ERIANTO NAAS


Mengajar itu menyenangkan. Mendidik itu menggembirakan. Menyambut kepala kepala kecil yang siap untuk diisi dengan pengetahuan itu menggairahkan. Naas mereguk kopinya yang sudah hampir dingin. Menyambar tas kulit usang tempat silabus, RPP, alat tulis, dan tetek bengek lain untuk menyambut murid muridnya di sekolah.

“Mas berangkat ya..…” katanya pada istrinya.

“Hati hati yah mas…” istrinya tersenyum. Kecup sayang di pipi. Naas berangkat. Kedua anaknya masih tertidur pulas.

Sepeda motor butut, namun masih bisa menggas dengan lincah di belantara Jakarta yang panas. Selalu setiap hari. Jam 5.30 Naas sudah berangkat. Biar tidak terjebak macet, begitu selalu katanya.

Sampai di sekolah sekitar pukul 6.15 pagi.

“Pagi pak No….” katanya ceria pada Pak Sutrisno, Satpam yang setia membukakan gerbang, saat belum ada satupun guru lain yang datang.

“Pagi pak….” Jawab pak No.

Naas melanjutkan memarkirkan sepeda motornya. Lalu setelah mengunci helm dan jaketnya di bawah tempat duduk, dia melangkah ke kantornya. Meletakkan tasnya disana, lalu periksa periksa sejenak.

Sarapan…

“Makan apa mas….” Tanya bu Juminten kenes.

“Biasa saja mbak, nasi uduk pakai telor sambel deh….” Setelah melihat lihat menu yang sudah siap sedia.

Kantin itu persis di depan kantor tata usaha di dalam komplek sekolah.

“Pagi benar mas….” Sebuah sapaan hangat terasa di bahu Naas. Pak Siregar, guru Matematika sudah muncul.

“Eh, pagi pak Regar…. Makan hayoo..!” ajak Naas.

“Iya nih….” Regar duduk di sebelah Naas. Naas menggeser duduknya sedikit. “Saya lontong saja mbak….”

Kedua guru itu sarapan.

Lalu bubar. Anak anak mulai masuk satu persatu. Naas mempersiapkan bahan pengajaran. Geografi. Pas sekali dengan kejadian baru-baru ini. Memang sedang dalam bahasan Lempeng Geologis. Naas membayangkan menceritakan tentang Jepang yang baru dilanda gempa dasyat untuk menarik minat murid muridnya.

Bell tak berapa lama kemudian terdengar. SMP kelas I. Lantai 2. Naas bersyukur mengajar di sekolah yang nyaman ini. Sebuah sekolah yayasan yang lumayan solid. Dari TK sampai SMA di satu komplek.

Nyaman, karena setiap kelas dilengkapi AC. Namun jeleknya, sering bikin ngantuk kalau sudah mulai siang.

“Sudah kumpul semua?” tanya Naas begitu sudah duduk di kursi guru di kelas.

“Sudah pak, tapi Linda masih di kantor BP…” jawab Adam, ketua kelas.

“Ok, baiklah kita mulai ya…”

Kelas lalu melakukan penghomatan kepada guru yang siap mengajar. Naas menyambut dengan ‘Selamat pagi”

“Coba buka buku Geografi kalian halaman 34 tentang Lempeng Benua” perintah Naas.
Tanpa suara, semua murid melakukan yang diperintahkan. Naas mulai berkeliling. Mengawasi satu persatu murid muridnya.

“Ada yang tahu bagaimana terjadinya gempa di Jepang?” pancingan kecil.
Beberapa tangan terangkat ke atas.

“Yak…. Coba Indah…”

“Emm… Gempa Jepang terjadi karena lentingan lempeng benua yang saling mendorong!” jawab Indah tegas.

“Benar sekali… Sekilas di minggu lalu kita sudah membahas tentang peristiwa peristiwa Geologis… sekarang, coba Anto baca halaman 24….”

Tiba tiba terjadi kasak kusuk di kelas….

Naas melihat ke seluruh kelas, mencari sumber kasak kusuk. Dia tak menemukan ada yang aneh.

“Ada apa?..” tanyanya heran.

“Enggg…. Ada yang kentut pak…. Bau banget!” kata Joko sebel di ujung kelas yang lain.

“Ha….. “ Naas kembali ke kursinya.

Saat itulah, ternyata wangi dari surga itu sudah memencar ke seluruh kelas. Benar sangat tidak enak baunya. Dia bangkit menuju pintu. Membuka pintu.

“Adam, buka semua jendela!” perintahnya keras.

Naas keluar kelas. Bukan main. Dia memikirkan apa yang harus dilakukan untuk memberikan peringatan pada anak anak ini.

Bau kentut ini benar-benar menyiksa hidungnya.Kemarahan sudah berkumpul di rongga dada. Naas pun bersiap diri untuk marah.

“Siapa di antara kalian yang kentut? Ayo Ngaku!”, Marahnya sudah terasa ke ubun-ubun.

Tapi tentu saja tak ada yang mau ngaku. Yah begitulah memang kentut. Baunya kemana mana tapi sumbernya tak pernah jelas. Naas melangkah masuk begitu hidungnya mengatakan bahwa bau kentut di kelas ber AC itu sudah tidak begitu parah.

“Baiklah, kalau kalian tidak ada yang mau ngaku. Sepertinya bapak harus mengajari sedikit tentang korsa…” Naas berusaha membuat seisi kelas penasaran. Namun yang ada adalah kelas ketakutan.

“Nah… semuanya berdiri. Kita lanjutkan pelajaran 30 menit lagi dengan kalian berdiri semua. Itu yang dinamakan dengan korsa. Tidak ada satupun dari kalian yang boleh makan tulang punggung kawan!”

Kelas masih diam…. Palingan ada keluhan, “Wihhh pak….. wihhh pak….”

Naas tak menghiraukan, “Nah, Fendi, kamu baca kelanjutan yang tadi…”

Fendy membaca dengan janggal, karena harus berdiri. Berhenti ketika Naas mengisyaratkan berhenti.

“Masih tak ada yang mau mengaku?…. Apa kalian tega, salah satu diantara kalian yang berbuat, seisi kelas kena hukum?”

“Dimana perasaan kebersamaan kalian? Bapak tidak akan menghukum kalau ada yang berani mengaku….!” Pancingan Naas agaknya berhasil.

Dia tatap satu persatu murid-muridnya, dan pandanganpun tertuju kepada salah seorang muridnya yang tambun. Badannya gempal penuh lemak. Mungin beratnya sudah lebih dari 105 kg.

“Saya pak! Tadi saya gak sengaja kentut pak. Tadinya saya mau tahan, tapi lolos juga pak”, Amir mengaku, dan seluruh murid di kelaspun gaduh.

“Sudah sudah… tak perlu ribut! Amir kemari nak…” panggilnya. Amir yang dipanggil ke depan sudah menggerut ketakutan.

“Kamu mengaku bersalah?”

“Iya pak…”

“Seharusnya apa yang kamu lakukan?”

Diam tak bersuara.

“Seharusnya kamu tadi permisi kepada bapak…. Pak, permisi mau ke toilet sebentar… sebelum kentutnya keluar…” Naas tak kuasa menahan senyum…. Amir seperti tercerahkan. Seisi kelas cekikikan ketika mendengar ‘kentut.

“Iya ya pak… tapi saya malu pak….” Kata Amir mulai berani cengengesan.

“Kenapa mesti malu, kamu bisa tidak usah mengucapkan ‘kentut’-nya kan…. Bapak juga tidak akan tanya. Saya rasa guru guru lain juga tidak akan tanya lagi kalau ada murid yang permisi mau ke kamar keci. Ini sekaligus pembelajaran pada seisi kelas yah… Ingat kalau ada kejadian yang sama seperti ini. Salah satu dari kalian. Permisi pada guru begitu ada tanda tanda, jangan ambil risiko keluar sendiri… okey…” Naas melanjutkan, “Sudah, Amir kamu duduk lagi…”

“Oke, karena Amir sudah mengaku, maka kita lanjutkan pelajaran Geografi ini. Biarkan kentut berlalu, dan pelajaran ini harus diteruskan”, Naas berhasil menenangkan murid di kelasnya. tanpa terasa bell pun berbunyi. Pergantian pelajaranpun terjadi.

Naas kembali ke ruang guru. Berkumpul bersama guru lainnya. Satu jam pelajaran kosong. Dia masih menunggu giliran untuk masuk mengajar di kelas berikutnya. Dia ambil buku novel yang ada di meja kerjanya.

“Lagi apa pak Naas?”, Bu Frita menepuk bahunya, dan bertanya kepadanya.
“Lagi nunggu mau masuk lagi ntar abis ini”, Naas berdiri dan menyodorkan novelnya kepada rekan kerjanya ibu Frita. Guru Bahasa Indonesia.

“Wah, kelihaannya bagus novelnya pak, nanti saya pinjam ya!, “katanya sambil melihat cover depan dan belakang buku novel itu. Dia pun membaca daftar isi dan siapa pengarangnya.

“Boleh bu! nanti kalau sudah selesai saya baca akan saya pinjamkan ke ibu, ” Naas pun melanjutkan mengambil kembali buku novel itu dari ibu Frita.

“Btw, Pak Naas, tadi di kelas bapak saya lihat bapak sampai keluar kelas ada apa?” tanya bu Frita penuh selidik.

“Eh… Ibu lihat ya?”

“Kebetulan saya masuk di kelas sebelah tadi pak…”

“Oh… hahahahaha tadi itu juga konyol banget bu. Kasus kentut… hihihihi” Naas tak kuasa menahan tawa lagi.

Sebenarnya kejadian tadi lucu. Tapi itulah guru, harus bisa menjaga wibawa walau tanpa harus dipaksakan berwibawa.

“He….? Apaain sih pak….” Bu Frita kaget dan penasaran…

“Ada deh….” Naas tersenyum penuh arti.




Salam - Traktor Lubis  
Artikel Yang Berhubungan Badan:


1 Response to "ERIANTO NAAS"

  1. Est says:

    hihihihi...

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme