FISIOLOGI DAN SPRITUALITAS


Setelah membahas tentang materi-materi zaman lampau dari teks Kanon Pali sekarang kita berubah haluan menuju studi modern pada psikofisiologi dan meditasi untuk melihat apakah kita dapat menarik benang merah dari hal-hal tersebut mengenai pengalaman dari Nibbana.

Banyak studi telah dilakukan para investigator (ilmuwan) seperti Walter B. Canon menunjukkan tidak diragukan lagi bahwa terdapat sebuah hubungan yang nyata antara fisiologi dan emosi-emosi yang kuat.57 “Sebuah hantaran sensorik secara kuat memengaruhi kelenjar-kelanjar adrenalin merupakan rangsangan yang terjadi tanpa disadari (refleks) dan refleks tersebut ditransmisikan ke dalam aliran darah, mengakibatkan peningkatan jumlah adrenalin.”58 Hal ini menyebabkan terjadinya manifestasi langsung pada perubahan fisiologis tubuh seperti dilatasi pupil (bagian dari mata), berkeringat, peningkatan pernafasan, dan sebagainya.59Terdapat juga perubahan fisiologis lainnya seperti pada denyut jantung, tekanan darah, volume darah, respon elektrodermal, dan lainnya.60 Namun, hal tersebut kurang begitu berguna bagi kita karena hal tersebut tidak dapat dihubungkan dengan materi yang terdapat pada teks Kanon Pali. Kesimpulan yang logis adalah bahwa jika emosiemosi negatif yang kuat dapat menyebabkan timbulnya perubahan fisiologis tertentu pada tubuh, perubahan yang mugkin dapat dijelaskan sebagai kondisi yang tidak sehat, interpretasi dari emosi-emosi positif seharusnya juga menyebabkan timbulnya perubahan fisiologis yang tentunya berbeda dengan perubahan yang disebabkan oleh emosi-emosi negatif.

Berlawanan dengan dilatasi pupil (bagian dari mata) dan sebuah konsekuensi yang tampak dari keganasan suatu kejadian pada sebuah emosi yang kuat seperti kemarahan, kita menemukan pada teks-teks Pali menyebutkan tampilan mata para biksu yang terlihat sangat menyenangkan. Diceritakan bahwa para biksu memandang orang dan satu sama lainnya dengan ramah dan mereka berbaur dengan orang lain seperti susu dan air yang bercampur.61 Fitur ini cukup dapat menarik perhatian publik yang cerdas; sebagai contoh, Raja Pasenadi Kosala mengutip ekspresi yang menyenangkan dari mata para biksu sebagai salah satu karakteristik khusus yang meyakinkannya bahwa mereka memiliki kemurnian hati dan kematangan spiritual. 17

Ekspresi wajah dari para biksu selalu disebutkan sebagai fitur yang impresif, yang mencirikan tingginya spiritualitas yang telah dicapai. Kulit cerah nan terang atau ekspresi wajah yang tenang62 menarik perhatian para pemerhati dan menginspirasikan keyakinan mereka dalam Dharma. Terdapat kejadian yang terkait, saat Sariputta terkesan dengan raut wajah yang terang dan penampilan yang tenang dari biksu Assaji, dan hal tersebut adalah tahap awal dari perubahannya.63 Perubahan yang dibawa raja Asoka untuk Buddhisme ditunjukkan oleh penampilan luar para penganut baru Buddhisme di Nigrodha.64 Kulit halus nan terang serta tanpa cela seorang Buddha merupakan salah satu dari 32 ciri-ciri manusia mulia dan ciri ini dianggap sebagai manifestasi dari kematangan spiritualitas di dalam diri.65

Berkeringat merupakan salah satu manifestasi fisiologis terhadap perubahan emosi yang berlebihan, terdapat insiden yang menarik dari kehidupan Sang Buddha untuk dibahas pada studi ini. Suatu ketika Saccaka, seorang pendebat yang cukup disegani, datang untuk berdebat dengan Sang Buddha. Dia membual bahwa dia dapat memengaruhi Sang Buddha dalam berdebat seperti seorang lelaki kuat yang meggoncang seekor kambing dengan memegang jenggotnya yang panjang. Dengan sombong, dia juga mengatakan bahwa dia belum pernah bertemu orang yang tidak ketakutan dan berkeringat ketika dia menantangnya dalam hal berdebat. Namun, ketika debat dengan Sang Buddha sedang berlangsung sebelum hadirnya penonton yang ramai Saccaka lah yang langsung tak berkutik dan berkeringat tanpa henti. Sang Buddha memperlihatkan bagian dadanya untuk menunjukkan bahwa Beliau tidak berkeringat sama sekali.66 Kisah ini dapat dijadikan sebagai bukti kejadian bahwa seorang arahat tidak mengeluarkan keringat karena adanya perubahan emosi yang berlebihan. Bernapas dengan cepat adalah manifestasi fisiologis lainnya yang timbul karena munculnya emosi negatif. Perubahan dalam irama atau amplitudo pernapasan dianggap merupakan indikator yang tepat ketika seseorang sedang melakukan penipuan.67 Adalah sebuah pengalaman yang umum bahwa pernapasan tetap stabil dan tenang ketika kita sedang diam dan beristirahat. Bahkan menjadi lebih tenang ketika bermeditasi. Teks Kanon Pali juga menyatakan bahwa pernapasan berhenti total saat mencapai tingkatan jhana keempat, hal ini sangat halus, kesadaran tingkat tinggi dan murni.Pada 18 tahap ini adalah mungkin bahwa proses metabolisme tubuh berhenti bekerja atau berada pada level minimum pada tingkat ini. Walaupun para arahat tidak selalu berada pada tingkatan jhana ini, mereka harus mempertahankan irama pernapasan yang tenang secara konstan, sehingga mereka tidak merasa terganggu atau gembira berlebihan secara emosional. Ketenangan mereka begitu luar biasa sehingga disebutkan bahwa mereka juga mempertahankan ketenangan di dalam diri bahkan ketika sedang berbicara, tindakan seperti berbicara dalam hati yang sering dilakukan oleh umat awam telah dipadamkan pada diri seorang arahat.

Kini sains modern mempelajari tentang fisiologis dari efek pencerahan meditasi pada beberapa aspek lainnya yang relevan terhadap studi ini. Telah diketahui bahwa konsentrasi laktat pada darah turun drastis ketika bermeditasi. Konsentrasi laktat pada keadaan normal memang akan turun ketika seseorang sedang beristirahat, namun kecepatan penurunannya ketika bermeditasi terbukti tiga kali lebih cepat dibanding pada keadaan normal.

Peristiwa ini menunjukkan perbedaan jelas dengan peristiwa peningkatan kadar laktat dalam darah ketika pasien yang mengidap penyakit ‘anxiety neorosis’ berada pada keadaan ‘stres’. Selain itu, juga dilaporkan dari hasil penelitian bahwa terdapatnya laktat pada darah menyebabkan serangan kecemasan pada pasien terkait. Lebih lanjut lagi, hal tersebut sungguh berpengaruh pada pasien dengan penyakit hipertensi (esensial dan renal) yang menunjukkan kadar laktat yang lebih tinggi dalam darah pada kondisi istirahat dibandingkan dengan pasien yang tidak mengidap hipertensi, sedangkan perbedaan kontras, kadar laktat rendah terjadi pada meditator yang dihubungkan dengan tekanan darah rendah. Dengan demikian adalah jelas bahwa turunnya kadar laktat dalam darah menyebabkan efek psiko-fisiologis yang menguntungkan.

Semua hal medis ini menunjukkan bahwa pikiran yang tenang dan sehat akan Terekspresi menjadi perubahan kimia pada tubuh yang positif. Oleh karena itu, hal ini beralasan untuk dipertahankan karena seseorang yang telah mencapai puncak dari praktik meditasi dan menyadari Nibbana akan sehat baik tubuh maupun pikirannya (batinnya). Tubuh memiliki sifat elektrik tertentu yang secara jelas dihubungkan dengan proses fisiologis seperti perhatian dan emosi. Salah satu dari hal Tersebut ditunjukkan dengan peningkatan yang cepat dari daya tahan listrik kulit ketika bermeditasi. Wallace dan Benson melaporkan bahwa lima belas subjek telah diuji dan hasil tes menunjukkan peningkatan sekitar 140.000 ohms dalam tempo 20 menit. Saat tidur, daya tahan listrik kulit umumnya meningkat, namun tidak begitu signifikan atau hanya pada laju tertentu. Uji yang sama juga digunakan pada tes kejujuran, dan kebanyakan studi laboratorium mendapatkan bahwa respon daya listrik kulit merupakan indikator terbaik untuk menunjukkan kebohongan seseorang. Peristiwa ini menunjukkan bahwa tanpa diragukan lagi perubahan fisiologis yang tidak disadari akan menyertai perubahan emosi baik yang positif maupun negatif. Selain itu, juga dilaporkan bahwa otak secara konstan mengemisikan potensial listrik rendah yang terukur dalam putaran per detik, yang kemudian lebih dikenal dengan Hertz (Hz). Gelombang dengan frekuensi dan bentuk yang bervariasi ini dinamakan dengan huruf yunani yaitu gelombang delta (lebih kecil dari 4 Hz), gelombang theta (4-7 Hz), gelombang alpha (8-13 Hz), dan gelombang beta (lebih besar dari 14 Hz).78 Hasil rekaman grafik elektro-encephalo dari subjek yang bermeditasi menunjukkan adanya tanda yang intens dari gelombang alpha. Wallace dan Benson melaporkan bahwa mereka merekam gelombang tersebut dari tujuh area utama otak dengan pita magnetik dan menganalisa pola yang didapatkan dengan sebuah komputer. Mereka mengatakan bahwa pada umumnya terdapat peningkatan intensitas dari gelombang alpha rendah 8 atau 9 Hz di bagian depan dan tengah otak saat bermeditasi. Pada beberapa subjek perubahan ini juga disertai gelombang theta yang terdeteksi jelas pada bagian depan otak.79 Di sisi lain, gangguan emosional seperti marah, selalu disertai penghambatan teremisikannya gelombang alpha sedangkan saat tidur, ‘antitesis dari emosi’ dikarakterisasi oleh aktifitas amplitudo yang tinggi-rendah. Rangsangan cahaya dan suara juga menghambat frekuensi emisi alpha. Hal ini akan berkurang atau tertekan ketika seseorang berada dalam keadaan ketakutan atau gelisah. Gelombang alpha tidak ditemukan pada rekaman dari pasien yang berada dalam kondisi cemas dan gelisah. Dari kebenaran penemuan ini, maka akan memungkinkan untuk mengasumsikan bahwa harmoni dari pikiran sangat menentukan kesehatan tubuh. Ketika dikaitkan dengan pengalaman dari Nibbana, hal ini terlihat beralasan untuk berasumsi bahwa seorang arahat telah mengakhiri semua penyakit psikosomatik. Tubuhnya akan menjadi hanya peka terhadap 20 penyakit dan luka secara fisik yang disebabkan oleh materi-materi eksternal. Pada teks Kanon Pali terdapat catatan mengenai para arahat yang jatuh sakit dan mengalami rasa nyeri yang akut.81 Hal yang juga menjadi penting untuk diingat adalah bahwa para arahat dikatakan telah sembuh dengan bermeditasi pada konsep Dharma. Dari kebenaran peristiwa tersebut maka semakin mendukung seseorang untuk dapat menerima penyakit yang diderita karena adanya faktor-faktor fisiologis. Terdapat juga sebuah insiden seorang biksu yang bukan seorang arahat meninggal dikarenakan gigitan ular. Sang Buddha mengatakan bahwa jika biksu tersebut telah melatih cinta kasih (metta) secara penuh dia tidak akan mengalami kematian yang begitu tidak terduga.82 Hal yang mungkin terjadi adalah bahwa ular tersebut tidak akan langsung menyerangnya jika cinta kasih (metta) telah dikuasai secara penuh. Di sisi lain, terdapat kisah lain yang mengundang banyak komentar di mana seorang biksu non-arahat diserang oleh seekor ular berbisa ketika dia sedang mendengarkan Dharma.83 Racun tersebut langsung mulai menyebar ke seluruh tubuh dan nyeri yang ditimbulkan menjadi akut. Biksu tersebut kemudian merefleksikan kebajikan-kebajikannya yang begitu murni tak bernoda seketika dia mendapatkan pencapaian yang lebih tinggi. Dikatakan bahwa, sebagai hasil dari refleksi tersebut, kebahagiaan yang begitu besar muncul di pikirannya dan meliputi seluruh tubuhnya. Kebahagiaan tersebut beraksi sebagai penawar racun dan dia pun sembuh.

Meditasi dideskripsikan dalam terminologi psikofisiologis sebagai suatu tingkat ‘hipometabolisme yang terbangun’ dan dikarakterisasi dengan:

“berkurangnya konsumsi oksigen, eliminasi karbondioksida, dan kecepatan serta volume pernapasan; peningkatan cepat dalam keasaman darah yang berasal dari pembuluh darah arteri; penurunan yang jelas dari kadar laktat dalam darah; perlambatan denyut jantung; peningkatan yang dapat disadari dalam daya tahan kelistrikan kulit; dan suatu pola elektro-encephalogram dengan gelombang alpha rendah yang intens dan terkadang disertai adanya aktifitas gelombang theta.“84 Mungkin dapat diduga bahwa proses metabolisme ketika sadar pada saat kegiatan normal, dipertahankan pada level terendah pada seorang arahat, dikarenakan tubuhnya bukan merupakan subjek yang akan mengalami kekurangan dan kerusakan yang tidak semestinya yang dikarenakan oleh kegembiraan emosional. Emosi-emosi positif yang murni dan mulia atau sifat-sifat luhur (brahmavihara) yaitu cinta kasih (metta), welas asih 21 (karuna), kebahagiaan simpati (mudita), dan keseimbangan batin (upekkha), tidak merujuk pada tingkatan kognitif yang lebih tinggi, harus menemukan ekspresi pada tubuh secara kimiawi untuk menghasilkan diri yang sehat dan kepribadian yang tenang, tidak mudah dikacaukan, dan dimuati oleh kedamaian, kepuasan hati, dan kebahagiaan dari tercapainya pencerahan (sambodhisukha).

Di sini kita diingatkan pada sebuah pernyataan yang pernah diserukan oleh Sang Buddha. Beliau menyatakan bahwa walaupun jika hanya suatu bagian sekecil sekelumit bagian dari debu yang menentang perubahan dalam kepribadian secara psikofisik dari manusia, pencapaian hidup yang lebih baik (brahmacariya) akan sia-sia.85 Apa yang dimaksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa tidak ada sesuatu bagian yang permanen dan kehidupan yang lebih baik dapat dengan sukses membawa perubahan total seseorang baik pada pikiran maupun tubuh. Studi modern berbasis sains pada keadaan fisiologis saat bermeditasi membuktikan bahwa perubahan mendasar secara biokimia dan bioelektrik berpengaruh pada tubuh sebagai hasil dari pertumbuhan mental. Oleh karena itu, dimungkinkan untuk menduga bahwa pertumbuhan mental akan berakhir pada suatu transformasi total psikofisik.

Banyak studi telah dilakukan pada teknik bio-feedback yang menyarankan bahwa suatu transformasi radikal dari sistem saraf harus berperan dalam perkembangan dari potensialitas mental yang lebih tinggi. Merupakan pengetahuan yang umum bahwa sistem saraf autonom dibagi menjadi dua bagian, sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Johan Stoyva, pada sebuah artikel mengenai teknik bio-feedback, menyatakan bahwa mungkin pada relaksasi yang lama terjadi suatu perubahan dari sistem saraf autonom menjadi dominasi sistem parasimpatik. Fungsi sistem parasimpatik dikaitkan dengan emosi-emosi yang halus—berpikir, keyakinan agama, pengalaman estetika, perenungan—emosi-emosi dikarakterisasi oleh rentang kesadaran yang lebih luas.86 Di sisi lain, keunggulan sistem simpatik adalah keterkaitannya dengan emosi-emosi yang rentang kesadarannya berada pada posisi terlarang—contohnya adalah marah dan takut. Dari kebenaran penjelasan tersebut mungkin diduga bahwa fungsi parasimpatik berkembang ke arah kemajuan spiritual dengan efisiensi yang lebih besar.

Sangat sedikit diketahui mengenai fungsi dari kelenjar pineal, yang menurut Rene Descartes merupakan tempat terpilih bersemayamnya jiwa manusia. Hal ini dijelaskan sebagai terbentuknya jam biologis dari seorang manusia yang tergantung pada keteraturan waktu tidur dan bangun.87 Kelenjar ini menyintesis suatu hormon yang disebut melatonin yang memengaruhi perilaku, tidur, aktifitas otak, dan aktifitas seksual seperti pubertas, ovulasi, dan kematangan seksual.

Ketika melatonin merangsang aktifitas otak, ini akan menghambat aktifitas seksual. Selain itu, hal tersebut juga akan mengenali cahaya/ gelap, penciuman, dingin, stres, dan pengaruh saraf lainnya yang dapat memengaruhi fungsi kelenjar pineal.89 Pemaparan pada cahaya mengurangi sintesis melatonin dan menekan berat kelenjar pineal.90 Di sisi lain, cahaya mempercepat kematangan seksual dan aktifitasnya.

Pada konteks pemikiran Buddhis fungsi dari kelenjar pineal adalah sebagai basis biologis dari kontrol kesadaran. Buddhisme tetap menyatakan bahwa rangsangan kesadaran yang tidak dapat dikendalikan akan mengganggu aktifitas mental. Jika pintu kesadaran dikawal dengan baik, yaitu jika pengaruh visual, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan sentuhan dapat dikontrol, tingkat kebahagiaan yang sesuai (avyasekasukha) dan aktifitas mental yang terkonsentrasi menjadi mungkin tercapai.92 Cittassekaggata, kemampuan untuk memfokuskan pikiran pada satu titik, sangat dipengaruhi oleh kontrol dari kesadaran penginderaan. Pada konteks fisiologis hal ini terlihat seperti kontrol kesadaran membantu proses sintesis dari melatonin pada kelenjar pineal yang merangsang aktifitas otak dan memperlambat aktifitas seksual.

Dengan begitu pada konteks kelenjar pineal, aktifitas otak dan aktifitas seksual terlihat berlawanan. Pada Buddhisme, juga ditekankan bahwa hasrat seksual menghalangi pikiran yang jernih, meyimpangkan pandangan, menyembunyikan masalah, menghambat kebijaksanaan, dan menghancurkan kedamaian pikiran.

Keseluruhan skema dari perkembangan spiritual yang meliputi Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan suatu rencana dengan metode yang efisien dari langkah yang diarahkan menuju transformasi psikofisik yang semakin meningkat dan berakhir pada pencapaian Nibbana. Perilaku moral 23 (sila) merupakan bingkai dari perbuatan baik yang membawa pada tubuh yang sehat secara kimia dapat terbentuk perlahan-lahan. Sirkulasi saraf terkait dengan fisik yang harmonis dan aktifitas vokal yang kuat serta sirkulasi saraf yang berkaitan dengan kekerasan berubah menjadi tidak proporsional. Tahap kedua dari Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah meditasi. Perkembangan psikofisik yang cepat dan mantap terjadi pada tahap ini. Hal ini memunculkan dugaan bahwa sekresi kelenjar adrenalin yang terjadi bersamaan dengan timbulnya emosi-emosi negatif dari kemarahan dan ketakutan menjadi berkurang sehingga berada pada kondisi yang normal atau sehat. Mungkin adrenalin disekresikan dalam jumlah kecil pada sirkulasi darah untuk menjaga hasrat yang tak terkendali untuk tetap bertahan dalam praktik meditasi yang menyulitkan dengan penuh keberanian dan ketekunan. Atau hal ini mungkin dikarenakan kelenjar endokrin merangsang atau menghambat satu sama lain, suatu kombinasi yang seimbang dari sekresi kelenjar tersebut memengaruhi perilaku kognitif dan emosional dari meditator. Ketika sifat-sifat luhur yang terdiri dari cinta kasih (metta), welas asih (karuna), kebahagiaan simpatik (mudita), dan keseimbangan batin (upekkha) telah berhasil dipraktikkan, sifatsifat tersebut akan melekat pada sistem saraf, yang mungkin meningkatkan dominasi sistem saraf parasimpatik. Dengan berpraktik meditasi vipassana atau meditasi pandangan terang, kelenjar pineal akan berkembang sepenuhnya untuk membuka semua kemungkinan pengetahuan spiritual pada pikiran meditator dan saat proses tersebut telah dilewati maka tercapailah Nibbana.

Interpretasi ini mendukung konsep Buddhis mengenai hubungan timbal-balik antara kesadaran (vinnana) dan fisik-batin (namarupa). Hubungan ini diilustrasikan pada teks Kanon dengan suatu ungkapan yaitu dua ikat tumbuhan alang-alang yang diikat bersama saling medukung satu sama lain. Suatu perubahan posisi pada salah satu ikatan akan menyebabkan perubahan yang sama pada ikatan lainnya. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa perkembangan psikologis memengaruhi fungsi fisiologis, dan terlihat melalui aktifitas dari sistem saraf dan kelenjar endokrin. Perubahan fisiologis yang sehat akan menguatkan aktifitas fisiologis yang sehat juga. Dengan begitu proses interaksi psikofisik yang saling menguntungkan bekerja pada kebahagiaan atau kesedihan seseorang tergantung pada kualitas moral perbuatan yang dilakukan dengan tubuh, ucapan, dan pikiran. Karena pikiran terlibat dalam semua aktifitas, pikiranlah yang bertanggung jawab terhadap kualitas kimiawi  tubuh dan fungsi saraf.

Ketika akhirnya pikiran mencapai suatu tingkat kemurnian absolut yang tidak tergoyahkan, kimiawi tubuh dan fungsi saraf mengalami suatu transformasi radikal yang tidak akan kembali seperti semula lagi. Dari hal ini dapat diduga bahwa saat kelenjar pineal dan perangkat pendukungnya berkembang menuju kapasitas terbesar yang mungkin, bagian otak yang tidak aktif hingga saat itu terbuka rahasianya dan terungkap seketika perhatian ditujukan padanya. Dengan demikian memori tersebut menjadi begitu efisien karena dapat mengaktifkan kembali pengetahuan sebelum kelahiran yang pernah terjadi hingga begitu banyak kelahiran-kelahiran yang terjadi sebelumnya. Sama halnya dengan kemampuan ’mata dewa’, pandangan terang, yang diperjelas, akan menyingkap fenomena hukum karma yang terjadi sebelumnya dari pengalaman seorang manusia. Ketika seseorang memperoleh pandangan terang dan pengetahuan dari proses-proses pada tubuh dan mental yang terlibat dalam kepribadian manusia tersebut, seseorang akan mencapai pencerahan tertinggi.

Sumber:
Nibbana, Sebagai Suatu Pengalaman Hidup
Oleh: Lily de Silva
The Wheel Publication No. 407/408 (Kandy: Buddhist Publication Society, 1986)
Copyright © 1996 Lily de Silva
Access to Insight edition © 2005

http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/desilva/wheel407.html

Judul Asli : Nibbana, as Living Experience
Penulis : Lily de Silva
Penerjemah : Harianto Lim
Editor : Willy Yandi Wijaya
Cetakan Pertama : Juli 2008

Diterbitkan Oleh:
KAMADHIS UGM
(Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Gadjah Mada)
Jl.Gelanggang Mahasiswa UGM Lantai 2
Bulaksumur , Yogyakarta 55281
HP : 081804359456
Email : kamadhis_ugm@yahoo.com
BUKU INI GRATIS TIDAK DIPERJUALBELIKAN


 

Artikel Yang Berhubungan Badan:


0 Response to "FISIOLOGI DAN SPRITUALITAS"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme