KETIKA IBU MATI

Pakaian sekitar 3 stel sudah kumasuki di koper ukuran sedang. Kereta api jam 5, aku akan berangkat ke Medan. Meeting bulanan. Ini sudah jam 4. Aku juga sudah mandi dan sudah dandan dikit lah biar rapi dan wangi. Tapi entah kenapa ada rasa gak enak.

BRAKKKKKKKKKKKK

Aku bergegas keluar kamar, menuju halaman belakang. Astaga, bunga Sri Rejeki yang subur makmur di pot besar ternyata jatuh. Suasana agak dingin. Aku membetulkan sekenanya. Hati-hati, takut pakaian yang sudah kupakai kotor. Kan mau ke Medan.

Kulirik jam tangan, masih ada 45 menit.

Aku mencuci tangan dan kembali ke kamar. Ini beberapa hal penting yang sudah ku print ke kertas folio kayanya ukurannya kegedean. Potong sedikit, karna format laporan di MS Word diketik ukuran Qwarto.

Aku mengambil cutter dan penggaris logam. Mulai memotong.

"ADUHHHH......" Aku berteriak kesakitan. Secuil daging di ibu jariku hilang terpotong. Darah mengucur deras sekali.

Tak berhenti. Aku masih tergedik membayangkannya saat menulis ini. Akhirnya dengan bubuk kopi halus, darah yang mengucur redah. Sakitnya bukan main. Ini sudha pasti ketinggalan kereta api. Yah sudah, aku pakai supir saja naik mobil ke Medan nanti malam. Yang penting ibu jariku dirawat dulu.

Darah juga memerciki kemejaku.

Hndphone ku bunyi. Lagu Iwan Fals.... Ribuan kilo.. jalan yang kau tempuh...

Dari abangku yang di Rantauprapat.

"Ya.... halo..."

"Halo kamu di mana?"

"Di rumah... Ada Apa?" aku merasa suara abangku tidak wajar. Ada nada teramat suram menahan tangis.

"Ibu sudah gak ada... kamu pulang sekarang juga ya... Pakai supir saja... Sempatkan ngabarin keluarga bapak yang Muslim di Air Joman"

Aku tak menjawab lama.... sakit di Ibu jariku hilang sesaat... "Iya...." akhirnya aku menjawab pelan.

Aku memutuskan hubungan. Menghempaskan pantatku di sofa yang ada di kamar. Terduduk sekitar 10 menit. Aku tak boleh panik. Air mataku sudah menetes tanpa suara tangis. Ibu meninggal.....

Aku menghidupkan HP, menghubung teman baikku yang kebetulan kerja sebagai penyiar radio, dan kadang kadang sering kuberi job nyupir relasi relasi perusahaan tempat aku kerja, Bang Iyan.

"Bang, lagi dimana?"

"Di rumah Vin.... Ada apa?"

"Bisa kesini sekarang, penting...."

"Bentar yah, aku mau ngantar istriku dulu...."

"Harus sekarang bang, ibuku meninggal, aku mau ngabarin keluarga di Air Joman, lalu tembak ke Rantauprapat. Aku takut gak konsen nyupir"

"Oh.... Ok Vin.... Aku kesana sekarang"

"Bilang maaf sama kak Lela ya...."

"Iya iya.... gak papa.... kamu yang tenang saja. 10 menit nyampe"

Begitulah, dengan ditemani bang Iyan, aku mengabari keluarga adik mendiang bapakku, di Air Joman. Sekitar 6 km dari Kisaran. Lalu langsung menuju Rantauprapat. Pakaian dalam koper itu tak jadi dibawa ke Medan, tetapi kutambahi beberapa helai lagi untuk dipakai di rantauprapat.

Sekitar jam 8 malam aku sampai.

Sampai di depan rumah. Pas jenasah ibu hampir dikeluarkan dari rumah untuk disemayamkan di rumah duka.

"Nah, ini anaknya yang bungus datang..." seru seorang kerabat keluarga.

"Hayo, kamu ikut angkat Mama... dari tadi ada saja halangannya, mungkin Mama nunggu kamu..."

Aku meendekat. Dipeluki kakak kakakku yang sudah saling bertangisan. Air mataku tak tertahankan. Dengan percikan air mata aku dan 5 orang abangku yang ada di sana, kami menggangkat badan ibu ke mobil sosial milik rumah duka.

Semalaman air mata jatuh. 12 bersaudara kami kumpul semua. Abangku yang di Surabaya dan mbak yang di Jakarta sampai pukul 5 pagi.

Tak ada kesedihan seumur hidupku yang sebanding dengan sakit di dada kelihialngan ibu. Sampai aku menulis ini, sudah 9 tahun berlalu. Bayangan ibu tidak menghilang. Malah semakin jelas bila aku sedang membayangkannya.

Setelah 7 hari peroses upacara menguburan dan pembacaan doa dan lain lain, aku pulang ke Rantauprapat. Bang Iyan datang lagi menjumput aku. Tak banyak bicara.

Sesampai di Kirasan, kudapati komputerku hardisknya jebol. Untung demo demo yang sudah kugarap banyak yang aku save di CD. Tapi banyak sekali file file yang tak tertolong. Entah kenapa.

Kata kakak iparku yang di Surabaya, adat orang Cina, foto mendinag yang baru meninggal, baru boleh dipajang setelah 41 hari. Aku membiarkan 3 fotoku bersama ibu menghiasi dinding kamarku.

Kehilangan ibu saat itu tak dapat kubendung rasanya. Akhirnya menjadi lagu yang kutulis langsung setelah aku sampai di Kisaran. Kuserahkan ke Kuyek Nadanya. Kuyek mencari chrodnya. Ekspres, hanya 2 hari musiknya sudah jadi.

Hari ke 3 aku mulai take vocal. Mendengarkan musik, menghapus air mata. Kata kata itu meluncur begitu saja dari bibirku...

Masih kuingat jelas, sebelum engkau pergi
kau beri aku nada, untuk lagu-lagumu....

Kau satu diantara bintang dalam langit malam
kau satu di antara doa, berbaring dalam damai....

Ini video yang kubuat untuk lagu itu:



Salam - Traktor Lubis  
Artikel Yang Berhubungan Badan:


5 Response to "KETIKA IBU MATI"

  1. Est says:

    ini kisah beneran? kapan?

    Traktor says:

    Tak ada kesedihan seumur hidupku yang sebanding dengan sakit di dada kelihialngan ibu. Sampai aku menulis ini, sudah 9 tahun berlalu. Bayangan ibu tidak menghilang. Malah semakin jelas bila aku sedang membayangkannya.

    hehehehe, kelewatan yak?

    Est says:

    nggak. itu wajar.

    Traktor says:

    maksudnya, alinea itu sudah ada di cerita di atas. apakah mbak Est kelewatan bacanya....?

    makanya tanya: ini kisah beneran? kapan?

    WAKAKAKAKAKAKAKA

    Est says:

    nggak. nggak kelewatan baca. cuma saya bercermin pada diri sendiri, tidak pernah menulis pengalaman pribadi di publik. Baik blog maupun fesbuk. Kalaupun ada, ditambah cerita ini dan itu sehingga kehidupan pribadinya nggak muncul semua. Orang bisa percaya semua kisah saya, atau orang bisa nggak percaya semua kisah saya. hehe...

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme