BOROBUDUR YANG SALAH URUS!
Borobudur
Marco Kusumawijaya
Arsitek, sukarelawan pembuat Peta Hijau Mandala Borobudur
Pada 13 Maret 2005, koran Bernas dan Kedaulatan Rakyat memasang gambar utama pada halaman muka: para miss ASEAN di puncak Candi Borobudur. Jelas sekali beberapa miss mendaki dan duduk pada stupa, melanggar aturan seperti yang tertera di beberapa pengumuman di sekitarnya. Beberapa dari mereka bersepatu hak tinggi dengan ujung runcing, yang jelas tidak bersahabat dengan sejuta batu Borobudur. Skandal! Keterangan gambar dan berita yang termuat di dua harian tersebut sama sekali tidak menyebut kelakuan sangat tercela dan memalukan ini.
Borobudur memang harus dibela seluruh warga dunia karena suara umat Buddha di Indonesia sendiri tak cukup. Jumlahnya hanya sekitar dua persen dari total penduduk Indonesia. Mereka juga tidak terhimpun dalam satu organisasi hierarkis, melainkan terbagi dalam 12 komunitas.
Sebagian dari umat Buddha Indonesia bernaung di bawah KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia), sebagian lainnya dengan Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia). Selain itu, ada Hikmabuddhi (Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia), kumpulan orang-orang muda dari berbagai mazhab dan sekte, agar peka terhadap masalah-masalah bangsa Indonesia. Komunitas-komunitas Buddha tidak selalu satu suara—itu pun jika mereka bersuara.
Lagi pula Borobudur telah dinyatakan sebagai "monumen mati" ketika masuk daftar Pusaka Dunia oleh UNESCO pada 1980-an. Maksudnya, untuk membatasi penggunaannya agar terawat baik, dan mencegah tuntutan kepemilikan sepihak oleh kelompok tertentu. Tapi, ini lantas berarti Borobudur dikuasai pemerintah nasional. Apakah ini lebih baik daripada jika candi itu dinyatakan sebagai milik penganut Buddhisme yang dapat aktif merawatnya? Nyatanya, kita mengalami serba salah urus hingga saat ini.
Bagaimana kompromi yang baik? Yang jelas, Borobudur tak sama dengan "monumen mati" dunia lain seperti Acropolis di Yunani, karena de facto agama Buddha dan pengikutnya masih hidup. Minimal pengelolaan Borobudur harus menghormati mereka. Harus ada suatu badan pengarah multipihak yang menyertakan wakil dari tiap 13 organisasi Buddhisme di atas. Dalam praktek pelestarian pusaka mutakhir, peran komunitas kembali ditonjolkan karena padanya ada empati besar, tanpa harus menyebabkan ketertutupan. Tentu saja, karena nilai Borobudur memang mendunia, berbagai pihak lain seperti masyarakat tempatan dan dunia internasional harus juga terwakili.
Memang bukan hanya sekali Borobudur dizalimi. Pada 20 Januari 1985 dunia terkejut karena bom meledak di puncaknya. Beberapa tahun lampau kita lihat televisi menayangkan iklan mobil mewah di pelataran zona 1, yang seharusnya mendapat perawatan sangat ketat serta penghormatan tinggi. Diharamkan bagi kegiatan komersial diadakan di tempat itu.
Akhir 2002, dunia heboh dengan rencana pembangunan Jagat Jawa, sebuah pusat perbelanjaan tiga lantai di dekat Borobudur. Sejumlah komunitas dan penulis sempat mengorganisasikan petisi internasional, dan dengan bantuan media massa nasional dan internasional membawa masalah ini ke ruang khalayak dunia. UNESCO akhirnya dapat diminta mengirimkan reactive mission pada 16-20 April 2003. Badan PBB itu merekomendasikan untuk menghentikan sementara rencana tersebut. Lebih penting lagi, laporan itu juga meneropong serta merangkum berbagai masalah kronis Borobudur.
Apa sebenarnya masalah kronis Borobudur? Manajemen buruk, konsep pelestarian pusaka yang sempit, tak lagi memadai, dan kepariwisataan yang tak berarah.
Semua orang yang pernah mengunjungi Angkor Wat bersemangat membuat perbandingan dengan pengelolaan Borobudur: pengunjung berjubel dengan arus tak diatur, sampah berserakan, tak dibina suasana mendukung sebuah pusaka spiritual kelas dunia, pembiaran hiruk-pikuk, pedagang asongan yang agresif menghadang di mana-mana.
Untuk keluar, orang harus melewati lorong-lorong tempat pedagang menjajakan barang tak bermutu yang tak ada hubungannya dengan Borobudur. Sebaliknya, tak satu pun buku tentang Borobudur ditemukan. Eksploitasi ekonomi atas Borobudur bukannya tidak boleh, tetapi mbok jangan murahan.
Perawatan Borobudur memang perlu biaya besar. Tetapi, baru sebagian kecil keuntungan yang diperoleh digunakan untuk keperluan tersebut. Sebabnya adalah manajemen yang terbelah. Perawatan dilakukan salah satu direktorat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Sedangkan keuntungan dikelola sebuah BUMN, PT Taman Wisata Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, yang menguasai penjualan karcis masuk dan penyelenggaraan kegiatan komersial.
Konsep pelestarian Borobudur sudah waktunya diperluas. Makin banyak temuan yang menunjukkan lingkungan sekitarnya juga merupakan pusaka arkeologi dan ekologis yang tak terpisah dan menawarkan kekayaan tak kalah menariknya. Memelihara lingkungan ini dan mengajak penduduk setempat terlibat dalam pelestarian lingkungan dan ekonomi kepariwisataan justru akan meningkatkan jumlah kunjungan orang, serta meratakan beban dan keuntungan, yang merupakan syarat pelestarian berkelanjutan.
Para pembuat peta hijau Jakarta dan Yogyakarta, bersama penduduk setempat, sudah mulai proses membuat Peta Hijau Mandala Borobudur dan sekitarnya yang mencakup seluruh kawasan watershed Dataran Kedu yang dikelilingi Gunung Merapi-Merbabu di timur, Sumbing-Sindoro di barat, Telomoyo di utara, dan perbukitan Menoreh di selatan. Pada beberapa desa ditemukan spesialisasi produksi, misalnya desa pembuat tahu dan desa pembuat gerabah. Ada juga mata air panas dan mata air asin serta puluhan aliran air besar dan kecil, selain yang besar seperti Kulon Progo.
Sebaran candi-candi di wilayah Dataran Kedu, hingga ke puncak Menoreh dan lereng Merapi, sudah lama diduga memiliki hubungan makna dengan Borobudur. Maklum, Borobudur, suatu produk budaya yang mengumpulkan energi sangat besar, hanya dapat dihasilkan kalau ada surplus ekonomi dan dukungan logistik dari saujana alam yang menunjang. Makna kemudian diciptakan melalui, antara lain, analogi pengalaman pencerahan di puncak Borobudur yang tak dapat dilepaskan dari analogi samyag drishti (pandangan benar) atas saujana seluruh Dataran Kedu di sekelilingnya. Dengan kata lain, pusaka yang harus dilestarikan untuk mendapatkan pelajaran sejarah, spiritual, dan ekologi yang optimal tidak cukup hanya Borobudur, tetapi seluruh kawasan watershed itu sendiri. Di Jepang, yang dilestarikan bukan hanya Gunung Fuji per se, tapi juga beberapa koridor visual ke arahnya. Konsep pelestarian mutakhir ini disebut cultural landscape (saujana budaya), yang ingin menekankan kesatuan antara pusaka alam dan budaya.
Mengenali bahwa ada lebih banyak dan lebih dalam yang ditawarkan lingkungan Borobudur seharusnya menjadi haluan dalam mengarahkan konsep kepariwisataan yang sesuai dengan nilai-nilai dan pelestariannya. Hal itulah yang seharusnya menjadi ukuran bagi kegiatan yang pantas di sana. Sekadar konser musik pop, tak beda dengan yang di TV, sama nilainya dengan suvenir yang dijual di sana, yang dapat dibeli di mana saja. Turisme, dikaitkan dengan pelestarian artifak maha-agung, tidak semestinya jatuh menjadi sekadar meningkatkan jumlah pengunjung. Ada informasi dan pendidikan pengunjung yang harus dikelola. Perlu orkestrasi semua kegiatan sedemikian rupa sehingga menjadi khas, hanya dapat dialami di Borobudur, dan tidak murahan.
Untuk memungkinkan semua perubahan itu, suatu rencana menyeluruh yang sangat baik—tidak boleh setengah-setengah—harus dirumuskan. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata harus fokus: masterplan dan keputusan presiden yang mengatur manajemen harus dirombak habis-habisan, di bawah pengawasan suatu badan pengarah yang sungguh multipihak.
Marco Kusumawijaya
Arsitek, sukarelawan pembuat Peta Hijau Mandala Borobudur
Pada 13 Maret 2005, koran Bernas dan Kedaulatan Rakyat memasang gambar utama pada halaman muka: para miss ASEAN di puncak Candi Borobudur. Jelas sekali beberapa miss mendaki dan duduk pada stupa, melanggar aturan seperti yang tertera di beberapa pengumuman di sekitarnya. Beberapa dari mereka bersepatu hak tinggi dengan ujung runcing, yang jelas tidak bersahabat dengan sejuta batu Borobudur. Skandal! Keterangan gambar dan berita yang termuat di dua harian tersebut sama sekali tidak menyebut kelakuan sangat tercela dan memalukan ini.
Borobudur memang harus dibela seluruh warga dunia karena suara umat Buddha di Indonesia sendiri tak cukup. Jumlahnya hanya sekitar dua persen dari total penduduk Indonesia. Mereka juga tidak terhimpun dalam satu organisasi hierarkis, melainkan terbagi dalam 12 komunitas.
Sebagian dari umat Buddha Indonesia bernaung di bawah KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia), sebagian lainnya dengan Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia). Selain itu, ada Hikmabuddhi (Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia), kumpulan orang-orang muda dari berbagai mazhab dan sekte, agar peka terhadap masalah-masalah bangsa Indonesia. Komunitas-komunitas Buddha tidak selalu satu suara—itu pun jika mereka bersuara.
Lagi pula Borobudur telah dinyatakan sebagai "monumen mati" ketika masuk daftar Pusaka Dunia oleh UNESCO pada 1980-an. Maksudnya, untuk membatasi penggunaannya agar terawat baik, dan mencegah tuntutan kepemilikan sepihak oleh kelompok tertentu. Tapi, ini lantas berarti Borobudur dikuasai pemerintah nasional. Apakah ini lebih baik daripada jika candi itu dinyatakan sebagai milik penganut Buddhisme yang dapat aktif merawatnya? Nyatanya, kita mengalami serba salah urus hingga saat ini.
Bagaimana kompromi yang baik? Yang jelas, Borobudur tak sama dengan "monumen mati" dunia lain seperti Acropolis di Yunani, karena de facto agama Buddha dan pengikutnya masih hidup. Minimal pengelolaan Borobudur harus menghormati mereka. Harus ada suatu badan pengarah multipihak yang menyertakan wakil dari tiap 13 organisasi Buddhisme di atas. Dalam praktek pelestarian pusaka mutakhir, peran komunitas kembali ditonjolkan karena padanya ada empati besar, tanpa harus menyebabkan ketertutupan. Tentu saja, karena nilai Borobudur memang mendunia, berbagai pihak lain seperti masyarakat tempatan dan dunia internasional harus juga terwakili.
Memang bukan hanya sekali Borobudur dizalimi. Pada 20 Januari 1985 dunia terkejut karena bom meledak di puncaknya. Beberapa tahun lampau kita lihat televisi menayangkan iklan mobil mewah di pelataran zona 1, yang seharusnya mendapat perawatan sangat ketat serta penghormatan tinggi. Diharamkan bagi kegiatan komersial diadakan di tempat itu.
Akhir 2002, dunia heboh dengan rencana pembangunan Jagat Jawa, sebuah pusat perbelanjaan tiga lantai di dekat Borobudur. Sejumlah komunitas dan penulis sempat mengorganisasikan petisi internasional, dan dengan bantuan media massa nasional dan internasional membawa masalah ini ke ruang khalayak dunia. UNESCO akhirnya dapat diminta mengirimkan reactive mission pada 16-20 April 2003. Badan PBB itu merekomendasikan untuk menghentikan sementara rencana tersebut. Lebih penting lagi, laporan itu juga meneropong serta merangkum berbagai masalah kronis Borobudur.
Apa sebenarnya masalah kronis Borobudur? Manajemen buruk, konsep pelestarian pusaka yang sempit, tak lagi memadai, dan kepariwisataan yang tak berarah.
Semua orang yang pernah mengunjungi Angkor Wat bersemangat membuat perbandingan dengan pengelolaan Borobudur: pengunjung berjubel dengan arus tak diatur, sampah berserakan, tak dibina suasana mendukung sebuah pusaka spiritual kelas dunia, pembiaran hiruk-pikuk, pedagang asongan yang agresif menghadang di mana-mana.
Untuk keluar, orang harus melewati lorong-lorong tempat pedagang menjajakan barang tak bermutu yang tak ada hubungannya dengan Borobudur. Sebaliknya, tak satu pun buku tentang Borobudur ditemukan. Eksploitasi ekonomi atas Borobudur bukannya tidak boleh, tetapi mbok jangan murahan.
Perawatan Borobudur memang perlu biaya besar. Tetapi, baru sebagian kecil keuntungan yang diperoleh digunakan untuk keperluan tersebut. Sebabnya adalah manajemen yang terbelah. Perawatan dilakukan salah satu direktorat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Sedangkan keuntungan dikelola sebuah BUMN, PT Taman Wisata Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, yang menguasai penjualan karcis masuk dan penyelenggaraan kegiatan komersial.
Konsep pelestarian Borobudur sudah waktunya diperluas. Makin banyak temuan yang menunjukkan lingkungan sekitarnya juga merupakan pusaka arkeologi dan ekologis yang tak terpisah dan menawarkan kekayaan tak kalah menariknya. Memelihara lingkungan ini dan mengajak penduduk setempat terlibat dalam pelestarian lingkungan dan ekonomi kepariwisataan justru akan meningkatkan jumlah kunjungan orang, serta meratakan beban dan keuntungan, yang merupakan syarat pelestarian berkelanjutan.
Para pembuat peta hijau Jakarta dan Yogyakarta, bersama penduduk setempat, sudah mulai proses membuat Peta Hijau Mandala Borobudur dan sekitarnya yang mencakup seluruh kawasan watershed Dataran Kedu yang dikelilingi Gunung Merapi-Merbabu di timur, Sumbing-Sindoro di barat, Telomoyo di utara, dan perbukitan Menoreh di selatan. Pada beberapa desa ditemukan spesialisasi produksi, misalnya desa pembuat tahu dan desa pembuat gerabah. Ada juga mata air panas dan mata air asin serta puluhan aliran air besar dan kecil, selain yang besar seperti Kulon Progo.
Sebaran candi-candi di wilayah Dataran Kedu, hingga ke puncak Menoreh dan lereng Merapi, sudah lama diduga memiliki hubungan makna dengan Borobudur. Maklum, Borobudur, suatu produk budaya yang mengumpulkan energi sangat besar, hanya dapat dihasilkan kalau ada surplus ekonomi dan dukungan logistik dari saujana alam yang menunjang. Makna kemudian diciptakan melalui, antara lain, analogi pengalaman pencerahan di puncak Borobudur yang tak dapat dilepaskan dari analogi samyag drishti (pandangan benar) atas saujana seluruh Dataran Kedu di sekelilingnya. Dengan kata lain, pusaka yang harus dilestarikan untuk mendapatkan pelajaran sejarah, spiritual, dan ekologi yang optimal tidak cukup hanya Borobudur, tetapi seluruh kawasan watershed itu sendiri. Di Jepang, yang dilestarikan bukan hanya Gunung Fuji per se, tapi juga beberapa koridor visual ke arahnya. Konsep pelestarian mutakhir ini disebut cultural landscape (saujana budaya), yang ingin menekankan kesatuan antara pusaka alam dan budaya.
Mengenali bahwa ada lebih banyak dan lebih dalam yang ditawarkan lingkungan Borobudur seharusnya menjadi haluan dalam mengarahkan konsep kepariwisataan yang sesuai dengan nilai-nilai dan pelestariannya. Hal itulah yang seharusnya menjadi ukuran bagi kegiatan yang pantas di sana. Sekadar konser musik pop, tak beda dengan yang di TV, sama nilainya dengan suvenir yang dijual di sana, yang dapat dibeli di mana saja. Turisme, dikaitkan dengan pelestarian artifak maha-agung, tidak semestinya jatuh menjadi sekadar meningkatkan jumlah pengunjung. Ada informasi dan pendidikan pengunjung yang harus dikelola. Perlu orkestrasi semua kegiatan sedemikian rupa sehingga menjadi khas, hanya dapat dialami di Borobudur, dan tidak murahan.
Untuk memungkinkan semua perubahan itu, suatu rencana menyeluruh yang sangat baik—tidak boleh setengah-setengah—harus dirumuskan. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata harus fokus: masterplan dan keputusan presiden yang mengatur manajemen harus dirombak habis-habisan, di bawah pengawasan suatu badan pengarah yang sungguh multipihak.
0 Response to "BOROBUDUR YANG SALAH URUS!"
Posting Komentar