Cerita dari batu batu tua di Borobudur
.
Sebenarnya perjalanan dimulai dari Medan ke Surabaya. Dari Surabaya, saya sempat singgah ke Malang, dan mampir melihat lihat peninggalan kerajaan Ken Arok, Candi Singosari.
.
Candi Singosari
.
.
Ada banyak hal unik dari candi berukuran kecil ini. Arca penjaga candi yang dikenal dengan Dwarapala sama sekali berbeda dengan penjaga di candi candi lain. Hal ini karena gada yang dipegang kedua raksasa dwarapala tersebut menghadap ke bawah.
Mengamati kondisi candi saat ini, bisa dikatakan terawat cukup baik. Hanya memang sudah tidak utuh lagi kondisinya. Kemudian yang cukup menarik adalah jelas terlihat bahwa candi ini bukan candi yang sudah jadi. Mengamati ukiran ukiran di tubuh candi, terlihat bahwa candi diukir dari atas ke bawah. Pada bagian atas, kelihatan banyak ukiran ornamen yang sudah selesai dipahat. Lalu di bagian tubuh candi, terlihat sebagian sudah selesai, sementara di bagian kaki candi kelihatan polos.
Dugaan bahwa pembangunan candi ini tidak pernah selesai semakin kuat dengan apa yang dituliskan di kitab Negara Kertagama dan Prasasti Gajah Mada tahun 1351 M yang ditemukan di halaman kompleks candi.
Dikatakan bahwa candi ini merupakan tempat 'pendharmaan' bagi raja Singasari terakhir, Prabu Kertanegara yang mangkat akibat diserang penghianat Jayakatwang. Jadi besar kemungkinan proses pembangunan candi ini terhenti, karena kerajaan yang masih belum stabil, sampai berlanjut ke era baru, masa kerajaan Majapahit.
Seumur hidup ini pengalaman pertama saya melihat langsung candi. Dan candi Singosari adalah perkenalan yang sangat tepat. Saya melihat ciri ciri candi Hindu yang sangat kuat di candi ini. Terutama pada arca arca yang terlihat dan sisa sisa Lingga Yoni.
.
Surabaya - Jogya
Perjalanan dari Surabaya ke Yogyakarta berlangsung amburadul. Supir yang membawa saya adalah supir dari Surabaya yang sama sekali belum pernah nyetir sendiri ke Jogya. Sempat 2 kali salah arah, mutar balik, melewati kawasan yang banyak rusanya. Saya tahu karena sempat berhenti di sana ngopi dan ngaso. Kemudian sempat juga singgah makan di Rumah Makan Asmuni.
Hehehehe, iya rumah makan Asmuni yang dari Srimulat itu. Di dalam RM lumayan besar namun sederhana itu, terpampang wajah Asmuni yang ramah. Satu hal yang membuat saya tertawa adalah MENU. Benar, salut pada Almarhum, yang masih bisa membuat orang tertawa. Menu yang saya baca benar benar kreatif. Karena dituliskan seperti ini, misal yah....:
- Nasi Gorenge
- Coca Colae
- Soto Babate
- dll
Disepanjang jalan Surabaya - Jogya ini juga saya sempat belanja ukiran pintu pintuan kayu segede kira-kira 1,5 x 1 m. Dan, supir saya yang luar biasa alot nawarnya bisa melego ukiran gede itu hanya dengan Rp. 150.000,- Saya kaget. Di Sumatera yang beginian bisa 1,5 juta.
Sampai di Jogya sudah kemalaman. Nyari hotel dulu. Beberapa kali gak kebagian kamar, akhirnya ada tukang ojek yang menunjukkan hotel agak masuk dari jalan raya, nyaman, bersih dan murah. Serta ada breakfast nya. Mantap! Malamnya keluyuran di Maliaboro, minum kopi Joss. Bener bener joss, kopinya dicemplungin arang yang membara, hahahaha benar benar kreatif orang Jogya. Salut.
Jadwal hari ini adalah Prambanan dan Borobudur. Namun petugas hotel yang ramah mensugesti ke Parang Tritis dulu. Sayang kalau dilewatkan. Saya suruh ngomong sama supir. Saya mau ke Parang Tritis juga. Ingat film Pasir Berbisik. Ah, siapa tahu bisa ketemu Dian Sastro, hehehehehe
Ada kejadian lucu di Parang Tritis ini. Nah, saya singgah di sebuah toko suvenir yang menjual makanan, diantaranya yang jualan sejenis anakan kepiting yang sudah digoreng. Enak, rasanya gurih.
"Kenapa ini diletakkan disini...?" saya menunjuk sisir warna hijau yang ada di atas lemari kaca.
"Maaf pak... itu tadi dipakai anak saya nyisir..." si ibu yang jualan serba salah.
"Ini namanya penghinaan...." kata saya ngotot.
"Bukan pak, maaf.... kok bisa menghina, maaf bagaimana caranya ya...?' si ibu kebingungan.
"Lah... ini sisir kamu bisa pakai, saya tidak...." Saya menunjuk ke kepala plontos saya. Pak Muji yang menemani sudah ketawa ngakak duluan. Saya masih pasang tampang serem. Si ibu melihat ke kepala saya takut takut...
Wakakakakakaka....."Bapak ini ada ada saja loh..... hahahaha" akhirnya si ibu tertawa juga.
Hasilnya, proses jual belinya jadi lebih enak. Saya juga beli beberapa macam manisan warna warni. Ada yang hijau, merah jambu, kuning... wuih rame warnanya.... Dan, dapat diskon karena kasus sisir.
.
Candi Prambanan
.
.
Ini candi paling rumit yang pernah saya lihat. Area kompleks candinya sangat luas. Saya bahkan tak sempat ke gugusan Candi Sewu dan Ratu Boko. Karena ngejar waktu agar tidak terlalu lama di Prambanan. Rencanya akan langsung ke Borobudur setelah makan siang.
Saya masih terkagum kagum pada Candi yang antara lain dibangun oleh Rakai Pikatan ini. Selama ini hanya melihat dari photo photo, kali ini Candi megah ramping indah dan rumit ini berdiri di hadapan saya. Menjulang tinggi sangat besar dibandingkan candi Singosari yang saya lihat di Jawa Timur.
Dalam hati saya menjadi berpikir kembali pada teori bahwa Sri Wijaya yang membangun candi candi pada masa ini. Bahwa pada masa itu, Jawa Sumatera memang tidak terpisah seperti sekarang. Mengingat kerajaan Mataram Hindu bukanlah kerajaan yang teramat besar. Malah boleh dibilang kerajaan Agraris ini seperti sebentuk kerajaan elit yang berkuasa di Jawa. Lalu campur tangan wangsa Sailendra yang juga berkuasa baik di Mataram Kuno maupun di Sriwijaya.
Saya teringat bagaimana Samaratungga dari wangsa Sailendra membangun candi Borobudur. Setelah mangkat raja ini bermaksud meneruskan tahta pada Balaputeradewa. Namun putrinya Pramodyawardani yang seperti ayahnya serta keluarga wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana, kemudian diketahui menikah dengan Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya yang beragama Siwa.
Simpang siur sejarah masih ragu dalam menapsirkan hal ini. Namun melihat betapa banyaknya candi di kompleks ini. 8 candi utama dengan lebih dari 250 candi candi kecil, segala kemungkinan teori bisa terjadi. Namun pendapat populer akan hal ini adalah, candi megah ini dibangun oleh Rakai Pikatan, raja dari Wangsa Sanjaya pendiri kerajaan Medang yang juga dikenal dengan nama Mataram kuno (Hindu).
.
Satu yang agak mengganjal di hati saya adalah, pas beekunjung ke sana, Candi Utama yang paling besar, belum boleh dimasuki pengunjung, kabarnya masih dalam tahap renovasi akibat Gempa terakhir yang melanda Jogya. Jadi saya melihat dari gundungan pondasi candi terdekat yang disekat dengan pagar kawat. Baik untuk kelestarian candi.
Dan, muter muter keliling keliling di area seluas itu, membuat perut sangat lapar. Sejuknya hembusan angin dari sela sela pepohonan yang memang banyak di area ini, memaksa saya untuk singgah makan dulu. Saya dan pak Muji masuk ke restauran indah di dalam kompleks candi Prambanan. Puas dengan koleksi koleksi oranamen dan hiasan khas Jawanya. Serta hidangannya yang memang enak. Di bawah ini pernik unik lucu cantik, wayang golek dalam ukuran mini yang ditata sangat artistik.
.
.
Candi Borobudur
.
.
Mulanya aku membaca, kemudian aku ngobrol dengan Ilham.... Lalu perjalanan ke Borobudur, dengan buku di tanganku 'Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya' benar benar membuat perjalanan ke candi ini menjadi tak terlupakan.
Sebenarnya ada niat untuk singgah dulu di candi Mendut dan Pawon sebagai rute menuju Borobudur. Namun apa daya, jam tangan saya sudah menunjukkan hampir pukul 3.00 WIB. Kalau tidak mau kemalaman lagi, karena harus langsung tembak ke Solo, saya dan pak Muji memutuskan langsung zinggg.... ke Borobudur.
Perjalanan spritual terjadi di sini.
Melihat sosok candi paling gede di dunia yang bernama Borobudur yang letaknya kurang lebih 45 km dari Jogya. Sebagai Buddhis, tak perlu malu saya mengakui, selama ini entah kenapa asal ke Jawa aku melewatkannya. Mungkin jodoh mempertemukankan dengan isi kepala ini, yang akan segera kusampaikan.
Demikianlah, Borobudur yang berdiri gagah... tampan dengan panampilan tua dan berwibawah. Tak kuasa aku menahan haru. Ini karya bangsa yang paling indah yang pernah kulihat. Tak sanggup kututurkan kembali, anda sudah melihat sendiri. Aku akan menceritakan hal hal spritual saja. Wisata ke Borobudur, wisata religi bagi saya.
Masuk ke ritual agamaku. Melangkah menyusuri lorong lorong relief searah jarum jam yang disebut pradaksina. Aku melakoninya. Perjalanan ini religius bagiku. Mungkin tidak dirasakan bagi umat lain yang tumplek blek di candi megah ini. Namun setiap agama ada tradisi ziarah religiusnya.
Lorong pertama, hmmmm ternyata tidak seindah bila kulihat dari jauh. Banyak patung tanpa kepala, banyak sambungan relief yang gak nyambung. Banyak patung yang sudah seperti gumpalan batu saja. Bahkan setelah kuperiksa dengan seksama... banyak patung atau relief atau batu baru yang dipasangkankan untuk sekedar mengkokohkan sosok candi.
Naik terus ke lorong kedua, kondisi yang sama, reliad yang seharusnya bercerita tentang kisah kisah Buddha banyak yang sudah lelah bertutur, terus terang dari jarak dekat Borobudur jelek, bopeng dan tidak utuh. Semakin ke atas semakin demikian, bahkan ada dinding yang sudah tak ada. Entah kemana? Gapura yang sompel, relung relung yang hilang. Buddha yang buntung tangannya, hilang jempol kakinya, dipenggal kepalanya, bahkan ada yang sudah dimutilasi.
Demikian terus sampai ke stupa puncak....
Aku mengambil nafas, ada sedikit kecewa. Ternyata rusak, ternyata hanya ini yang tersisa, tidak luar biasa....
----------------
Aku membayangkan seperti yang pernah kubaca. Ada tembok dari bata yang kubangun. Mungkin dengan cinta. Karna aku bukan tukang bangunan, beberapa batu bata yang di awal sangat jelek posisinya, merusak keseluruhan panampilan tembok mulus yang ingin kutampilkan. Aku berusaha menutupi dua batu bata jelek itu dengan hiasan kembang, gantungan ukiran jepara. Aku menutupi 2 batu bata jelek pada 1000 batu bata yang kususun indah menjadi tembok.
Demikian kulihat lagi ke Borobudur.
Lalu terlintas ucapan sang Guru. Mengapa hanya melihat ke patung yang rusak. ke Buddha yang terpenggal di kepala, yang sudah termutilasi? Bukannya dari 1000 batu bata yang tersusun mulus itu, ada 998 batu berukirlain yang bagus? indah? sempurna letaknya? Pas warnanya?
Kalau hanya memikirkan 2 batu yang jelek itu, jeleklah yang 1000 batu itu.
Kalau mata hanya melihat yang 2 jelek itu saja adalah bodoh kan bila menganggap yang lain juga jelek? Kalau borobudur hanya patung patung cacat, dimana kesohorannya? Kalau hanya melihat Indonesia pada kinerja polisi, korupsi dan Century, Dipo Alam, Gayus, PSSI. Lalu Bali, Bromo, Toba, Borobudur, Jogya, Lombok, apa dong?
Bukannya di awal aku justru terpesona oleh keindahannya? kemegahannya? Kemana ingin pikiran diarahkan? kesitulah dia akan bermuara.
Lalu sunyi.
Aku menunduk menatap lantai batu yang dirapatkan akhirnya dengan adonan semen warna abu abu. Aku sendiri pernah begini. Dan pasti banyak temanku yang juga begini. Haruskah ini kusampaikan? kubagi? apa yang aku rasakan? Walau kau pasti berujar, tidak seperti itu keadaaannya. Karna masalahnya memang di dirimu. Kau menarik banyak hal kepada dirimu sendiri. Dan wajah wajah pada batu batu itu seakan mengiringiku ber pradaksina.
Hidup ini berat. Dan yang paling berat dari hidup ini adalah memikirkannya.
Kemana mata harus ditujukan. Ke 2 batu yang dipaksakan menggantikan batu yang asli itu? atau ke 998 batu lain yang ternyata baik baik saja. Layakkah yang 2 jelek itu menutupi keindahan 998 batu bata yang lain....? Apakah itu tidak bodoh? Layakkah kau hancurkan tembok batu bata yang sebenarnya indah itu hanya karena ada 2 batu bata jelek itu?
Wahai teman temanku, bila ada yang jatuh cinta padamu, dan kau jatuh cinta juga padanya, seiring dengan waktu, jangan fokus ke 2 batu jeleknya. Jangan terfokus pada hal hal yang kau tidak suka darinya. Tapi lihatlah ke 998 batu cantik yang dulu membuatmu jatuh cinta padanya. Jika kau menemukan candi, banyak yang rusak, tapi lihat secara utuh, mungkin 100 tahun ke depan kau belum bisa menemukan bangunan kuno seperti itu lagi.
Sampai ke alternatif ke dua.
Anda tidak memandang 2 batu jelek itu. Anda memandang ke keindahan 998 batu yang lain. Kelak anda akan melihat, mencari, dan tidak lagi anda temukan. Dimana yah 2 batu patung rusak jelek yang dulu kurekatkan pertama kali?
Borobudur mengajarkanku itu!
0 Response to "Cerita dari batu batu tua di Borobudur"
Posting Komentar