1. KEBAHAGIAAN


 Nibbana dijelaskan sebagai kebahagiaan tertinggi, tingkatan kebahagiaan yang paling tinggi.7 Bagi mereka yang telah mencapai Nibbana, akan hidup dalam kebahagiaan, bebas dari kebencian dan penyakit mental [pikiran negatif,- ed.] di antara mereka yang membenci dan memiliki masalah mental [pikiranpikiran negatif,-ed.].8 Sukha dalam Bahasa Pali diartikan sebagai kebahagiaan dan kesenangan. Dalam bahasa Inggris kebahagiaan lebih diartikan sebagai kesadaran mental atau pikiran yang bahagia, sementara kesenangan diartikan sebagai keadaan fisik yang baik. Pengertian Sukha merujuk pada kedua aspek tersebut dan pastinya bahwa (akan dijelaskan di bawah) kebahagiaan mental dan fisik akan dirasakan seseorang yang telah mencapai Nibbana.


 Pengalaman kebahagiaan fisik yang tidak dapat dirasakan untuk waktu yang terbatas mungkin dapat dialami, bahkan sebelum pencapaian Nibbana melalui jhana atau pencerapan meditatif. Pada Samaññaphala Sutta dijelaskan tentang pengalaman-pengalaman fisik ini dengan makna-makna kiasan yang lebih mudah dimengerti.9 Ketika serbuk pelembut badan dicampur dengan air dan diremas menjadi bola basah yang padat, kelembutan serbuk menyebar ke seluruh bagian dari bola tersebut tanpa melebur; sama halnya dengan tubuh manusia yang mencapai tingkat jhana pertama akan diselimuti dan diliputi dengan kegembiraan serta kesenangan akan munculnya ketidakmelekatan pada pikiran-pikiran yang menyenangkan (vivekajam pitisukham). Pengalaman pada tingkatan jhana kedua dijelaskan dengan makna kiasan yang berbeda.


Sebuah kolam yang dalam terisi hingga ke pinggir kolam oleh air jernih dan sejuk yang berasal dari mata air bawah tanah, air tetap tidak membanjiri daerah sekitar dan tidak ada bagian kolam yang tidak tersentuh oleh air sejuk. Sama halnya dengan kebahagiaan dan kesenangan akan munculnya konsentrasi (samadhijam pitisukham) yang meliputi tubuh meditator pada tingkatan jhana yang kedua. Makna kiasan untuk tingkatan jhana yang ketiga adalah suatu bunga teratai lahir di air, tumbuh di air, terapung di air, dan mendapatkan nutrisi untuk hidup dari air, tidak ada bagian bunga teratai yang tidak tersentuh air yang sejuk. Dengan demikian kebahagiaan/kesenangan akan menutupi, meliputi, dan menyebar ke seluruh bagian tubuh meditator
pada tingkatan jhana yang ketiga. Ini merupakan pengalaman-pengalaman kebahagiaan yang tidak disadari sebelum pencapaian Nibbana. Pada saat pencapaian Nibbana, lebih banyak lagi kebahagiaan yang tidak disadari yang lebih murni akan muncul dan permanen adanya. Pada Canki Sutta secara spesifik dinyatakan bahwa ketika seorang biksu menyadari kebenaran sejati, dia mengalami kebenaran tersebut ”dengan tubuhnya”.


Menurut pengalaman arahat, pada Sutta Nipata dinyatakan bahwa dengan melenyapkan semua perasaan/sensasi seorang biksu akan hidup tanpa hasrat dan damai.11 Suatu ketika Sariputta ditanya mengenai kebahagiaan apa yang dirasakan ketika tidak ada perasaan/sensasi.12 Dia menjelaskan bahwa tidak hadirnya perasaan/sensasi itu sendiri merupakan kebahagiaan.13 Hal ini relevan dengan menandai bahwa Buddha pernah mengatakan bahwa Beliau tidak membicarakan kebahagiaan hanya dengan merujuk pada perasaan/
sensasi senang. Di manapun adanya kebahagiaan atau kesenangan, di situ Beliau menyadarinya sebagai kebahagiaan atau kesenangan.


Di sini kita diingatkan pada pernyataan bahwa semua tingkatan mental berpusat pada perasaan.15 Apa yang dimaksud dari pernyataan ini adalah bahwa semua tingkatan mental diterjemahkan menjadi sensasi yang
dirasakan tubuh. Untuk lebih dapat mengerti akan implikasi dari pernyataan ini, kita dapat memperhatikan pada emosi kita yang berlebihan, seperti marah. Ketika kita marah, kita mengalami berbagai jenis sensasi
pada tubuh kita: merasa panas, resah, berkeringat, bimbang dan takut, dan sebagainya. Ketika kita sedih, air mata jatuh menetes dari mata kita. Hal ini muncul dikarenakan adanya perubahan secara kimiawi pada tubuh melalui proses biologis pada berbagai jenis sekresi [pengeluaran cairan yang tidak dibutuhkan,-ed.] kelenjar pada tubuh. Jika emosi yang kuat memberikan sensasi yang berlebihan, kita mungkin menduga bahwa semua pikiran menyebabkan sensasi yang sulit dihindari pada tubuh sebagai hasil dari perubahan secara kimia pada tubuh. Akan sangat sulit bagi kita untuk menyadari sensasisensasi ini, namun sensasi ini dapat disadari seiring dengan berkembangnya vedananupassana (perenungan akan sensasi-sensasi). Pikiran tidak berujung dan berkesinambungan; oleh karena itu, jika interpretasi bahwa pikiran diterjemahkan menjadi sensasi-sensasi pada tubuh adalah benar, sensasisensasi pada tubuh juga akan menjadi tidak berujung dan berkesinambungan. Pada Vedanasamyutta dinyatakan bahwa angin yang berbeda-beda bertiup secara konstan dengan arah yang berbeda, berbagai sensasi akan melewati tubuh kita


Seorang arahat memiliki pegendalian penuh akan pikirannya; oleh karena itu dia juga harus memiliki pengendalian penuh akan perasaan/sensasi. Apa yang dimaksud oleh pernyataan bahwa “Seorang biksu hidup tanpa hasrat dan damai dengan melenyapkan semua perasaan/sensasi” terlihat seperti dia telah melenyapkan semua perasaan/sensasi fisik. Hal ini menuntun kita pada pernyataan lain: Bahwa semua perasaan/sensasi ikut ambil bagian dalam pengalaman yang menderita.18 Untuk lebih mengerti pernyataan ini kita harus memperhatikan postur tubuh kita. Jika kita diharuskan duduk diam dalam beberapa saat, katakanlah satu jam, kita bahkan tidak sadar berapa kali kita telah bergerak dan menyesuaikan otot tubuh kita untuk mendapatkan posisi yang lebih nyaman. Hal ini terjadi hampir secara mekanis, setiap waktu kita selalu secara tidak sadar berusaha untuk menghindari ketidaknyamanan. Hal ini dikarenakan adanya sensasi-sensasi yang monoton, bahkan sensasi-sensasi yang menyenangkan, akan menimbulkan ketidaknyamanan dan sebuah perubahan akan menimbulkan sensasi nyaman yang bersifat sementara. Jika tidak ada sensasi yang muncul, mungkin kita tidak akan sering mengubah posisi dan kita akan merasakan sensasi kenyamanan yang berjalan jika kita
tetap bertahan pada posisi yang sama dalam waktu yang lama.


Di sini tentu akan timbul pertanyaan apakah seorang arahat telah kehilangan kemampuan untuk merasakan rasa sakit, yang juga merupakan bagian penting dari sensasi sentuhan. Hal ini akan dijelaskan bahwa ini tidak begitu adanya, pada kasus tersebut seorang arahat bahkan tidak akan mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya terluka atau terbakar serius. Terdapat banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa seorang arahat juga merasakan sensasi-sensasi akibat dari perubahan fisik. Contoh peristiwa, Buddha merasakan rasa sakit yang akut ketika Beliau dilukai oleh serpihan batu19 dan ketika Beliau mengalami masalah pada pencernaan20. Namun, Beliau dapat mengatasi sensasi sakit tersebut dengan penuh kesadaran dan pengertian benar tanpa merasa lelah dikarenakan sensasi tersebut. Selain itu, terdapat sebuah pengalaman dari Sariputta yang juga menjelaskan hal yang sama.21 Pengalamannya merujuk pada peristiwa dimana ilmu psikologi modern menyebutnya sebagai “realitas yang tidak biasa dari tingkat perubahan kesadaran.” Suatu yakkha, makhluk yang berhati dengki, suatu ketika memberikan Sariputta sebuah tiupan pada kepalanya. Tiupan tersebut, diceritakan sangat kuat hingga dapat membelah puncak sebuah gunung atau dapat membuat seekor gajah dengan tinggi tujuh setengah hasta tumbang dan bertekuk lutut. Moggalana, yang melihat peristiwa tersebut dengan mata saktinya, bertanya pada Sariputta bagaimana keadaannya. Sariputta menjawab bahwa dia dalam keadaan baik, namun terdapat sedikit luka pada kepalanya. Hal ini menunjukkan pada kita bahwa sebuah tiupan yang tadinya dapat menghilangkan nyawa seorang manusia biasa, hanya menyebabkan sedikit pengaruh pada seorang arahat.

Mungkin dikarenakan faktor-faktor psikologis yang memengaruhi seseorang dalam merasakan sensasi-sensasi telah dapat dikendalikan dengan sempurna oleh seorang arahat, dia hanya merasakan sensasi-sensasi yang
benar-benar murni dirasakan oleh makhluk hidup. Hal ini terlihat seperti jika tubuh berada di bawah kendali suatu penghilang rasa sakit secara mental yang akan memberikan sensasi yang lebih sedikit untuk melindungi tubuh dari bahaya luar. Terdapat dua jenis rasa sakit, yaitu secara fisik dan mental,22 para arahat diketahui hanya merasakan sensasi sakit secara fisik saja,23 tanpa rasa sakit yang berlebihan ketika mengalami rasa sakit secara fisik.


Hal ini juga dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Pada beberapa teks dikatakan bahwa arahat telah menghancurkan vedana (perasaan), tidak pernah dikatakan bahwa sensasi dari penginderaan (sensasi fisik) mereka telah tidak ada. Ketika menjelaskan tentang tingkatan kesadaran tertinggi dari sanna-vedayitanirodha, sensasi dari penginderaan dikatakan dirasakan murni— vippasannani indriyani.24 Jadi pada kasus seorang arahat, sensasi-sensasi dari penginderaan juga harusnya dirasakan murni dan tidak dirasakan dalam keadaan berkurang. Pada kasus tersebut, dapat diduga bahwa, walaupun vedana (perasaan) tidak ada, sensitifitas tubuh tetap aktif dan seperti apa adanya.

Pada Vedanasamyutta, terdapat klasifikasi yang membedakan perasaan bahagia dan senang menjadi tiga jenis:
  • Samisa piti samisam sukham : perasaan bahagia dan senang yang timbul karena adanya objek-objek kesadaran, contoh: sensasi-sensasi kesenangan duniawi.
  • Niramisa piti niramisam sukham : perasaan bahagia dan senang yang timbul karena bebas dari rangsangan objek-objek kesadaran, contoh: pengalaman mencapai tingkat jhana pada meditasi.
  • Niramisatara piti niramisataram sukham : Lebih banyak lagi perasaan bahagia dan senang yang murni terbebas dari rangsangan objek-objek kesadaran, contoh: Nibbana. 
     
Seorang arahat mengalami kebahagiaan secara fisik dan mental (sokayasukham pi cetosukham pi patisamvedeti) sebagai ketegangan (daratha), kesengsaraan (santapa), dan kegelisahan (parilaha) yang telah dilenyapkan sepenuhnya untuk kebaikan.

Bhaddiya adalah seorang biksu yang selalu menyerukan “Kebahagiaan apa, kebahagiaan apa!” (aho sukham aho sukham). Ungkapan mengenai kebahagiaan tersebut disalahartikan oleh beberapa biksu yang lebih senior
darinya dan mereka melaporkan masalah tersebut kepada Buddha, mereka mencurigai bahwa Bhaddiya selalu terkenang akan kenyamanan-kenyamanan yang telah ditinggalkan olehnya. Ketika hal ini ditanyakan oleh Sang Buddha, Bhaddiya, menjelaskan bahwa ia adalah seorang pangeran pada kehidupan yang telah ditinggalkannya dan bahwa ia memiliki pengawal-pengawal yang berjaga di tiap posisi strategis baik di dalam maupun di luar istana, namun ia masih merasa tidak aman dan mengalami kesulitan untuk tidur, takut akan
saingannya yang setiap saat mungkin dating untuk merebut kekuasaannya dan bahkan mencabut nyawanya. Tetapi sekarang, walaupun hidup sendiri di luar, dia merasa bebas sepenuhnya dari rasa takut dan cemas. Oleh karena itu, untuk mengekspresikan kebahagiaannya, dia selalu menyerukan : “Kebahagiaan apa, kebahagiaan apa!


Sungguh besar pengalaman bahagia dalam pencapaian pelepasan dari seluruh mental-mental negatif (asavakkhaya) yang terkadang membuat para arahat tetap pada posisi yang sama secara berkesinambungan tanpa bergerak selama tujuh hari menikmati kebahagiaan dari kebebasan. Dikatakan bahwa seluruh tubuh akan dimasuki oleh perasaan bahagia dan senang ini.

Terdapat beberapa teks Pali yang mencatat tentang pengalaman dari kebahagiaan dalam pencapaian Nibbana. Namun, teks tersebut menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak dibatasi atau tergantung pada Lima Kelompok Penyusun Kehidupan [pancakhanda (Pali): tubuh jasmani, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, -ed.] yang menyusun suatu individu. Pada Dvayatanupassana Sutta diungkapkan bahwa penderitaan (dukkha)
berhenti muncul dengan berhentinya Lima Kelompok Penyusun Kehidupan tersebut.29 Lebih mendalam lagi, dikatakan pada Alagaddupama Sutta bahwa makhluk yang sempurna (tathagata) tidak dapat dikenali dengan setiap bagian manapun dari Lima Kelompok Penyusun kehidupan bahkan ketika ia masih hidup.


Sumber:
Nibbana, Sebagai Suatu Pengalaman Hidup
Oleh: Lily de Silva
The Wheel Publication No. 407/408 (Kandy: Buddhist Publication Society, 1986)
Copyright © 1996 Lily de Silva
Access to Insight edition © 2005

http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/desilva/wheel407.html

Judul Asli : Nibbana, as Living Experience
Penulis : Lily de Silva
Penerjemah : Harianto Lim
Editor : Willy Yandi Wijaya
Cetakan Pertama : Juli 2008

Diterbitkan Oleh:
KAMADHIS UGM
(Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Gadjah Mada)
Jl.Gelanggang Mahasiswa UGM Lantai 2
Bulaksumur , Yogyakarta 55281
HP : 081804359456
Email : kamadhis_ugm@yahoo.com
BUKU INI GRATIS TIDAK DIPERJUALBELIKAN


 

Artikel Yang Berhubungan Badan:


0 Response to "1. KEBAHAGIAAN"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme