Supersemar, lahir, menggebrak, lalu hilang

1299789296749109214

Tanggal 5 Oktober 1965, Duta Besar AS, Marshall Green mengirim telegarm berisi analisa mengenai keadaan Jakarta, mengutip isi telegram, “…. Propek Indonesia setelah kudeta berlangsung kami ramalkan sebagai berikut, Sukarno masih akan tetap menjabat presiden. Tetapi kekuasaannya mungkin telah melemah sebab dia harus melakukan kompromi dengan Angkatan Darat. Banyak hal masih tetap meragukan, tetapi hampir bisa dipastikan, perjuangan untuk menyingkirkan Sukarno dan apa yang selalu disebut Demokrasi Terpimpin telah dimulai….”

Ramalan tersebut tidak meleset.
1299790080529933868

Tanggal 11 Maret 1966, Sukarno menandatangani surat perintah kepada Jenderal Suharto, Menteri Panglima Angkatan Darat. “Atas nama Presiden, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan serta jalannya Revousi. Menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi….

Awal Agustus sepucuk surat dengan alamat tertuju, Ir. Sukarno, Istana Bogor. Isinya Soekarno dan semua putra-putrinya diminta Soeharto untuk meninggalkan Istana sebelum 17 Agustus 1967. Soekarno meninggalkan istana sebelum 16 Agustus 1967. Beliau memakai celana piama warna krem serta kaus oblong cap Lombok. Bajunya disampirkan di pundak, memakai sandal Bata sudah usang. Tangan kanannya memegang koran, digulung agak besar, berisi bendera pusaka Sang Saka Merah Putih.

Begitulah dasyatnya Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dengan sebutan Supersemar. Hanya dalam kurun waktu 18 bulan, Presiden Seumur Hidup tersebut lengser, terusir dari istananya, dengan kondisi yang mengenaskan.

Soekarno duduk di mobil terkantuk kantuk. Seorang lelaki berumur 65 tahun yang meluncur terseok seok di jalanan Jakarta.

1299788476361733933

Kelahiran Supersemar.

12997894402130956494
Basuki Rachmat
Basuki Rachmat, Jusuf dan Amirmachmud mendatangi presiden Soekarno di Bogor. Pukul 16.00 lebih, disambut Soekarno dengan muka masam. Raut masam ini tak lain karena Soekarno merasa dibohongi dengan informasi RPKAD telah mengepung Istana Jakarta.

Suasana mulai mencair saat Jusuf meyakinkan Soekarno bahwa Angkatan Darat akan selalau menjaga keselamatan Bung Karno. Kemudian disampaikan juga bahwa Jenderal Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat juga sudah berjanji sanggup untuk mengatasi keadaan asal diberi penugasan secara jelas berikut dukungan kepercayaan.

Terbujuk, Bung Karno lantas membentuk semacam tim untuk menyusun surat penugasa kepada Jenderal Soeharto. Tim terdiri dari Basuki Rachmat sebagai ketua, Jusuf anggota dan Sabur sekretaris. Rumusan tulisan tangan yang mereka buat diserahkan kepada presiden Sukarno. Setelah dibaca sejenak, presiden memanggil Soebandrio, Leimena dan Chaerul Saleh untuk memberikan tanggapan. Pengakuan Hartini salah satu istri Sukarno, presiden saat itu bolak balik membaca rancangan tersebut dengan tangan gemetar.

Chaerul Saleh memberikan komentar, ‘berdoalah dulu, …. Mohon petunjuk Tuhan

Leimena, “No comment, semuanya terserah pertimbangan anda

Soebandrio, “ Jika surat ini sudah ditandatangani, sama saja artinya kamu masuk perangkap
12997900071571992895

Setelah beberapa kali docoret sana sini oleh Bung Karno, akhirnya naskah Supersemar itu dibawa Kolonel Udara Kardjono, ajudan presiden untuk diserahkan pada Mayor (Inf) Ali Ebram, perwira Seksi I Tjakrabirawa, untuk diketik. Komentarnya, “… saya sendiri merasa ngetik-nya agak lama, karena tidak biasa ngetik dan isinya ketika sudah mulai saya baca, kok serem….”

Surat selesai diketik, dikembalikan ke Soekarno. Sabur masih berkomentar, “… secara administratif, surat ini memang punya kekeliruan. Karena kata pertama pada lembar kedua, tidak tercantum pada baris terakhir halaman pertama, sebagaimana kebiasaan surat remi….”

Eli Ebram kaget, karena merasa itu kesalahannya.

Amirmachmud sudah ngebet, “… sudahlah, dalam revousi kita tidak usah njlimet.”

Bung Karno sendiri ragu, “Bagaimana Bandrio, kamu setuju?”

Soebandrio menjawab, “…. Bagaimana lagi, bisa berbuat apa saya? Bapak telah berunding tanpa kami diikutkan…”

Tetapi kamu setuju…?” Bung Karno mulai tak sabar.

“…kalau bisa, sebenarnya perintah lisan saja…”

Ketiga Jenderal yang ada disana, langsung melotot kepada Soebandrio, begitu pengakuannya.

Amirmachmud lantas menukas, “ Bapak Presiden, tandatangani saja. Bismillah saja, Pak?”

Supersemar ditandatangani saat itu di ruang tengah Istana Bogor, Jawa Barat. Pada akhir surat di atas tandatangan Sukarno, tanpa disadari oleh semua yang hadir, ada kesalahan lagi, tertulis Djakarta, 11 Maret 1966.

Sebelas orang ikut bersama Presiden Sukarno saat penandatanganan Supersemar, mereka adalah; Soebandrio, Leimena, Chaerul Saleh, Basuki Rachmad, Jusuf, Sabur, Amirmachmud, Mangil, Kardjono, Hartini dan Ibrahim Adjie.

Pertemuan berakhir pukul 20.55. Ketiga Jenderal menolak ajakan presiden Soekarno untuk bermakan malam di Istana Bogor. Isi surat perintah sebelas Maret itu seperti di atas. Proses pembuatannya sangat alot, diselingi sholat Maghrib dan beberapa kali pembicaraan nyaris mengalami kemacetan.
12997901241199432057

Tanggal 12 Maret 1966, pukul 04.00 dini hari, Soeharto membubuhkan tandatangannya pada Surat Keputusan Nomor 1/3/1966 tentang pembubaran PKI, termasuk semua oraganisasinya, dari tingkat pusat sampai daerah, beserta semua oraganisasi massa yang seasas, berlindung dan bernaung di bawahnya. Selain itu, menyatakan PKI sebagai Partai Terlarang di seluruh Indonesia. Surat keputusan tersebut ditandatangani Soeharto, atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi.

Itulah langkah paling keras yang dihasilkan Supersemar yang baru berusia 1 hari. Sebenarnya surat pembubaran PKI itu bisa diumumkan di berita pagi tanggal 12 Maret 1966. Namun Soeharto masih mempertimbangkan agar presiden Soekarno masih berkesempatan mengumumkan Supersemar dalam Rapim ABRI. Kemudian setelah Rapim selesai dan Soekarno sudah terbang ke Bogor, pukul 14.00 WIB, keputusan mengenai pembubaran PKI diumumkan lewat warta berita RRI Pusat.

Pengumumam itu dilaksanakan sengaja bersamaan dengan tengah berlangsungnya pawai mahasiswa, bersama RPKAD dan pasukan Kostrad, berkeliling Jakarta. Langkah ini diambil agar pengumuman dilakukan setelah Soekarno tidak lagi berada di Jakarta.

Presiden Soekarno sampai di Istana Bogor disambut Hartini, istrinya.

Mas, apakah anda masih presiden?” Hartini was was suaminya dikudeta.

Dengan nada mantap Bung Karno menjawab,”… Saya tetap presiden karena Soeharto telah memberikan jaminan terhadap keamanan saya dan keluarga, serta ajaran ajaran Bung Karno

Bung Karno marah setelah mendengar tindakan pembubaran PKI yang dilakukan Soeharto tanpa konsultasi dengannya. Merasa dikadali dan dikelabui oleh Supersemar yang ditandatanganinya sendiri. Bung Karno berkeras Soeharto sudah menafsirkan surat tugasnya secara keliru.

Tanggal 13 Maret 1966 presiden mengeluarkan surat perintah susulan, berupa Penetapan Presiden, isinya memerintahkan untuk kembali kepda Pelaksanaan Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar revolusi dengan arti, melaksanakan secara teknis saja dan tidak mengambil dan melaksanakan keputusan diluar bidang teknis. Penetapan tersebut disampaikan langsung oleh Leimena, Wakil Perdana Menteri II, kepada Jenderal Soeharto, dilengkapi pesan lisan, “… jangan sekali-kali mengambil keputusan di luar bidang teknis militer.”

Soeharto menjawab, “Sampaikan kepada Bapak Presiden, semua tindakan yang saya lakukan merupakan tanggung jawab saya pribadi…” Soeharto lebih lanjut mengaku dia sengaja menolak permintaan Bung Karno dengan alasan, dalam Supersemar tercantum kalimat, “….untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan serta jalannya Revousi…”


12997898511630820964


Keberadaan Supersemar

1299789924833364168Kontroversi atas perintah Pembubaran PKI atas dasar Supersemar ini menjadi polemik di kemudian hari. Takut jika sewaktu waktu Bung Karno mencabut Supersemar tersebut, status Supersemar ditingkatkan lewat Keputusan MPRS. Meski demikian, kontroversi tetap berlangsung, karena surat yang asli sampai sekarang tidak pernah ditemukan.

Kemal Idris dalam memoarnya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi (1996) menyebutkan kewajiban mengembalikan kekuasaan ke tangan Bung Karno sebagai Presiden RI setelah tugas dilaksanakan, sebuah poin yang tak ada di dalam ketiga versi surat perintah tersebut.

Saya sempat membaca surat itu, yang memberikan kekuasaan kepada Pak Harto untuk bertindak mengamankan situasi. Setelah tugas dilaksanakan, kekuasaan dikembalikan kepada Bung Karno sebagai Presiden RI. Surat itu dikenal dengan nama Supersemar...” (hal.310)

Supersemar yang demikian dasyat dampaknya bagi perkembangan NKRI ini, sampai hari ini masih saja tetap misteri. Baik Penandatangan maupun Penerimanya juga sudah berpulang. Secara pribadi maunya jangan dan tak usah diributkan lagi. Namun secara kenegaraan, adalah sangat ‘menjengkelkan’ bila surat sepenting itu bisa hilang dari Arsip negara.

Dari berbagai sumber
Traktor Lubis
Artikel Yang Berhubungan Badan:


0 Response to "Supersemar, lahir, menggebrak, lalu hilang"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme