ORANG BALI = ORANG MAJAPAHIT?
SELAMA ini sering dikatakan, orang Bali sebenarnya keturunan imigran Majapahit yang menyingkir ke Bali setelah ambruknya Majapahit pada abad ke-15. Kini muncul bantahan: orang Bali bukan keturunan imigran Majapahit.
Keruan saja para tokoh agama dan ilmuwan Bali geger. Ketut Sarna, pengajar biologi di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Udayana (Unud), Denpasar, sampai pada kesimpulan itu.
Hasil studi Ketut Sarna, yang rampung akhir Juli lalu itu, digelar dalam seminar di kampus Unud pertengahan Oktober lalu. "Memang ada orang Majapahit yang datang, tapi jumlahnya terbatas," ujarnya. Imigran Majapahit yang datang ke Bali, menurut Ketut Sarna, banyak menjadi pemuka agama. Pengaruhnya memang ada, terutama dalam segi agama, sosial, dan kebudayaan.
"Tapi dari segi genetis pengaruhnya tidak besar," tambahnya. Penduduk Bali, menurut Ketut Sarna, sama tuanya dengan manusia Jawa, sama-sama berasal dari daratan Asia, dengan jenis ras Melayu-Mongolid, dan kemudian bercampur dengan ras Austro-Melanosoid Mongolid.
Keberadaannya di Bali telah berlangsung sejak akhir zaman Plestosin, nun 10 ribu tahun silam. Sebagaimana manusia Jawa purba, manusia Bali pun berkembang secara tertutup sehingga memiliki ciri fisik dan budaya tersendiri. Ribuan tahun masyarakat Bali berkembang hingga datang orang Majapahit pada abad ke-15.
Lalu, bagaimana pertumbuhan "koloni" orang Jawa di Bali itu? Mendominasi populasi penduduk Bali yang kini mencapai 2,7 juta jiwa? Jawaban atas soal itulah yang dicari Ketut Sarna lewat studinya.
Dalam studi itu, dosen FKIP Unud itu menjalankan pendekatan lewat dua parameter: tinggi badan dan golongan darah. Untuk tujuan itu, dia mengambil sampel dari empat desa, Sembiran, Trunyan, Tenganan, dan Pagayaman. Tiga yang pertama dikenal sebagai desa-desa tua yang dihuni oleh orang-orang Bali asli, dan disebut sebagai Bali Age.
Sedangkan Pagayaman, desa bercorak Islam di Sukasada, Buleleng, dianggap mewakili koloni ras asli Jawa di Bali. Nenek moyang penduduk Pagayaman, konon, datang dari Kartasura, Mataram, pada 1604. Mereka diutus raja Mataram ke Singaraja mengantarkan hadiah berupa beberapa ekor gajah kepada Ki Panji Sakti yang ketika itu tengah membangun Kota Singaraja. Para pawang gajah itu kemudian menetap di Bali dan membangun Desa Pagayaman.
Terhadap keempat desa itu, Ketut Sarna merekrut masing-masing sekitar 100 responden dewasa, 50 wanita dan 50 pria. Lewat wawancara, Ketut Sarna bisa memastikan mereka adalah penduduk asli desa itu.
Kemudian dia mengambil sampel darah setiap responden, diperiksa golongannya. Untuk keperluan analisa, hanya golongan darah A, B, dan O, yang digunakan. Di Desa Pagayaman, Ketut Sarna menemukan frekuensi golongan darah A:B:O sebagai 4,7%: 36,4%: 58,9%.
Sedangkan di tiga desa Bali Age (Trunyan, Sembiran, dan Tenganan) Sarna memperoleh frekuensi A:B:O rata-rata sebagai 9,8%: 19,9%: 70,3%. Pada pengujian statistik, lewat metode ci-kuadrat, diperoleh hasil bahwa sebaran frekuensi golongan darah penduduk Pagayaman berbeda nyata dengan orang-orang Bali asli (Bali Age).
Dengan begitu, boleh disimpulkan kedua kelompok penduduk itu berbeda ras. Lalu bagaimana dengan darah orang Bali kebanyakan, yang kini tinggal di kota-kota, dan sering disebut wong Majapahit itu?
Untuk melihatnya, Sarna mengambil sampel darah secara acak di RSUP Sanglah di Denpasar dan RS Singaraja. Sampel dari rumah sakit itu dipilih dari mereka yang nama-namanya mengandung kata-kata, antara lain, Putu, Gede, Wayan, Nyoman, atau Ngurah.
Dari 179 sampel darah wong Majapahit itu, Sarna memperoleh sebaran frekuensi A:B:O sebagai 16,8%: 11,2%: 72%. Data itu dibandingkan dengan data kelompok Bali Age dan orang Jawa di Pegayaman. Hasilnya: darah orang Bali kebanyakan itu tak berbeda nyata dengan darah penduduk Trunyan, Sembiran, atau Tenganan.
Namun, kelompok orang Bali kebanyakan itu berbeda nyata dengan darah orang Jawa asal Pagayaman. Dengan begitu, disimpulkan bahwa orang Bali kebanyakan itu bukanlah turunan Jawa, bukan wong Majapahit.
Kesimpulan itu rupanya diperkuat dengan data tinggi badan. Riset Sarna mengungkapkan bahwa tinggi rata-rata pria dewasa Pagayaman 158,5 cm, dan wanitanya 149 cm. Kelompok Bali Age tinggi badannya mencapai 164 cm pada rata-rata prianya, dan 155 cm pada wanitanya.
Sementara itu, orang Bali kebanyakan tinggi rata-ratanya mencapai 167,6 cm (pria) dan 157,4 cm (wanita). Kendati tak setajam golongan darah, lewat analisa sidik ragam, ukuran tinggi badan itu cukup membedakan orang Jawa Pagayaman dengan orang Bali Age.
Uniknya, Sarna memperoleh bukti pula bahwa tinggi badan manusia Bali Age berbeda nyata pula dengan orang Bali kebanyakan. Kesimpulan Ketut Sarna itu dinilai sembrono oleh Ketut Sudhana Astika, antropolog di Universitas Udayana.
Asal-usul ras, kata Sudhana, "Tak bisa disimpulkan cuma lewat pengamatan yang serba sepintas." Dia tegas menolak kesimpulan Sarna yang mengatakan "orang Bali kebanyakan", alias wong Bali dataran, itu keturunan orang Bali Age.
Alasan Sudhana: tak cukup bukti berupa benda peninggalan sejarah, yang mengaitkan situs Trunyan-Sembiran-Tenganan dengan desa-desa Bali di dekat pesisir misalnya. Ritus keagamaannya pun jauh berbeda. Kebanyakan tempat di Bali menganut Hindu Bali.
Sedangkan orang Bali Age menganut Hindu Tirta atau Hindu Indra. Dalam soal persentuhan budaya atau agama, Bali Age itu pun terasa jauh dari Bali kebanyakan.
"Kami kok merasa lebih mudah bersosialisasi dengan orang Hindu Tengger, Jawa Timur," ujar Sudhana. Orang Hindu Tengger itu, konon, merupakan keturunan asli Majapahit. Nengah Wedja, Silawati, Jalil Hakim, dan Putut Tri Husodo
Keruan saja para tokoh agama dan ilmuwan Bali geger. Ketut Sarna, pengajar biologi di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Udayana (Unud), Denpasar, sampai pada kesimpulan itu.
Hasil studi Ketut Sarna, yang rampung akhir Juli lalu itu, digelar dalam seminar di kampus Unud pertengahan Oktober lalu. "Memang ada orang Majapahit yang datang, tapi jumlahnya terbatas," ujarnya. Imigran Majapahit yang datang ke Bali, menurut Ketut Sarna, banyak menjadi pemuka agama. Pengaruhnya memang ada, terutama dalam segi agama, sosial, dan kebudayaan.
"Tapi dari segi genetis pengaruhnya tidak besar," tambahnya. Penduduk Bali, menurut Ketut Sarna, sama tuanya dengan manusia Jawa, sama-sama berasal dari daratan Asia, dengan jenis ras Melayu-Mongolid, dan kemudian bercampur dengan ras Austro-Melanosoid Mongolid.
Keberadaannya di Bali telah berlangsung sejak akhir zaman Plestosin, nun 10 ribu tahun silam. Sebagaimana manusia Jawa purba, manusia Bali pun berkembang secara tertutup sehingga memiliki ciri fisik dan budaya tersendiri. Ribuan tahun masyarakat Bali berkembang hingga datang orang Majapahit pada abad ke-15.
Lalu, bagaimana pertumbuhan "koloni" orang Jawa di Bali itu? Mendominasi populasi penduduk Bali yang kini mencapai 2,7 juta jiwa? Jawaban atas soal itulah yang dicari Ketut Sarna lewat studinya.
Dalam studi itu, dosen FKIP Unud itu menjalankan pendekatan lewat dua parameter: tinggi badan dan golongan darah. Untuk tujuan itu, dia mengambil sampel dari empat desa, Sembiran, Trunyan, Tenganan, dan Pagayaman. Tiga yang pertama dikenal sebagai desa-desa tua yang dihuni oleh orang-orang Bali asli, dan disebut sebagai Bali Age.
Sedangkan Pagayaman, desa bercorak Islam di Sukasada, Buleleng, dianggap mewakili koloni ras asli Jawa di Bali. Nenek moyang penduduk Pagayaman, konon, datang dari Kartasura, Mataram, pada 1604. Mereka diutus raja Mataram ke Singaraja mengantarkan hadiah berupa beberapa ekor gajah kepada Ki Panji Sakti yang ketika itu tengah membangun Kota Singaraja. Para pawang gajah itu kemudian menetap di Bali dan membangun Desa Pagayaman.
Terhadap keempat desa itu, Ketut Sarna merekrut masing-masing sekitar 100 responden dewasa, 50 wanita dan 50 pria. Lewat wawancara, Ketut Sarna bisa memastikan mereka adalah penduduk asli desa itu.
Kemudian dia mengambil sampel darah setiap responden, diperiksa golongannya. Untuk keperluan analisa, hanya golongan darah A, B, dan O, yang digunakan. Di Desa Pagayaman, Ketut Sarna menemukan frekuensi golongan darah A:B:O sebagai 4,7%: 36,4%: 58,9%.
Sedangkan di tiga desa Bali Age (Trunyan, Sembiran, dan Tenganan) Sarna memperoleh frekuensi A:B:O rata-rata sebagai 9,8%: 19,9%: 70,3%. Pada pengujian statistik, lewat metode ci-kuadrat, diperoleh hasil bahwa sebaran frekuensi golongan darah penduduk Pagayaman berbeda nyata dengan orang-orang Bali asli (Bali Age).
Dengan begitu, boleh disimpulkan kedua kelompok penduduk itu berbeda ras. Lalu bagaimana dengan darah orang Bali kebanyakan, yang kini tinggal di kota-kota, dan sering disebut wong Majapahit itu?
Untuk melihatnya, Sarna mengambil sampel darah secara acak di RSUP Sanglah di Denpasar dan RS Singaraja. Sampel dari rumah sakit itu dipilih dari mereka yang nama-namanya mengandung kata-kata, antara lain, Putu, Gede, Wayan, Nyoman, atau Ngurah.
Dari 179 sampel darah wong Majapahit itu, Sarna memperoleh sebaran frekuensi A:B:O sebagai 16,8%: 11,2%: 72%. Data itu dibandingkan dengan data kelompok Bali Age dan orang Jawa di Pegayaman. Hasilnya: darah orang Bali kebanyakan itu tak berbeda nyata dengan darah penduduk Trunyan, Sembiran, atau Tenganan.
Namun, kelompok orang Bali kebanyakan itu berbeda nyata dengan darah orang Jawa asal Pagayaman. Dengan begitu, disimpulkan bahwa orang Bali kebanyakan itu bukanlah turunan Jawa, bukan wong Majapahit.
Kesimpulan itu rupanya diperkuat dengan data tinggi badan. Riset Sarna mengungkapkan bahwa tinggi rata-rata pria dewasa Pagayaman 158,5 cm, dan wanitanya 149 cm. Kelompok Bali Age tinggi badannya mencapai 164 cm pada rata-rata prianya, dan 155 cm pada wanitanya.
Sementara itu, orang Bali kebanyakan tinggi rata-ratanya mencapai 167,6 cm (pria) dan 157,4 cm (wanita). Kendati tak setajam golongan darah, lewat analisa sidik ragam, ukuran tinggi badan itu cukup membedakan orang Jawa Pagayaman dengan orang Bali Age.
Uniknya, Sarna memperoleh bukti pula bahwa tinggi badan manusia Bali Age berbeda nyata pula dengan orang Bali kebanyakan. Kesimpulan Ketut Sarna itu dinilai sembrono oleh Ketut Sudhana Astika, antropolog di Universitas Udayana.
Asal-usul ras, kata Sudhana, "Tak bisa disimpulkan cuma lewat pengamatan yang serba sepintas." Dia tegas menolak kesimpulan Sarna yang mengatakan "orang Bali kebanyakan", alias wong Bali dataran, itu keturunan orang Bali Age.
Alasan Sudhana: tak cukup bukti berupa benda peninggalan sejarah, yang mengaitkan situs Trunyan-Sembiran-Tenganan dengan desa-desa Bali di dekat pesisir misalnya. Ritus keagamaannya pun jauh berbeda. Kebanyakan tempat di Bali menganut Hindu Bali.
Sedangkan orang Bali Age menganut Hindu Tirta atau Hindu Indra. Dalam soal persentuhan budaya atau agama, Bali Age itu pun terasa jauh dari Bali kebanyakan.
"Kami kok merasa lebih mudah bersosialisasi dengan orang Hindu Tengger, Jawa Timur," ujar Sudhana. Orang Hindu Tengger itu, konon, merupakan keturunan asli Majapahit. Nengah Wedja, Silawati, Jalil Hakim, dan Putut Tri Husodo
0 Response to "ORANG BALI = ORANG MAJAPAHIT?"
Posting Komentar