Dan Bu Hajjah Pun Bangkit Seketika....



12991755401598426463

Tahun 1980-an, di Kisaran. Seorang perempuan Cina turun dari bus 'Serasi' di terminal kagetan, diikuti kemungkinan besar suaminya, laki-laki hitam kekar berbadan besar dengan satu anak kecil laki-laki yang berkulit indah.

Benar suaminya. Dan suaminya bisa dialek Hokkian rupanya.

"Masih jauh dari sini bang?" tanya si perempuan China terlihat letih. Wajahnya yang kuning pucat, terlihat mengkilat karena keringat.

"6 kilometer lagi dik..." Jawab si suami sambil menggendong anak mereka yang sedang asik bermain-main dengan gelondongan benang yang di bawanya dari rumah.

"Tunggu di sini dulu yah.... Aku mau tanya sama RBT" si suami menyarankan istrinya duduk di warung yang ada disitu. "Minumlah dulu, pasti kau haus"

"Baiklah" jawab si perempuan Cina.

Si suami menghampiri beberapa RBT yang nongkrong di terminal kagetan itu. RBT kalau di Jakarta disebut ojek. Jadi, ini adalah jasa antar dengan sepeda motor.

"Ke Pasar Lembu - Air Joman, ada bus gak lae...?" tanya laki-laki itu.

"Tak ada Lae, yang ada yah cuman RBT ini lah..." jawab si RBT bersemangat.

"Oh, berapa ongkosnya ke dalam?"

"Tiga ribu Lae... Tapi kalau sama kakak itu, sudahlah dua RBT lima ribu saja..."

"Tunggu ya...." Lalu dia menghampiri istrinya.

"Chin.... Naik RBT ke dalam, tak ada kendaraan lagi..." Katanya.

"Iya bang, aku bayar dulu..." Lalu Chin membayar minumnya tadi.

"Abang tidak minum dulu?"

"Takut kemalaman sampai di dalam, ini sudah jam 6, sebentar lagi gelap. Jalannya rusak"

Lalu mereka beriringan. 2 RBT dicarter. Bang Giman menggonceng istrinya. Iya, dia minta tolong pada RBT yang satu agar dia diperbolehkan menggonceng istri dan anaknya. Sementara kedua RBT tersebut saling gonceng. Tetap bayar lima ribu.
Perjalanan melewati kebun karet dan sawit. Jalan tanah merah yang sangat liat. Apalagi semalam hujan. Jalanan sudah seperti kubangan kerbau saja. Kedua RBT melaju dengan pelan. Barangkali hanya 10 km perjam.

Namun akhirnya sampai juga.

Setelah membayar ongkos RBT kedua suami istri dengan anaknya itu memasuki jalan kecil, semacam jalan tikus, yang menurut keterangan RBT tadi, di sanalah Mesjid Air Joman yang ingin mereka tuju.

Pikiran Giman menerawang jauh ke masa masa sebelum ini.

Sialan abangku itu, dalam hati bang Giman mengenang kembali. Bagaimana abangnya yang pemarah itu selalu berselisih paham dengannya.

"Abang tak pernah mau cerita dimana Ibu dan Ayah kita..." tanya Giman.

"Sudah kubilang berapa kali Giman. Ibu dan Ayah sudah tak ada lagi" begitulah jawab bang Jono kalau ditanya soal orang tua mereka.

Jadi, sebenarnya Jono dan Giman masih mempunyai satu orang adik perempuan lagi. Mereka bertiga berkakak adik. Pada saat perang fisik, awal mula revolusi, ketiga bersaudara ini terpencar. Si adik Sariyem diangkat anak oleh seorang toke Cina ke Deli Tua. Kemudian Giman dibawa juga oleh seorang perantauan Cina ke Merbau. Jono juga melarikan diri. Nanum dia tidak diangkat anak oleh siapa siapa. Jono kemudian berhasil menjadi mantri, karena banyak membantu PMI di masa revolusi.

Sementara orang tua mereka juga entah kemana. Sampai sekarang tidak pernah tahu kabarnya. Giman mencurigai abangnya menyimpan sesuatu rahasia. Ponakannya, anak Sariyem di Deli Tua kebetulan sama sama bekerja di sebuah Apotek di Medan dengan anak bang Jono. Info dari si Milam inilah yang membawa Giman membawa anak dan istrinya ke tempat ini sekarang.

..........

"Maaf bu.... Numpang tanya. Ibu tahu dimana rumah Haji Ulong Sanusi Lubis?" tanya Giman sesopan mungkin.

Mata perempuan setengah baya yang ditanyainya sekejab berkilat. Memandang rombongan keluarga 'aneh' ini dengan teliti.

"Tidak ada yang namanya seperti itu di kampung ini pak... maaf, bapak salah masuk kampung" diperhatikannya lagi.

"Ah.... Terima kasih bu..." kekecewaan melintas di wajah Giman. Begitu juga istrinya Chin.

Perempuan itu memperhatikan anak mereka. Yang masih saja asik bermain dengan gelondongan benang. Kadang kadang mulut si bocah ikut bersuara menirukan suara mobil.

"Hmmmm... maaf pak, kalau boleh tahu, orang yang bapak cari ini siapanya bapak?" Giman menangkap ada gairah yang ganjil dari tingkah laku perempuan desa ini.

"Saya anaknya bu..... Dan ini anak dan istri saya..." Kata Giman, "Dan kalau boleh minta bantuan atau pertolongan, dimana saya bisa mendapatkan penginapan di kampung ini? Mungkin di rumah Kepala Desa....."

"Anaknya....? Nama bapak.....?" Si perempuan sama sekali tidak memperhatikan permintaan tolong Giman.

"Saya Giman bu. Lengkapnya Wagiman. Ini istri saya Chin...."

"Wagiman.... Bapak bernama Wagiman?....."

Tiba tiba perempuan desa itu memeluk Giman dan tak kuasa membendung air mata. Chin kaget melihat suaminya dipeluk perempuan lain. Namun dia tidak melakukan apa apa.

"Bang Giman..... Emak sering cerita tentang abang.... Hikssss.... Hikssss" sambil menangis perempuan itu melepaskan pelukannya.

"Maksud ibu....?'

"Aku adikmu bang.... Emak sakit sakitan. Haji Ulong Sanusi Lubis ayahku juga..."
Lalu Salma, nama perempuan desa itu berhambur memeluk Chin. Keduanya kemudian bertangisan.

Sambil bercerita panjang lebar tentang emak mereka yang sudah dua bulan sakit-sakitan, sudah tua sekali. Selalu memanggil manggil nama Giman dan Sariyem, dua anaknya yang hilang di jaman perang revolusi.

Haji Ulong Sanusi bersarung, sedang membetulkan lampu teplok. Dia berdiri di depan rumah panggungnya yang besar. Terkesima menyadari putrinya datang bersama seorang laki-laki gagah dan seorang perempuan Cina cantik serta anak kecil, yang kemungkinan anak mereka...

"Silahkan masuk anak muda.... Ada maksud apa?"

Tak menunggu jawaban. Giman langsung memeluk Atok Haji.

"Aku Giman pak..... ini istriku Chin dan ini anak bungsuku yang kubawa menjumpai bapak ibu...."

Chin mencium tangan mertuanya di jidatnya. Giman sujud mencium kaki ayahnya.
Seperti ada firasat entah apa, Ibu Hajja keluar dari kamar. Bisa bangkit seketika, menuju pintu melihat ke bawah. Melihat dengan tak percaya. Naluri seorang ibu.
Giman menaiki tangga diikuti Chin dan atok Haji sambil menggendong si kecil.

Semuanya berlangsung sempurna. Giman memeluk, mencium, bersujud pada ibunya. Diikuti Chin dengan sama harunya. Entah berapa ember air mata yang jatuh magrip itu.

Kecuali si kecil yang masih asik bermain dengan gelondongan benangnya. Walaupun adik-adik Giman yang ternyata ada lagi 4 perempuan di kampung itu, berebutan menggendongnya. Si kecil tetap asik memaju mundurkan gelondongannya.

Si kecil itu, sekarang baru selesai mengetik cerita ini untuk anda.

Traktor Lubis, 4 Maret 2011

Artikel Yang Berhubungan Badan:


6 Response to "Dan Bu Hajjah Pun Bangkit Seketika...."

  1. Gina says:

    Suka bangeeeet....

    [KUTIP]
    Mata perempuan setengah baya yang ditanyainya sekejab berkilat. Memandang rombongan keluarga 'aneh' ini dengan teliti.

    "Tidak ada yang namanya seperti itu di kampung ini pak... maaf, bapak salah masuk kampung" diperhatikannya lagi.
    ---

    Tapi kok bisa terjadi kayak yang dikutip itu?

    Traktor says:

    Owwww ada yang kelupaan, Haji Ulong Sanusi saat itu (jaman Orde Baru) adalah musuh pemerintahan, karena dia dan istrinya adalah juru kampanye partai Islam, Masyumi. Vocal dan sering dicari cari penguasa.

    Gina says:

    Gitu dong Bang... hehe.

    Traktor says:

    Iya nih.... ini kan tulisan copas dari Kompasiana... jadi gak diperiksa lagi, hehehehe

    Gina says:

    Lho... tapi ini tulisan Bang TL sendiri kan, walau copas dari kompasiana? Atau ini kisah orang lain?

    Traktor says:

    Tulisan saya dong, sebelum memutuskan tidak aktif dari Kompasiana, dan konsen di Blog sendiri. Saya mengcopy semua tulisan saya yang oenting oenting dari Kompasiana ke Blog ini

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme