malang dengan hukuman penjara 20 tahun karena terbukti sebagai pelaku peledakan itu. Dia memperoleh remisi Presiden RI setelah menjalani hukuman 10 tahun.
Kakaknya, Husein bin Ali Alhabsyi, 46 tahun, walaupun telah diganjar hukuman penjara seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Lowokwaru, Malang, tetap menolak tuduhan dirinya terlibat.
Pemerintahan Habibie memberinya grasi pada 23 Maret silam. Tapi Abdulkadir hanya pelaku di lapangan, dan Husein, ulama buta itu, hingga kini tetap menolak tuduhan menjadi dalang, bahkan menyatakan sama sekali tak terlibat.
Sekitar tujuh stupa rusak berantakan ketika Abdulkadir dan ketiga kawannya meledakkan sejumlah bom di kompleks candi bersejarah di Jawa Tengah pada 15 Januari 1986 itu. Pengeboman itu berkaitan dengan kasus kecelakaan ledakan bom di bus Pemudi Express di Banyuwangi dan peledakan Gereja Sasana Budaya Katolik Magelang beberapa waktu setelahnya.
Dalam pengadilan yang menjadi sorotan masyarakat luas itu, jaksa menuduh bahwa rentetan pengeboman itu merupakan aksi balas dendam Abdulkadir dan kawan-kawan yang muslim terhadap peristiwa Tanjungpriok pada 1983, yang menewaskan puluhan nyawa umat Islam.
Albdulkadir membenarkan motivasi peledakan itu sebagai ungkapan ketidakpuasan para mubalig, entah siapa, atas peristiwa berdarah itu. Namun, keterangan itu laik diragukan karena Ibrahim, orang yang disebut Husein sebagai dalangnya, tidak pernah dapat ditemukan oleh aparat sendiri.
Peristiwa itu juga meragukan dipandang dari konteks politik kala itu, ketika sejumlah elite politik yang bercokol di punggung rezim Orde Baru memberlakukan politik anti-Islam. Peledakan candi yang disebut satu dari tujuh keajaiban dunia itu dianggap sebagai rekayasa dari kelompok anti-Islam untuk menyudutkan kelompok Islam.
Kecurigaan itu semakin kuat bila kesaksian Abdulkadir didengarkan. Lelaki bertubuh tinggi besar dengan kulit berwarna gelap ini mengaku sebetulnya dia tidak mengetahui rencana pengeboman. Dia dan ketiga kawan lain pada awalnya hanya sekadar diajak oleh Ibrahim untuk berekreasi.
"Kita dulu diajak berkemah," kata Abdulkadir mengenang peristiwa 16 tahun lalu itu. Mereka baru mafhum dengan rencana jahat itu setelah mereka sampai di Borobudur dan diberi bom-bom itu.
Konyolnya, setelah "dikipasi" soal-soal balas dendam politik akibat peristiwa Tanjungpriok, keempat kawan itu akhirnya oke-oke juga.
Sebagai pelaku di lapangan, Abdulkadir mengaku tidak mengetahui seluk-beluk bom. Artinya, dia sendiri tidak profesional. Ketika mereka beraksi, bom telah dirakit secara rapi.
Bahan bom terbuat dari trinitrotoluena (TNT) tipe batangan PE 808/tipe Dahana. Tiap bom terdiri dari dua batang dinamit yang dipilin dengan selotip. Abdulkadir dan kawan-kawannya hanya tinggal memasangnya di dalam stupa dan memencet tombol berupa tombol arloji untuk mengaktifkannya.
"Yang merakit bom adalah Ibrahim," kata Abdulkadir. Ketidakprofesionalan juga tampak dalam peristiwa ledakan bom secara tidak sengaja di atas bus Pemudi Express jurusan Bali yang mereka tumpangi. Bom yang mereka bawa waktu itu dimasukkan ke dalam lonjoran paralon berdiamater sekitar 30 sentimeter dan dimasukkan dalam tas.
Mereka tidak paham bahwa bom itu bisa meledak bila kepanasan. "Bom itu diletakkan di atas mesin. Karena panas dan memuai, meledaklah bom itu, " kata Abdulkadir. Pendek kata, ilustrasi itu memperkuat kecurigaan bahwa Abdulkadir dan kawan-kawan hanyalah pelaku kelas teri dalam rentetan "teror politik" untuk Islam itu.
Soal Ibrahim atau Mohammad Jawad, si makhluk misterius itu, sosoknya konkret. Menurut penuturan Husein kepada TEMPO, orang itu pernah datang ke majelis taklim yang dipimpin Husein di Malang. Datang sebagai ustad, Jawad sering memberikan ceramah di situ tentang berbagai hal, termasuk soal kasus Tanjungpriok yang berdarah.
Tampak jenius di mata Husein, Jawad cukup mampu mempengaruhi anak-anak muda, termasuk Abdulkadir. Jawad itulah, menurut Husein, dalang peledakan Borobudur. "Ternyata dia punya rencana-rencana peledakan yang baru saya ketahui setelah terjadi," kata Husein. Persoalannya: mengapa aparat tak pernah mengejar Jawad?
0 Response to "BOM BOROBUDUR TAK PERNAH TERUNGKAP"
Posting Komentar