Agama Buddha Juga Tradisi!


Saya sebagai Buddhis, dari kecil diajarkan dengan cara cara Khong Hu Cu. Misalnya dalam hal memberikan persembahan kepala langit. Dewa Yama kalau tidak salah. Persembahan itu dilakukan jamak oleh warga keturunan China.

Setiap penanggalan bulan 1 dan 15. Bulan surut dan bulan purnama. Orang orang Khong Hu Cu akan memberikan persembahan kepada Langit. Thien, begitu....

Nah, saya menghayati ini. Persembahan setiap 2 minggu sekali itu membutuhkan pengorbanan materi. Saya harus menyiapkan kertas sembahyang. Lilin, teh dan dupa. Kadang kalau rasa religius saya lagi kambuh, saya bakar kemenyan wangi yang sekarang banyak dipakai orang untuk aroma therapi.

Suatu hari datang teman sekolah saya. Dia pengurus Vihara Buddha. Sudah jamak anggapan bahwa praktek-praktek Khong Hu Cu itu adalah sebuah tradisi orang orang China, yang tak ada hubungannnya dengan agama Buddha.

Saya sebagai Buddhis yang juga tidak lepas dari Tri Dharma (Buddha, Khong Hu Cu dan Taoisme) tentu saja diam saja. Karena saya sedang melakukan upacara persembahan kepada Thien/Langit.

Setelah selesai sembahyang, saya duduk ngopi dengan dia, sambil menikmati semilir angin gunung dan aroma dupa wangi yang memenuhi ruangan....

"Mas Trak.... anda tahu kan upacara kaya gini hanya tradisi?" katanya sopan.

"Betul mas.... upacara tadi hanya tradisi. Tapi kalau anda jeli. Upacara upacara yang kita lakukan di Vihara Buddha juga semua tradisi. Entah siapa yang memulai, ada pembacaan ayat Mahayana bahasa Mandarin malam Jumat. Dan ada kebaktian minggu pagi untuk anak-anak, minggu malam untuk remaja dan dewasa dengan kebaktian berbahasa Pali (India - Nepal)..."

"Loh.... tapi itu beda mas... Kebaktian dan Niam Kheng (baca ayat) itu kan semuanya teks Buddha...."

"Menurut saya, teks-teks sutra Buddha bukan untuk dihapal dan dibaca-baca saja. Apakah pembaca ayat ayat berbahasa Mandarin dan Pali itu ngerti arti ayat ayat suci yang mereka baca.... Kalau mengerti, kebaktian itu tidak akan ada..."

"Mengapa mas ngomong begitu?"

"Iya... karena teks teks itu justru mengajarkan manusia dan mahluk apa saja yang membaca teks itu untuk mawas diri dan berlatih.... Jadi itu semua tradisi. Seperti kebaktian Minggu pagi dan Minggu malam untuk muda mudi yang anak anak dan remaja menuju dewasa..." Saya ngambil nafas dulu... hidung saya mulai berasap, "Saya melihat hal tersebut sebagai bagian dari nyontek Sekolah Minggu yang dilakukan umat Kristen, di negara mana ada Sekolah Minggu Buddhis...? Saya rasa hanya di Indonesia, untuk kepentingan sekolah...."

Dia mukanya memerah api tetap manggut-manggut...

"Kasus ini sama dengan pada awal Buddha Jayanti (Buddha berjaya kembali di bumi Nusantara) tahun 70an kalo tidak salah. Saat Banthe (sebutan Bhikku) Shin mengutip penjelasan tentang Nibbana, - Oh para bhikku.... ada suatu yang tidak terlahir, tidak mati, tidak berawal dan tidak berakhir.... dsb dsb, kutipan syair tersebut dijadikan penjelasan Buddha mengenai Tuhan Yang Maha Esa sebagai syarat agar agama Buddha bisa resmi berkembang di Indonesia Modern ini...."

"Tungggu... saya belum selesai. Kemudian banthe Shin juga mengambil kutipan dari kitab yang sebenarnya ditulis oleh orang Hindu, Shanghyang Kahamanikam, kitab ini ditulis oleh mpe Sindok, yang memindahkan kerajaan Mataram kuno ke Jawa Timur, karena letusan gunung Merapi.... Nah, di kitab tersebut ada satu kalimat, Shangyang Adi Buddha. Dalam agama Hindu, Sanghyang itu memang merujuk ke pengertian Tuhan, sementara Adi Buddha adalah, Satu Buddha..."

"Nah.... tidak ada yang salah kan..." kata teman saya.

"Betul tidak ada yang salah atau benar... kita membahasnya netral saja. Tapi anda tahu, di manapun tidak ada yang namanya Shangyang Adi Buddha. Itu kan hanya propaganda Mpu Sindok atas banyaknya penganut Buddha yang bercampur baur dengan penganut Hindu di kalangan rakyat Mataram di pulau Jawa saat itu..."

"Dengan kata lain, tujuan politis mpu Sindok adalah, bila dalam Hindu ada Sanghyang Siwa... maka, dalam Buddha disebutlah Shanghyang Adi Buddha. Bahkan pujian ini kemudian dimasukkan dalam revisi awal paritta (ayat ayat) Vandana.... Yang ditambahkan di awal, 'namo Shangyang Adi Buddhaya....'"

"Tujuannya agar agama Buddha bisa mendapat pengakuan sebagai agama resmi di NKRI yang berdasarkan Pancasila.... Walau kata Pancasila itu diambil dari istilah Pancasila Buddhis, tapi ironisnya.... di Buddhis sendiri akan bermasalah dengan sila pertama Pancasila RI, Ketuhanan Yang Maha Esa..."

"Bukankah itu bagus....?" kata teman saya.

"Untuk keperluan umat banyak, itu bagus sekali. Sejak agama Buddha dijadikan agama resmi di Indonesia, terutama dari daerah Jawa Tengah. Di sekitar Muntilan, dan daerah daerah yang dulunya memang penuh dengan umat Buddha, mulai bermunculan penganut agama yang mengaku beragama Buddha. Orang orang Jawa yang sebelumnya ber KTP Islam karena tidak ada agama Buddha di Indonesia, secara sadar ganti agama di KTP mereka"

"Kalau anda lihat, guru-guru agama kita di kota ini... dari pak Swidy, ibu Sri Hartati, pak Miskam, bahkan Pak Muslim hehehehe.... mereka dulunya Islam di KTP. Walau sebenarnya menjalankan praktek praktek Buddha yang tersembunyi dibalik Kejawen"

"Oh... gitu ya..."

"Yah.... balik lagi ke tradisi... pernahkan Sidharta Gautaama mengajarkan kit auntuk melakukan kebaktian di hari Minggu? Atau melakukan upacara keagamaan tertentu di hari hari tertentu... Bahkan pada Waisak sekalipun!..."

"Wah.... kalo itu harus dicari catatan catatannya dulu...." kata teman saya tidak yakin.

"Tidak usah dicari. Ingat saja apa yang disabdakan Buddha. Bahwa upacara agama apapun tidak dapat menghapus karma buruk! Persembahan persembahan kepada dewa-dewa atau mahluk apa saja adalah perbuatan yang sia-sia.... Jadi Sidharta Gautama justru menyuruh pengikutnya untuk tidak percaya hal hal seperti itu.... Sembahyang, kebaktian dan lain sebagainya....."

"Lah... jadi mengapa kamu melakukan upacara barusan? Pai Thi Khong?....."

"Karna itu tradisi Khong Hu Cu yang sudah mendarah daging di tubuh dan jiwa saya.... Dan itu baik, dengan adanya upacara yang makan biaya itu, saya harus menyisihkan uang entah berapa tiap 2 minggu agar bisa sembahyang. Ini memacu saya untuk cari uang lebih banyak lagi. Ingat, Khong Hu Cu lebih banyak bermain dalam wilayah orang orang hidup.... Tidak seperti Buddhisme yang lebih ke psikologi pemahaman pikiran...."

"Bukankah uang tersebut lebih bermanfaat bila disumbangkan ke fakir miskin?"

"Tepat sekali.... tapi menurut pemikiran saya, jangan uang yang kau sumbangkan untuk fakir miskin berasal dari uang yang sebelumnya ingin kau pakai untuk sembahyang. Itu namanya tidak iklas. Sembahyang dan dana tak perlu pakai kalkulator. Uang yang ini harusnya disini.... uang yang itu harusnya disitu.... mas punya nurani, saya juga.... ikuti nurani itu, maka kita bisa dengan tidak terduga jago sekali membagi bagi pendapatan kita. Sekian persen untuk istri, sekian persen untuk hobi, sekian persen untuk masa depan anak, sekian persen untuk orang tua, sekian persen untuk derma... sekian persen untuk happy happy.... TANPA KALKULATOR"

"Hmmmmm.... dengan tidak memikirkannya justru baru itu namanya ikhlas ya...." teman saya menyeruput kopi dan mulai manggut-manggut...

"Nah.... kalau kebaktian minggu pagi dan minggu malam, hanya agar dapat cap dari Vihara di buku catatan Kebaktian Agama di sekolah. Lebih baik mas sebagai pengurus Vihara cetak stempel banyak banyak. Untuk apa punya umat Buddha membludak, kalau ke Viharanya terpaksa... Ini akan jadi beban psikologis. Nanti setelah mereka kuliah, ikutan teman masuk Gereja, menemukan kebaktian di Gereja lebih asik... banyak cewek, bisa nyanyi nyanyi... suaranya bagus bagus lagi... Akan pindah agama. Anda ingat pak Junior?"

"Junior...? Yang dulu adik kelas kita?"

"Iya.... si Junior yang suka tampil di TVRI Medan itu....."

"Oh iya ingat...."

"Nah, sekarnag dia sudah menjadi Kristen, saya tidak tahu Katolik atau Protestan..."

"Loh.... bukannya dulu itu anak rajin sekali kebaktian, ikut acara vihara dan lain-lain?"

"Iya... tapi saya tidak kaget. Satu keluarganya Kristen semua, hanya dia yang Buddhis. Dapat pacara juga Kristen. Saya rasa bagus sekali seorang Kristen yang punya dasar pemikiran Buddha. Setidaknya kita akan punya saudara Kristen yang akan melarang atau melerai teman-temannya saat mencaci maki kita sebagai penyembah berhala..... hahahahahaha.... Kalau ketemu dia dia bilang begitu ke padaku, PENYEMBAH BERHALA! Akan kubakar salib di depan matanya.... hihihihihi"

Lalu kami berdua menghabiskan kopi.....

Artikel Yang Berhubungan Badan:


0 Response to "Agama Buddha Juga Tradisi!"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme