BANJIR DARAH DI KAMP KONSENTRASI (MENGINTIP KEBRUTALAN G30S/PKI)
Judul : Banjir Darah di Kamp Konsentrasi
Penulis : NH Atmoko
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Edisi : I, 2011
Tebal : 215 halaman
ISBN : 978-602-8174-45-9
Peresensi : Ali Mahmudi Ch *)
"Di balik jeruji penjara yang kokoh, mayat berlumuran darah terserak di berbagai tempat. Sosok-sosok manusia sekarat tergeletak di mana-mana. Bahkan, sebagian telah membusuk-bangkai. Mereka dikuburkan tak selayak jenazah dimakamkan. Bahkan dibuang ke sungai-sungai. Sungguh kejam dunia ini." (NH Atmoko)
Membaca dari memoar kecil NH Atmoko ini, sangat miris kita merasakannya. Sebuah fenomena tragis melanda negeri pertiwi ini. Betapa kejamnya dunia ini. Seonggokan manusia diperlakukan sebagaimana hewan piaraan. Mereka disuruh kerja keras tanpa harus mendapat bayaran. Jangankan bayaran, makan pun tidak diberikan. Sungguh, kekejaman ini telah menyayat dan mengakhiri hidup korban. Dunia sungguh kejam!!!
Kisah seperti itu sedikit mirip kita sebut dengan dongeng atau drama film kekejaman manusia. Tetapi bukan. Kisah seperti itu memang nyata. Di negeri kaya raya akan hasil alam, sejumlah manusia berseragam, menenteng senjata bedil, mereka menjadi pengemban nafsu angkara murka. Mereka bertindak semena-mena dengan melibatkan orang-orang kecil tak berdosa untuk dijadikan korbannya.
Buku bertajuk Banjir Darah di Kamp Konsentrasi karya NH Atmoko ini merupakan buku yang tergolong nyeleneh dari zamannya. Buku ini memang aneh dan unik. Penulis memulainya dari kisah duka yang dirasakan betapa pedihnya saat itu. Memoar kecil ini merupakan catatan sejarah duka-derita penulis berkaitan dengan Tragedi 1965. Sebuah mukjizat tersendiri, di tengah-tengah penderitaan yang mahadahsyat itu, penulis mampu bertahan hidup.
Tak hanya sebagai catatan pribadi, tetapi buku ini merupakan memoar sejarah kemanusiaan yang ditulis langsung oleh pelakunya. Sebagai penulis, NH Atmoko mengajak kita melihat/memahami sejarah perspektif kalangan bawah yang nyaris terabaikan. Memoar kisah-kisah diceritakan dengan gaya kepiawaiannya yang unik. Tak hanya itu, pengisahannya juga didasari oleh ketajaman daya ingat penulis.
Sebagai simbol tersendiri, penggambaran situasi/setting dibuat dengan sangat menyentuh rasa kemanusiaan pembaca. Bagaimana penulis menyimbolkan kecintaannya terhadap bangsa telah terlukis indah di dalam buku ini. Penulis mengisahkan memoarnya dengan gaya yang hampir sama persis dengan gaya pembacaan sejarah yang ditulis oleh Paul Thomson.
Paul Thomson, The Voice of The Past (2000), dalam teorinya ia mengemukakan bahwa dengan menyodorkan perspektif baru dari bawah, menggeser fokus kajian dan membuka wilayah pencarian yang baru, serta dengan menyuarakan narasi dari kalangan yang selama ini terabaikan, maka sebuah narasi sejarah telah melakukan transformasi. Berangkat dari sinilah penulis menarasikan memoarnya. Ini merupakan tawaran yang diberikan penulis untuk menganalisis sejarah perspektif kaum bawah.
Buku ini mempunyai daya tawar yang begitu luar biasa menariknya. Penarasian pengalaman pribadi dalam melihat periode sejarah tahun 1960-an yang penuh kekejaman dan semena-mena dilakukannya dengan sistematika yang sedemikian apik. Perspektif penulisan sejarah seperti ini jarang sekali dilakukan penulis lain. Bahkan, untuk kepentingan politik, penulisan sejarah dibombastis sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaan.
Kehadiran buku ini diharapkan mampu menjadikan transformasi pembacaan sejarah. Manusia tidak lagi hanya cukup dengan mengamini narasi sejarah versi kekuasaan. Mereka diharapkan lebih terdorong menarasikan dari perspektif lain yang berbeda, khususnya dari kalangan pelaku sejarah yang telah menjadi korban dan terpinggirkan.
Buku memoar ini mempunyai peran penting di era kontemporer sekarang. Mengembangkan memoar/catatan-catatan kecil dari orang yang terpinggirkan merupakan salah satu wujud dokumentasi sejarah. Betapa pun pahit-getirnya, dokumentasi sejarah mutlak diperlukan. Selain sebagai dokumentasi, memoar seperti ini merupakan bahan ajaran dari pengalaman masa lalu.
Sebab, baik disadari maupun tidak, masa lalu merupakan salah satu unsur yang tak bisa diabaikan, baik untuk perenungan masa kini maupun periode masa depan. Buku ini semakin membimbing kita untuk menjadi bangsa yang berperikemanusiaan, adil, dan beradab. Dengan membaca memoar sejarah ini, kita bisa membayangkan seolah-olah berada pada masa-masa mencekam yang penuh penderitaan itu.
Sudah sepatutnya, kehadiran buku memoar sejarah duka-derita NH Atmoko ini kita sambut dengan penuh antusias. Selain menggugah naluri watak kemanusiaan kita, buku ini juga mengajarkan kita untuk menjadi dewasa dan makin cerdas membangun masa depan yang cerah. Sebab, bangsa yang baik adalah bangsa yang paham tentang sejarah kehidupannya dan mencoba keluar dari keterpurukan sejarah masa lalu guna menggapai masa depan yang gemilang.
*Penulis: Pustakawan TBM Pustaka Hasyim Asy’ari Yogyakarta.
Membaca dari memoar kecil NH Atmoko ini, sangat miris kita merasakannya. Sebuah fenomena tragis melanda negeri pertiwi ini. Betapa kejamnya dunia ini. Seonggokan manusia diperlakukan sebagaimana hewan piaraan. Mereka disuruh kerja keras tanpa harus mendapat bayaran. Jangankan bayaran, makan pun tidak diberikan. Sungguh, kekejaman ini telah menyayat dan mengakhiri hidup korban. Dunia sungguh kejam!!!
Kisah seperti itu sedikit mirip kita sebut dengan dongeng atau drama film kekejaman manusia. Tetapi bukan. Kisah seperti itu memang nyata. Di negeri kaya raya akan hasil alam, sejumlah manusia berseragam, menenteng senjata bedil, mereka menjadi pengemban nafsu angkara murka. Mereka bertindak semena-mena dengan melibatkan orang-orang kecil tak berdosa untuk dijadikan korbannya.
Buku bertajuk Banjir Darah di Kamp Konsentrasi karya NH Atmoko ini merupakan buku yang tergolong nyeleneh dari zamannya. Buku ini memang aneh dan unik. Penulis memulainya dari kisah duka yang dirasakan betapa pedihnya saat itu. Memoar kecil ini merupakan catatan sejarah duka-derita penulis berkaitan dengan Tragedi 1965. Sebuah mukjizat tersendiri, di tengah-tengah penderitaan yang mahadahsyat itu, penulis mampu bertahan hidup.
Tak hanya sebagai catatan pribadi, tetapi buku ini merupakan memoar sejarah kemanusiaan yang ditulis langsung oleh pelakunya. Sebagai penulis, NH Atmoko mengajak kita melihat/memahami sejarah perspektif kalangan bawah yang nyaris terabaikan. Memoar kisah-kisah diceritakan dengan gaya kepiawaiannya yang unik. Tak hanya itu, pengisahannya juga didasari oleh ketajaman daya ingat penulis.
Sebagai simbol tersendiri, penggambaran situasi/setting dibuat dengan sangat menyentuh rasa kemanusiaan pembaca. Bagaimana penulis menyimbolkan kecintaannya terhadap bangsa telah terlukis indah di dalam buku ini. Penulis mengisahkan memoarnya dengan gaya yang hampir sama persis dengan gaya pembacaan sejarah yang ditulis oleh Paul Thomson.
Paul Thomson, The Voice of The Past (2000), dalam teorinya ia mengemukakan bahwa dengan menyodorkan perspektif baru dari bawah, menggeser fokus kajian dan membuka wilayah pencarian yang baru, serta dengan menyuarakan narasi dari kalangan yang selama ini terabaikan, maka sebuah narasi sejarah telah melakukan transformasi. Berangkat dari sinilah penulis menarasikan memoarnya. Ini merupakan tawaran yang diberikan penulis untuk menganalisis sejarah perspektif kaum bawah.
Buku ini mempunyai daya tawar yang begitu luar biasa menariknya. Penarasian pengalaman pribadi dalam melihat periode sejarah tahun 1960-an yang penuh kekejaman dan semena-mena dilakukannya dengan sistematika yang sedemikian apik. Perspektif penulisan sejarah seperti ini jarang sekali dilakukan penulis lain. Bahkan, untuk kepentingan politik, penulisan sejarah dibombastis sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaan.
Kehadiran buku ini diharapkan mampu menjadikan transformasi pembacaan sejarah. Manusia tidak lagi hanya cukup dengan mengamini narasi sejarah versi kekuasaan. Mereka diharapkan lebih terdorong menarasikan dari perspektif lain yang berbeda, khususnya dari kalangan pelaku sejarah yang telah menjadi korban dan terpinggirkan.
Buku memoar ini mempunyai peran penting di era kontemporer sekarang. Mengembangkan memoar/catatan-catatan kecil dari orang yang terpinggirkan merupakan salah satu wujud dokumentasi sejarah. Betapa pun pahit-getirnya, dokumentasi sejarah mutlak diperlukan. Selain sebagai dokumentasi, memoar seperti ini merupakan bahan ajaran dari pengalaman masa lalu.
Sebab, baik disadari maupun tidak, masa lalu merupakan salah satu unsur yang tak bisa diabaikan, baik untuk perenungan masa kini maupun periode masa depan. Buku ini semakin membimbing kita untuk menjadi bangsa yang berperikemanusiaan, adil, dan beradab. Dengan membaca memoar sejarah ini, kita bisa membayangkan seolah-olah berada pada masa-masa mencekam yang penuh penderitaan itu.
Sudah sepatutnya, kehadiran buku memoar sejarah duka-derita NH Atmoko ini kita sambut dengan penuh antusias. Selain menggugah naluri watak kemanusiaan kita, buku ini juga mengajarkan kita untuk menjadi dewasa dan makin cerdas membangun masa depan yang cerah. Sebab, bangsa yang baik adalah bangsa yang paham tentang sejarah kehidupannya dan mencoba keluar dari keterpurukan sejarah masa lalu guna menggapai masa depan yang gemilang.
*Penulis: Pustakawan TBM Pustaka Hasyim Asy’ari Yogyakarta.
0 Response to "BANJIR DARAH DI KAMP KONSENTRASI (MENGINTIP KEBRUTALAN G30S/PKI)"
Posting Komentar