TUHAN ITU APA?



Sampai katanya ada 99 nama Tuhan.
Maha Pencipta.
Maha Pemurah.
Maha Pemaaf.
Sang Khaliq.

Tapi Tuhan itu apa?

Mahluk? Dzat? Roh? Keadaan? Kekuatan? Kebisuan? Ketulian? Kebutaan? Hukum Alam? Sumber dari segala?

Hayo.... Tuhan itu apa?

Kalau tak ada yang tahu... mengapa ngotot Tuhan itu ada?

Mengapa menuliskannya harus pakai T besar?
Mengapa harus disembah?
Bukannya lebih nyata pohon kelapa?

Mengapa juga harus dibela bela?
mengapa harus dipuja?
Dinyanyi-nyanyikan?
Dipuji-puji?
Ditakuti?

Seorang ibu marah pada anaknya yang nakal...
"Jangan kaya gitu! Nanti marah Tuhan Jesus..."

Ah, Tuhan bisa marah juga rupanya.

Seorang usdatz berteriak
"takutlah hanya pada Allah.."

Ah, ternyata Allah menakutkan.

Tuhan itu apa?

Untuk bertanya inipun aku sudah dibilang murtad!

Artikel Yang Berhubungan Badan:


14 Response to "TUHAN ITU APA?"

  1. Gina says:

    Mungkin karena 'tidak nyata' kayak pohon kelapa, makanya 'menakutkan', hehehe. Orang kan suka takut sama yang 'tidak nyata' (kayak hantu dan sejenisnya). Sebenarnya dari dulu saya juga bingung dengan ayat, "Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan." (Amsal 1:7). Ini ayat yang sering digunakan sebagai ayat landasan sekolah2 Kristiani. Katanya Tuhan itu Baik, Maha Penyayang, tapi kok harus ditakuti?

    "Tuhan itu apa?", ya itu pertanyaan hakiki yang dicoba dijawab oleh pencari-pencari-Nya. Mungkin ada yang sudah menemukan jawab, baik yang langsung secara empiris (seperti orang-orang yang sudah mengalami alam pertemuan dengan-Nya atas kemurahan-Nya), maupun dengan cara 'belajar' dan akhirnya 'menemukan' (inipun tentu harus dengan kehendak-Nya). [Cat. paragraf kedua ini insprired by baca komen2nya Mbak Titi di blogernas].

    Yang tidak/belum menemukan jawab juga saya kira banyak. Ada yang mencari dengan cara belajar dengan selalu menggunakan nalar dan nurani, ada yang dengan berusaha saklek turut pada aturan ritual agamanya, atau dengan cara-cara lainnya. Tapi saya kira, senantiasa mencari (seperti berani melontarkan pertanyaan di atas) lebih baik daripada diam tidak mencari sama sekali. Saya sendiri tidak tahu kapan bisa menemukan jawab. Tapi, ada yang bilang,untuk hal-hal tertentu di kehidupan ini, proses lebih penting daripada hasil, hehe. Lha secara logika, kalau nggak dicari, kapan ketemunya? :)

    Traktor says:

    Thanks tanggapannya. tadi saya sudah tulis balasan. Tapi galat alias error, jadi hilang... Ditulis lagi kayanya pasti bakal beda. Tapi intinya tadi komen saya begini.

    Bahwa dalam pemikiran yang sangat purba dari manusia adalah adanya suatu keinginan untuk dijajah, karena hal hal yang tidak sanggup mereka hadapai.

    Keinginan ini mengejewantah dalam konsep konsep yang disebut Tuhan. Yang kata seorang ahli tentang Tuhan (wakakakakaka) adalah sebuah kondisi edeal.... pokoknya ideal lah.

    Kondisi ini menjadi satu dari sekian kemelekatan manusia. Melekat terus bertanya tanya. Apa itu. Dalam keyakinan semu bahwa Tuhan itu ada, justru e=terjebak dalam hal hal yang semakin melekat.

    Tuhan sebenarnya diharapkan 'ada' untuk menjadikan manusia bisa berpijak dalam melakukan banyak kebaikan di muka bumi ini. Itu yang dimaksudkan Ibu dalam dialog pertama, yang menakut nakuti anaknya akan marahnya Tuhan.

    Tidak hanya pada anak-anak, dialog tersebut sering terjadi di bathin siapa saja bagi yang percaya bahwa Tuhan itu ada. Kemelekatan ini muncul karena pikiran yang diabaikan. Atas segala hal yang tidak terjawab, maka Tuhanlah muaranya.

    Kemudian kalimat sakti lain yang sering diucapkan adalah. Bila Tuhan tidak ada, bumi dan alam semesta ini yang menciptakan siapa?

    Yang tidak mengakui keberadaan Tuhan tidak tahu jawabannya. Namun sebenarnya sama tidak tahunya dengan yang menuding Tuhan sebagai penyebabnya.

    Namun apakah ini sudah benar?

    Yang benar adalah kenyataan bahwa banyak yang melekatkan segala ketidak tahuan kepada Tuhan.

    Dalam perkembangan selanjutnya setelah 'menemukan' tuhan yang dicari cari tadi, Tukan mulai mengalami make over. Alias mulai dipoles make up make up supaya menjadi ideal.

    Sampai sedemikian ideal, sangat ideal akhirnya menjadi jauh dari ideal. karena hanya lewat Tuhan anda bisa bertemu surga. karena hanya melalui Tuhan saya anda bisa mencapai kebahagiaan.

    Kebahagian menjadi dasar paling hakiki dalam membentuk dan mempoles make up Tuhan. Tak ada mahluk yang tidak ingin bahagia. Kucing garong mencuri ikan pun berharap supaya kenyang. Kenyang lebih membahagiakan daripada lapar.

    Itulah kemelekatan. Kemelekatan pada rasa ingin memiliki. Bukan lagi pada inti yang lebih dalam, perasaan ingin dimiliki.

    Dalam kenyataan yang sebenarnya. Mencari Tuhan justru adalah mencari jati diri sendiri. Mendapatkan Tuhan adalah dengan melepaskan kemelekatan akan Tuhan itu sendiri.

    Dalam kegamangan tanpa jati diri. Manusia mengabaikan pikiran yang dimiliki dan mencari cari Tuhan. Sebenarnya yang dicari adalah jati diri sendiri. Saat jati diri sudah ditemukan, disitulah Tuhan kemudian dikatakan ada.

    Namun sedikit yang menyadari, kepuasan mendapatkan dan kepuasan tidak ingin mendapatkan.

    Tuhanyang sejogiyanya diadakan untuk kebaikan, justru menimbulkan maslaah disana sini. Karena make upnya tidak sesuai selera. Saya suka menorehkan eye shadow biru, anda suka ungu. Masing masing punya kuas kosmetik yang paling lembut. Kahirnya kuas itu tidak lagi digunakan untuk memoles mata Tuhan, melainkan sudah dijadikan pedang untuk saling ting.... ting.... duel kaya film kunghu.

    Dan kemudian muncul yang seperti di lagu itu, Tolong dengar Tuhan. Setiap duka tuding ilahi. Setiap kekalahan dilandaskan pada kemenangan yang tertunda dari Tuhan.

    Sampai orang yang patah hati bisa mengharapkan orang lain celaka dengan restu Tuhan. Sampai bredel di Kompasiana di SAH kan dengan keadilan Tuhan. Sampai ketidaksanggupan mengadili penjahat, Tuhan dijadikan tameng terakhir. bahwa Tuhan kelak adalah pengadilan yang paling adil.

    Itu semua make up yang ditorehkan ke pipi menor Tuhan. Sampai menuliskannya pun, saya harus pakai T yang besar.

    Kalau tidak dicari bagaimana bisa ketemu?

    Untuk apa dicari? Untuk apa ketemu?

    Traktor says:

    Btw, nanti ini saya jadikan artikel yah.... dengan bumbu fiksi atau gimana... lihat moodnya deh. wekekekeke.. lanjut.

    Gina says:

    [KUTIP]

    Dalam kenyataan yang sebenarnya. Mencari Tuhan justru adalah mencari jati diri sendiri. Mendapatkan Tuhan adalah dengan melepaskan kemelekatan akan Tuhan itu sendiri.
    ---

    'Like this' lah... hehehe :)

    Est says:

    hihihi... itu komen apa artikel? xixixi...

    Gina says:

    Dalam rangka pencarian Tuhan, saya kira orang dapat digolongkan ke 2 kelompok:

    1. yang sudah ketemu (jadi tahu Tuhan itu apa)
    2. yang belum ketemu.

    Nah, tapi di dalam 2 jenis kelompok ini, ada juga yang merasa pede sudah ketemu Tuhan padahal sebenarnya belum (jadi sebenarnya ada di kelompok 2), dan ada juga yang mungkin tidak menyadari proses pencariannya akan Tuhan tapi ternyata sudah masuk ke kelompok 1.

    Kebanyakan orang Indonesia yang menganut agama-agama tertentu sudah diberi dogma tentang Tuhan sejak kecil. Jadi bisa saja orang-orang merasa sudah ketemu Tuhan, tapi sebenarnya yang terjadi adalah 'sekedar' usaha perealisasian akan sosok psikologis Tuhan yang sudah tertanam di benak sejak orang tersebut mengenal agamanya. Di agama A Tuhan itu Dzat, di agama B Tuhan itu pengejawantahan berupa Firman, di agama C Tuhan itu tampil sebagai manusia, dsb. Saya kira mungkin saja ada orang-orang yang bermimpi ketemu Yesus, akhirnya merasa dirinya sudah ketemu Tuhan. Tapi apakah benar demikan?

    Ya kembali ke paragraf pertama komen pertama saya, ya ketemu Tuhan itu harus atas kehendak-Nya. Kalau dibilang "untuk apa dicari?", ini memang tergantung motivasi yang mencari ini. Tapi menurut saya lebih banyak yang nggak mencari kok. Nah, orang-orang yang tidak mencari ini, juga bisa dibagi lagi menjadi:

    1. Nggak mencari karena merasa sudah cukup puas dengan definisi Tuhan yang mereka punya di benak mereka masing-masing (sesuai dengan agama yang dianutnya). Atau bahkan merasa sudah ketemu Tuhan (padahal belum). Apakah orang-orang ini punya peluang untuk ketemu Tuhan yang sebenarnya? Ya karena semua tergantung Tuhan sendiri, peluang tetap ada. Ya, kan, suka-suka Tuhan, hehehe.

    2. Nggak mencari karena memang merasa tidak perlu mencari, karena orang-orang ini sedang berusaha melepaskan kemelekatan terhadap apapun (termasuk kepada konsep Tuhan).

    3. Nggak mencari karena memang benar-benar sudah ketemu hakikat ke-Tuhan-an itu sendiri.

    Saya kira, yang sedikit berbahaya itu orang yang masuk ke kelompok 1. Orang-orang kelompok 1 tidak melakukan usaha apa2 untuk menemukan Tuhan (karena merasa sudah ketemu, padahal belum), percaya dengan konsep ke-Tuhan-an yang dia miliki, dan konsep ini bisa dianggap di atas segalanya (yang mana hal ini menjadi relevan dengan pengkultusan Tuhan yang disamakan dengan pengkultusan agama. Semua yang atas nama agama jadi oke).

    Gina says:

    Sementara konsep yang nomor 2, menurut saya sih sebenarnya sedang 'tren'. Tapi konsep no. 2 ini, tren di tataran pengetahuan, bukan di pelaksanaan, hihihi. Banyak kita dengar bahwa kita memang harusnya bisa melepaskan keinginan, tidak memiliki kemelekatan terhadap apapun, dan akhirnya dalam totalitas 'keheningan' batin, kita bisa bertemu dengan-Nya (walau kita tidak dengan sengaja mencari). siapa orang yang benar2 bisa lepas dari kemelekatan di zaman modern ini? Sulit, tapi sebenarnya bukannya tidak mungkin. Saya sendiri masih punya tingkat kemelekatan yang sangat tinggi. Lha waktu berangkat kerja ketinggalan HP saja, bisa sewot.

    Bagaimana dengan orang-orang yang ada di golongan 3? Mereka adalah orang-orang 'terberkati'. Apakah sebelumnya mereka ketemu Tuhan karena mencari atau tidak, who knows. Yang jelas mereka sudah tahu apa itu Tuhan. Menurut saya, orang2 seperti ini tetap bisa teridentifikasi dalam kehidupan sehari-harinya. Ini juga berkaitan dengan konsep nomer 2. Saya kira, orang-orang yang sudah tahu Tuhan, memang bisa melepaskan kemelekatannya terhadap apapun. Melepaskan keinginan, termasuk keinginan akan bertemu Tuhan, karena dia tahu dan sudah menemukan Tuhan di dalam dirinya sendiri...

    Bagaimana dengan saya? Lha saya sendiri masih sibuk dengan kemelekatan. Dibilang mencari, paling ya bisanya mencari sambil ngubek2 blog orang, haha. Karena saya kristiani yang saya akui masih dalam tahap dogmatis, buat saya Tuhan itu berbanding lurus dengan kasih. Bahasa kerennya, Tuhan itu CINTA. Di mana ada cinta, ya ada Tuhan, gitu lho.

    Soal make-up2, ya saya setuju memang kalau Tuhan kadang2 memang jadi make-over. Ya itu kembali ke golongan orang yang tidak mencari tapi ada di nomor 1 tadi (nggak mencari karena merasa sudah ketemu, padahal belum). karena benak orang itu beda2, konsep Tuhan juga jadi beda2, dan orang merasa konsep Tuhan-nya lah yang paling benar. Tuhan dirias baik2 supaya kita memilih Tuhan mana yang lebih cantik dan lebih menjanjikan. That's why I hate make-up :).

    Gina says:

    ralat:
    [kutip]
    Ya kembali ke paragraf pertama komen pertama saya,
    ---

    maksudnya 'paragraf kedua komen pertama', hihihi.

    Traktor says:

    Intisarinya adalah... untuk apa ngotot? Bahkan kadang sampai ke merk pun kita ngotot. Saya ogah pakai kolor kalo merknya tidak Renoma, misal. Saya gak bakal pakai computer merk lain lagi setelah saya kenal Apple.

    Ini kan yang rugi diri sendiri.

    Demikian juga dalam hal kemelekatan dalam usaha mencari Tuhan. Bagaimana mencari sesuatu yang belum dikatahui sebagai apa. Yang Islam menganggap Dzat. Yang Kristen mungkin Kasih atau Firman. Yang Hindu sebagai perwujudan Tri Murti. Yang Khong Hu Cu menganggapnya langit, atau Thian.

    Bagaimana mencari hal seperti itu? jawabnya sangat pribadi. Metode saya tidak akan sama dengan anda. Namun salah salah hal ini menjadikan semacam kemelekatan psikologis.

    Dalam kemelekatan untuk mengenal Tuhan ini, mendorong manusia rela diperbudak. Rela menangis sambil berdoa. Bersujud entah pada siapa, entah pada apa.

    Lalu ada lagi konsep manusia sebagai Tuhan. Tuhan itu manusia. Nah ini sudah mempertanyakan lagi. Kalau begitu Yang Maha Esa nya dimana?

    Maha Penciptanya dimana?

    Benar manusia bisa menciptakan hampir apa saja dewasa ini. Tapi tetap bukan Maha Pencipta.

    Di Buddhis ada konsep SammaSambuddha. Bahwa Buddha adalah manusia. Lantas dengan deskripsi deskripsi bahwa Buddha itu manusia yang sudah mencapai pencerahan, maka asumsi dari non Buddhis mengganggap Buddhisme mamandang Manusia bisa menjadi Tuhan. Tapi pendapat ini datang dari kalangan Non Buddhis. Buddhistnya sendiri menolak konsep konsep seperti itu.

    Dalam hal menyadari diri. Yang bisa dilakukan adalah menerima. Menyadari kemelekatan, bukan berarti menolak kemelekatan. lahir sebagai manusia adalah kemelekatan. Menyadari ini bukan berarti harus menanggalkan baju, menanggalkan semuanya. Tetapi dengan menyadarinya, adalah langkah menuju kesadaran itu sendiri.

    Mengapa saya menuliskan artikel ini, Tuhan itu apa? Ini juga proses dari saya menyadari bahwa saya melekat pada esensi Tuhan tersebut. Yang tidak terdapat di agama yang saya anut. Namun hampir setiap hari saya dengar. Bahkan seringkali menjadi topik favorit.

    Bentuk kemelekatan yang sesungguhnya. Mencari Tuhan.

    Dengan menyadari kemelekatan ini, bukan artinya saya menolak Tuhan. Tapi lebih kepada sadar. Bahwa saya masih mencari cari tahu... masih melekat untuk tahu, Tuhan itu apa ya?....

    Kenapa dalam membalas komen inipun, saya terpaksa memencet SHIFT agar T nya huruf besar.

    Traktor says:

    Wah makin seru nih, bisa bisa menjadi ebook.

    Saya mau mengomentari yang ini:

    [kutip]
    2. Nggak mencari karena memang merasa tidak perlu mencari, karena orang-orang ini sedang berusaha melepaskan kemelekatan terhadap apapun (termasuk kepada konsep Tuhan)..... [kutip]


    lanjutannya ini:
    [kutip]
    Sementara konsep yang nomor 2, menurut saya sih sebenarnya sedang 'tren'. Tapi konsep no. 2 ini, tren di tataran pengetahuan, bukan di pelaksanaan, hihihi. Banyak kita dengar bahwa kita memang harusnya bisa melepaskan keinginan, tidak memiliki kemelekatan terhadap apapun, dan akhirnya dalam totalitas 'keheningan' batin, kita bisa bertemu dengan-Nya (walau kita tidak dengan sengaja mencari). siapa orang yang benar2 bisa lepas dari kemelekatan di zaman modern ini? Sulit, tapi sebenarnya bukannya tidak mungkin. Saya sendiri masih punya tingkat kemelekatan yang sangat tinggi. Lha waktu berangkat kerja ketinggalan HP saja, bisa sewot.
    [kutip]

    ==========

    Konsep melepaskan diri dari kemelekatan ini adalah cara untuk melepaskan penderitaan. Semakin sedikit kita melekat semakin sedikit penderitaan. Kemelekatan adalah awal dari penderitaan. Seperti pengakuan anda sendiri, ketinggalan HP saja sewot.

    Padahal anda saya yakin pernah hidup di jaman tanpa HP. Tapi mengapa anda sewot waktu HP anda ketinggalan? Itu karena anda melekat kepada HP. Bukan karena HP nya ketinggalan.

    Seperti misal, PLN mematikan lampu selama 4 jam di Jakarta. Ini akan menimbulkan sewot dimana mana, caci maki dimana-mana. Saya tidak mengatakan bahwa PLN tidak bertanggung jawab itu bagus. Tapi lebih ke diri sendiri. Mengapa bisa kita demikian melekat pada PLN?

    Mengapa bisa saya demikian melekat sekarang dengan Blog saya.

    Namun, ada caranya agar lepas dari penderitaan. Jangan melekat. HP tinggal, kalau sangat penting saya masih bisa pinjem HP teman sebentar. PLN mati, saya masih bisa membaca dengan lilin. Tifatul memblokir Porno dari Blackberry, saya masih bisa lihat porno pake Opera Mini.

    MAS DOT says:

    seperti matahari. keinginan adalah sumber penderitaan letaknya di dalam pikiran. tujuan bukan utama. yang utama adalah prosesnya. kita hidup mencari bahagia. harta dunia kendaraannya. bahan bakarnya budi pekerti. itulah nasehat para nabi... diteruskan sendiri ya mas bro...

    Traktor says:

    Mas Dot:
    Ada 2 jenis kebahagian.
    1. kebahagiaan karena mendapatkan sesuatu
    2. kebahagiaan karena tidak mengharapkan sesuatu.

    Yang mas dot teruskan yang 1. Yang kedua belum.

    Gina says:

    @ Bang TL dan Mas Dot:

    Iya, soalnya masih ada unsur 'harta dunia'-nya, hihihi. Tetap saja jadinya ada tujuan terselubung dalam tujuan: tujuan akhir bahagia, proses menuju bahagia pake harta dunia (lha harta dunia ini di lapangan kan jadinya dijadikan tujuan juga, soalnya kalau pake konsep ini, tanpa harta dunia kebahagiaannya nggak tercapai. Kan katanya kendaraan).

    @ Bang TL:
    [KUTIP]

    Namun, ada caranya agar lepas dari penderitaan. Jangan melekat. HP tinggal, kalau sangat penting saya masih bisa pinjem HP teman sebentar. PLN mati, saya masih bisa membaca dengan lilin. Tifatul memblokir Porno dari Blackberry, saya masih bisa lihat porno pake Opera Mini.
    [KUTIP]
    Intisarinya adalah... untuk apa ngotot? Bahkan kadang sampai ke merk pun kita ngotot. Saya ogah pakai kolor kalo merknya tidak Renoma, misal. Saya gak bakal pakai computer merk lain lagi setelah saya kenal Apple.
    ---

    Nah ini. Untuk hal-hal praktis seperti ini, sebenarnya orang-orang juga tahu kok, kalau kemelekatan itu 'nggak wajib'. Entah karena sifat dasar manusia (EGO), atau karena 'rakus' terhadap sesuatu yang 'standar' (standar menurut dia sendiri, seperti adanya HP, adanya listrik, fanatik terhadap merk2 tertentu, dll), orang sering melekat terhadap sesuatu, dan kecewa/menderita jika sesuatu itu hilang/tidak ada/tidak didapatkan. Saya pikir, di situ letak 'kesalahannya'.

    Secara praktis lagi, mungkin sebelum kita bisa lebih jauh melepaskan kemelekatan terhadap hal2 yang lebih esensial, nggak ada salahnya 'berlatih' untuk tidak melekat pada hal-hal duniawi seperti contoh di atas tadi. Saya kenal orang yang menurut saya benar-benar bisa lepas dari kemelekatan duniawinya (walau sangat jaraaaang). Bukan karena terpaksa (karena nggak punya duit) atau karena biarawan atau sejenisnya lho, tapi karena kesadaran penuh bahwa kemelekatan itu perlu ditanggalkan. Dan benar, orang-orang seperti ini (tampaknya) senantiasa bahagia... and believe it or not, walau sifatnya personal, menurut saya, orang ini sudah tahu, Tuhan itu apa.

    Traktor says:

    Nah ini. Untuk hal-hal praktis seperti ini, sebenarnya orang-orang juga tahu kok, kalau kemelekatan itu 'nggak wajib'. Entah karena sifat dasar manusia (EGO), atau karena 'rakus' terhadap sesuatu yang 'standar' (standar menurut dia sendiri, seperti adanya HP, adanya listrik, fanatik terhadap merk2 tertentu, dll), orang sering melekat terhadap sesuatu, dan kecewa/menderita jika sesuatu itu hilang/tidak ada/tidak didapatkan. Saya pikir, di situ letak 'kesalahannya'.

    ============

    Inilah rahasia kelahiran.

    ==============

    Dan benar, orang-orang seperti ini (tampaknya) senantiasa bahagia... and believe it or not, walau sifatnya personal, menurut saya, orang ini sudah tahu, Tuhan itu apa.

    =============

    Bisa juga sebaliknya.... hehehehehe

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme