Beyond Belief Bab 6 - Ajaran Sang Buddha – Alternatif yang Masuk Akal [Khusus Buddhis, Non Buddhis Jangan Baca!]






BAB VI
Ajaran Sang Buddha – Alternatif yang Masuk Akal

Kalau kamu tidak mempunyai guru yang bisa menjelaskan ajarannya dengan memuaskan, maka ambillah Dhamma yang pasti ini dan amalkanlah. Dengan  kepastian Dhamma, dan dengan pengamalan yang benar, adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.


Sang Buddha

Agama Kristiani didasarkan kepada beberapa kejadian sejarah yang dianggap terjadi (perawan yang melahirkan anak, kebangkitan dari mati, dan lain-lain), satu-satunya catatan terhadapnya adalah Alkitab yang dianggap benar pula. Jika kejadian-kejadian tersebut bisa dibuktikan tidak pernah terjadi, dan jika dokumen-dokumen yang merekam kejadian tersebut bisa terbukti untuk tidak bisa dipercaya, maka Agama Kristiani akan jatuh. Di dalam buku ini, telah kita lihat bahwa klaim-klaim yang dibuat, dalam segi terbaiknya sangatlah meragukan, dan dalam segi terburuknya adalah telah terbukti salah.

Ketika kita mengamati ajaran-ajaran Sang Buddha, kita menemukan suatu keadaan yang berbeda secara keseluruhan. Bahkan kalau pun kita bisa membuktikan bahwa Buddha itu tidak pernah ada ataupun adanya kesalahankesalahan dalam tulisan-tulisan Buddhis, kesalahan tersebut tidaklah meruntuhkan ajaran Sang Buddha. Mengapa? Karena ajaran Sang Buddha tidaklah sekedar sejarah Sang Buddha ataupun kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu; melainkan Buddhisme itu adalah mengenai penderitaan manusia, penyebab-penyebab penderitaan, dan bagaimana penderitaan itu dapat diatasi sehingga manusia bisa menjadi terbebas, bahagia dan memancarkan
kebebasan dan kebahagiaan itu. Kalau kita ingin tahu atau membuktikan kebenaran atau mengerti ajaran Buddhisme, kita tidak mengutip ataupun mencarinya di dalam tulisan-tulisan kuno dan saling bertengkar tentang arti dari kata-kata atau potongan kalimat; melainkan kita menghubungkan ajaran tersebut dengan pengalaman kita sendiri. Marilah kita teliti keempat prinsip yang menjadi pokok ajaran Sang Buddha.


1. Setelah kita mati kita dilahirkan kembali

Orang-orang Kristen percaya bahwa ketika orang meninggal mereka hanya mempunyai salah satu dari dua takdir terakhir - surga atau neraka. Mereka percaya bahwa kedua takdir tersebut sifatnya abadi dan orang pergi ke salah satu takdir itu menurut pengadilan Allah Bapa.

Buddhisme mengajarkan bahwa ketika orang meninggal, mereka bisa mempunyai berbagai macam tujuan (surga, neraka, sebagai manusia kembali, sebagai binatang, dan sebagainya). Buddhisme mengajarkan bahwa tidak satu pun dari tujuan itu bersifat abadi. Dengan selesainya kehidupan di salah satu alam, berlanjutlah kehidupan itu ke alam yang lain (atau alam yang sama).

Buddhisme juga mengajarkan bahwa tujuan dari seseorang itu di syaratkan oleh kamma dari orang itu (persisnya: jumlah dari semua kebaikan dan kesalahan  yang orang tersebut lakukan semasa hidupnya). Ini berarti bahwa semua orang baik, tanpa peduli apapun agamanya, akan mendapatkan nasib yang baik. Ini juga berarti bahwa meskipun ada yang melakukan kesalahan ataupun kejahatan akan mempunyai kesempatan untuk menjadi baik lagi di kehidupan selanjutnya.

Orang-orang Kristen mentertawakan pendapat tentang kelahiran kembali dan mengatakan tidak ada bukti yang kuat terhadap kelahiran kembali. Tetapi  pendapat tentang kelahiran kembali ini tidaklah begitu berbeda dengan pendapat orang Kristen tentang kehidupan sesudah kematian - kalau setelah orang meninggal bisa menjadi malaikat di surga, mengapa mereka tidak bisa menjadi manusia di bumi? Dan dalam hal pembuktian, secara jelas tidak ada bukti tentang teori kehidupan sesudah kematian yang dianut oleh orang Kristen. Sedangkan ada beberapa pembuktian bahwa orang bisa dilahirkan kembali (Baca Twenty Cases Suggestive of Reincarnation, University Press of Virginia, Charlotteville USA, 1975)

Catatan dari Penerjemah: Saya secara kebetulan juga mengetahui dan telah membaca sebuah buku tentang reinkarnasi (kelahiran kembali) yang berjudul "Reincarnation: The Boy Lama". Saya juga pernah mendengar bahwa buku tersebut pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di akhir 1980 atau di awal 1990 yang judulnya lebih kurang sama dengan judul aslinya dalam bahasa Inggris. Sebagai petunjuk, bocah yang menjadi lama di Tibet ini bernama Osel yang dilahirkan dari keluarga Mexico atau keturunan Spanyol.


2. Hidup adalah penderitaan

Prinsip berikutnya yang menjadi dasar Buddhisme adalah pendapat bahwa hidup ini adalah penderitaan. Meskipun orang-orang Kristen menuduh orang-orang Buddhis sebagai orang yang pesimis setelah mengucapkan pendapat tersebut, ketidakpuasan yang diwarisi oleh hidup ini sebenarnya dibenarkan oleh Alkitab:

"Semuanya itu Ku-katakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia." (Yohanes 16:33) (Ayub 5:7; Pengkhotbah 1:8; Yesaya 24:4). Tetapi sementara kedua agama setuju dengan ide penderitaan ini, kedua agama tidak setuju terhadap mengapa penderitaan itu ada.

Catatan dari Penerjemah: Orang-orang Kristen yang mempunyai pemikiran yang kritis akan menanyakan,"Mengapa kalian menyalahkan isi Alkitab, lalu setelah menyalahkan malah sekarang memakai isi Alkitab untuk melindungi diri kalian sendiri?" Pemakaian ayat-ayat Alkitab di atas bukanlah berarti setelah kita menyalahkan Alkitab, lalu memakainya kembali untuk melindungi diri kita sendiri.

Perlu diketahui bahwa pemakaian isi Alkitab di dalam buku ini adalah untuk  menunjukkan adanya kesalahan dan ketidaksempurnaan Alkitab, menyangkal Alkitab itu firman dari Allah, bukan wahyu Allah ataupun ilham ataupun kesaksian yang bisa dipercaya. Tidak pernah sekalipun di dalam buku ini sang pengarang dan kita mengatakan bahwa isi Alkitab salah semua. Secara terbuka sang pengarang memuji beberapa ajaran Kristen yang mulia (yang banyak dari ajaran itu tercantum di Alkitab), yang telah membuat beliau menjadi umat Buddha yang lebih taat.

Orang-orang Kristen bergantung kepada mitos yang yang menjelaskan asal mula kejahatan dan penderitaan sebagai akibat dari Adam dan Hawa yang telah memakan apel. Catatan dari Penerjemah: buah terlarang, buah pengetahuan. Buddhisme melihat penderitaan itu sebagai kejadian psikologi yang mempunyai sebab psikologis - kemauan, ketergantungan, dan nafsu. Dan pengalaman kita sendiri menjelaskan bahwa memang benar begitu. Ketika kita menginginkan sesuatu dan tidak bisa mendapatkannya, kita akan merasa kecewa, dan semakin kuat keinginan itu, semakin kuat juga kekecewaan itu.

Bahkan kalaupun kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, kita akan menjadi bosan dan mulai untuk menginginkan hal yang lain. Bahkan penderitaan badan disebabkan oleh ketergantungan, karena ketergantungan yang kuat untuk hidup membuat kita dilahirkan kembali dan ketika kita dilahirkan kembali kita bisa menderita sakit, kecelakaan, menjadi tua, terpisah dari orang-orang yang kita kasihi, dan lain-lain.

Buddhisme mengajarkan bahkan kebahagiaan di surga tidaklah abadi dan tidaklah sempurna, kenyataan yang disetujui oleh Alkitab. Alkitab memberitahu kita bahwa Setan dulunya adalah salah satu malaikat di surga, tetapi dia memberontak melawan Tuhan (yang berarti: Setan tidak puas) dan dibuang dari surga (yang berarti: keberadaan di surga tidaklah abadi). Kalau pernah berada di surga sekali dan bisa terjatuh dari kehidupan di surga, ini membuktikan bahwa surga tidaklah sempurna dan tidaklah abadi, yang mana orang Kristen mengklaim sebaliknya. (Baca: Yesaya 14:12-15, 2 Petrus 2:4, Yudea 6, Wahyu 12:9)



3. Penderitaan bisa diatasi

Prinsip ketiga yang menjadi dasar Buddhisme adalah pendapat bahwa adalah mungkin untuk terbebas dari penderitaan. Ketika ketergantungan dan keinginan berhenti, kehidupan seseorang menjadi lebih sederhana dan bahagia, dan setelah meninggal, ia tidak akan terlahir kembali. Keadaan yang terbebas sepenuhnya dari penderitaan di sebut Nibbana dan digambarkan oleh Sang Buddha sebagai "Kebahagiaan Tertinggi" (Dhammapada 203).

"Rasa lapar adalah penyakit yang paling berat, Lima Kandha (yang terdiri dari jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk mental, dan kesadaran - manusia sesungguhnya hanyalah komposisi dari lima kelompok kehidupan ini) adalah keburukan yang paling parah; (dengan) menyadari kenyataan ini, orang bijaksana mencapai Nibbana, Kebahagiaan Tertinggi." (Dhammapada 203)

Catatan dari Penerjemah: Pengartiannya adalah manusia adalah terdiri dari lima kelompok kehidupan yang disebut di atas - Lima Kandha. Unsur-unsur itulah yang harus kita hilangkan supaya terlepas dari roda kehidupan (penderitaan). Itulah sebabnya dikatakan Lima Kandha adalah keburukan yang paling parah karena bisa lapar (memunculkan keinginan, ketergantungan, dan nafsu - penderitaan). Dengan hilangnya Lima Kandha, kita bisa terbebas dari keburukan yang paling parah penyebab kehidupan kembali (penderitaan), dan mencapai Nibbana.

Orang Kristen sering salah mengartikan, bahwa Nibbana adalah kehampaan yang kosong dan menuduh ajaran Buddha itu penuh dengan kehampaan. Kesalahpahaman ini muncul karena ketidakmampuan mereka untuk memahami kehidupan sesudah kematian yang lebih halus daripada surga yang mereka percaya yang "ada di atas sana" (Psalms 14:2, 53:2) dengan pintu-pintu dan jendela-jendela (Kejadian 28:17, Wahyu 4:1, 2 Raja-Raja 7:2, Malaekhi 3:10), tempat Allah Bapa duduk di singgasana (Wahyu 4:2) dikelilingi oleh orang-orang Kristen berbusana indah dengan mahkota tiara (bercabang tiga) bermain trompet (Wahyu 4:4). Sang Buddha secara pasti mengatakan bahwa Nibbana itu tidaklah hampa.

Ketika seseorang telah membebaskan pikiran, para dewa tidak bisa melacaknya, meskipun mereka berpikir: "Ini adalah kesadaran yang melekat kepada Sang Kesunyataan (Buddha)." Dan mengapa? Karena Sang Kesunyataan tidaklah dapat dilacak. Meskipun saya mengatakan hal ini, ada beberapa pertapa dan guru-guru agama yang telah menyajikan (ajaran) Saya dengan salah, yang secara tidak sesuai kenyataan, berkata: "Sang Bhikkhu Gautama (Buddha) adalah seorang yang penuh kehampaan karena Dia mengajarkan pembuangan, penghancuran, dan kehilangan dari sebuah kesatuan yang ada." Tetapi ini tentulah tidak Saya ucapkan. Baik sekarang dan di masa lalu, Saya hanya mengajarkan penderitaan dan cara-cara mengatasi penderitaan. (Majjhima Nikaya, Sutta No.22)

"When one has freed the mind, the gods cannot trace him, even though they think: "This is consciousness attached to the enlightened one (Buddha)." And why? It is because the enlightened one is untraceable. Although I say this, there are some recluses and religious teachers who misrepresent me falsely, contrary to fact, saying:"The monk Gotama (Buddha) is a nihilist because he teaches the cutting off, the destruction, the disappearance of the existing entity." But this is exactly what I do not say. Both now and in the past, I simply teach suffering and the overcoming of suffering." - Majjhima Nikaya, Sutta No.22

Tetapi Beliau juga mengatakan bahwa Nibbana bukanlah "kehidupan abadi" yang mentah dan sederhana. Nibbana tidaklah seperti yang dilukiskan oleh Kristiani. Nibbana adalah suatu keadaan yang sama sekali murni dan bahagia yang tidak ada satupun bahasa umum yang bisa jelaskan secara tepat. Orang-orang Kristen kadang mengatakan bahwa Buddhisme bertentangan dengan dirinya sendiri karena dalam keinginan untuk mencapai*) Nibbana, seseorang telah memperkuat keinginan.


Catatan dari Penerjemah: salah satu dari hasil Lima Kandha - yang lainnya adalah ketergantungan, dan nafsu yang dapat mencegah orang itu untuk mencapainya. Pendapat ini dibawakan pada saat Buddha masih hidup, dan dijawab oleh salah seorang murid utama Beliau, Ananda.

Catatan dari Penerjemah: *) - kata "mencapai" tidaklah mengartikan bahwa Nibbana adalah suatu tempat. Kata-kata seperti "jalan menuju Nibbana" sering dipakai untuk menggambarkan ajaran Sang Buddha yang telah ditemukan oleh Sang Buddha, dan diajarkan kepada - juga bisa dicapai oleh, para murid-murid Dhamma. Catatan ini ada untuk menghindari adanya kesalahpahaman bahwa ajaran Sang Buddha berisi banyak pertentangan. Perlu kiranya ditekankan sekali lagi bahwa Nibbana tidak dapat dijelaskan melalui kata-kata umum. Penggunaan kata "mencapai" "tujuan" "jalan menuju" "kebahagiaan tertinggi" hanyalah untuk penjelasan yang seiring dengan konsep Nibbana yang disampaikan oleh Sang Buddha.

Seorang Imam menanyakan Yang Mulia Ananda: "Apa tujuan dari kehidupan suci di bawah bhikkhu Gautama?" - "Tujuannya adalah untuk melepaskan nafsu." - "Adakah caranya, latihan yang mana bisa melepaskan nafsu?" - "Ada caranya, yaitu dengan usaha kekuatan batin dari keinginan, energi, pikiran dan perenungan yang bersama-sama dengan konsentrasi (pemusatan pikiran) dan usaha." - "Kalau begitu adanya, Yang Mulia Ananda, lalu ini sama saja dengan usaha yang tiada akhirnya. Karena untuk melepaskan satu nafsu untuk dengan menggunakan nafsu yang lain adalah tidak mungkin." - "Lalu saya akan bertanya kepadamu sebuah pertanyaan; jawablah sesukamu. Sebelumnya, apakah kamu mempunyai nafsu (keinginan), energi, pikiran dan perenungan untuk datang ke taman ini? Dan setelah tiba, hilangkah keinginan, energi, pikiran dan renungan yang kau bawa itu?" - "Ya, semuanya itu hilang." -"Kalau begitu, seseorang yang telah menghancurkan kekotoran batin, setelah dia mencapai pencerahan sempurna, keinginan itu, energi itu, pikiran itu, renungan yang dia miliki untuk mencapai pencerahan sempurna sekarang telah sirna." (Samyutta Nikaya, Book Seven, Sutta No.15)

"A priest asked Venerable Ananda: "What is the aim of living the holy life under the monk Gotama?" - "It is for the sake of abnadoning desire." - "Is there a way, a practice by whice to abandon this desire?" - "There is a way - it is by means of the psychic powers of desire, energy, thought, and consideration together with concentration and effort." - "If that is so, Venerable Ananda, then it is a task without end. Because to get rid of one desire by means of another is impossible." - "Then I will ask you a question; answer as you like. Before, did you have the desire, the energy, the thought and consideration to come to this park? And having arrived, did not that desire, that energy, that thought and that consideration cease?" - "Yes, it did." - "Well, for one who has destroyed the defilements, once he ahs won enlightenment, that desire, that energy, that thought and that consideration he had for enlightenment has now ceased." - Samyutta Nikaya, Book Seven, Sutta No.15)


4. Ada cara untuk mengatasi penderitaan

Prinsip terakhir yang menjadi dasar ajaran agama Buddha mengajarkan kita bagaimana caranya untuk menghilangkan ketergantungan, yang kemudian terbebas dari penderitaan di dalam hidup ini dan di masa yang akan datang. Ketiga prinsip pertama adalah bagaimana cara pandang orang Buddhis terhadap dunia dan kesulitan manusia, sedangkan prinsip terakhir ini adalah tentang apa yang umat Buddhis putuskan untuk mengatasi kesulitan tersebut. Dan jawaban Buddhis terhadap penderitaan adalah untuk menjalankan Delapan Jalan Mulia (Kebenaran). Sistem yang sangat bisa diterapkan dan berlaku secara universal ini terdiri dari pengembangan Pengertian Benar, Pikiran Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Kesadaran Benar, Konsentrasi Benar. Kita akan melihat secara singkat masing-masing dari jalan
tersebut.



Pengertian Benar

Kalau kita bertahan untuk percaya bahwa kejahatan (dosa) dan penderitaan adalah disebabkan oleh sesuatu yang Adam dan Hawa lakukan, atau bahwa kejahatan (dosa) dan penderitaan disebabkan oleh Iblis, kita tidak akan pernah bisa mengatasinya. Ketika kita mengerti bahwa kitalah yang menyebabkan penderitaan kita sendiri melalui kebodohan dan ketergantungan (kemelekatan), kita telah mengambil langkah pertama untuk mengatasi penderitaan itu. Mengetahui penyebab utama dari sebuah masalah adalah awal dari usaha mengatasi masalah itu. Dan adalah tidak cukup untuk hanya percaya - kita harus berusaha untuk mengerti. Pengertian benar memerlukan penggunaan otak, penelitian yang hati-hati, pembuktian dari kenyataan-kenyataan yang ada, keterbukaan. Dalam usaha untuk mendapatkan wawasan dan pengetahuan, kualitas-kualitas tadi akan terasah dan diperkuat.


Pikiran, Ucapan dan Perbuatan Benar

Ketiga tahap dari Delapan Jalan Kebenaran menjadi batang tubuh dari ajaran etika (moral) Buddhis. Orang-orang Kristen sering mencoba untuk memberikan kesan bahwa hanya moral merekalah yang berputar disekitar kelembutan, cinta kasih dan pengampunan. Tetapi, kenyataannya 500 tahun sebelum Yesus, Buddha mengajarkan etika yang berpusatkan cinta kasih dengan lebih baik dan lebih lengkap daripada ajaran Kristiani. Untuk melatih Pikiran Benar, kita hendaknya mengisi pikiran-pikiran kita dengan pikiran-pikiran cinta kasih dan belas kasihan.

Kembangkan pikiran yang penuh cinta kasih, belas kasihan, dikendalikan oleh kebajikan, timbulkan energimu, jadilah orang yang tegas dan selalu teguh di dalam membuat kemajuan. (Theragata 979)

"Develop a mind full of love, be compassionate and restrained by virtue, arouse your energy, be resolute and always firm in making progress" - Theragata 979

Ketika dengan satu pikiran yang penuh dengan kasih sayang, seseorang akan merasakan belas kasihan kepada seluruh dunia - yang di atas, dibawah dan disekeliling, tak terbatas ke seluruh penjuru, dipenuhi dengan kebaikan hati yang tak terbatas, lengkap dan terlatih dengan benar; dan semua perbuatanperbuatan  terbatas yang seorang telah lakukan tidak akan tetap hidup di dalam pikiran itu." (Jataka 37,38)

"When with a mind full of love one feels compassion for the whole world - above, below, and across, unlimited everywhere, filled with infinite kindness, complete and well-developed; any limited actions one may have done do not remain lignering in one's mind" - Jataka 37,38

Sama halnya dengan air yang menyejukkan kebaikan dan keburukan dan membersihkan semua kotoran dan debu, dengan cara yang sama kamu hendaknya mengembangkan pikiran-pikiran cinta kasih kepada teman dan lawan, dan dengan mencapai kesempurnaan dalam cinta kasih, kamu akan mencapai Pencerahan Sempurna (Jataka Nidanakatha 168-169)

"Just as water cools both good and bad and washes away all dirt and dust, in the same way you should develop thoughts of love to friend and foe alike, and having reached perfection in lvoe you will attain enlightenment" – Jataka Nidanakatha 168-169

Dalam melatih Ucapan Benar, kita hendaknya menggunakan kata-kata yang kita gunakan untuk mendukung kejujuran, kelembutan hati dan kedamaian. Sang Buddha menggambarkan Ucapan Benar seperti berikut ini.

Kalau kata-kata mempunyai lima ciri khas, ciri khas tersebut adalah: pengucapan yang benar, bukan pengucapan yang sembarangan, tidak disalahkan maupun dikutuk oleh orang-orang bijaksana, kata-kata itu diucapkan pada saat yang tepat, penuh kebenaran, lembut, langsung (tepat pada sasaran), dan digerakkan oleh cinta kasih. (Anguttara Nikaya, Books of Fives, Sutta 198)

"If words have five characteristics they are well-spoken, not ill-spoken, neither blamed or condemned by the wise, they are spoken at the right timem they are truthful, they are gentle, they are to the point, and they are motivated by love" - Anguttara Nikaya, Book of Fives, Sutta 198

Dengan keindahan dan kejelasan yang merupakan ciri khas dari Sang Buddha, Beliau menjelaskan seorang yang berusaha mengembangkan Ucapan Benar sebagai berikut.

Tidak berbohong, seorang menjadi pembicara tentang kebenaran, bisa diandalkan, patut dipercaya, bukanlah penipu dunia ini. Tidak memfitnah, seorang tidak mengulang di tempat lain terhadap apa yang didengar di tempat ini, atau mengulang di tempat ini terhadap apa yang didengar di tempat lain, yang tujuannya untuk memecah-belah orang. Sehingga, orang itu menjadi pemersatu dari yang terpecahkan, penggabung dari apa yang sudah bersatu, memberi kebahagiaan di dalam kedamaian, memberikan kesenangan di dalam kedamaian, mendukung perdamaian; perdamaian adalah penggerak ucapanucapannya.

Berhenti berkata kasar, seorang mengatakan apa yang tidak disalahkan, enak di dengar telinga, bisa disetujui, menyentuh hati, berbudi bahasa santun, menyenangkan dan disukai oleh semua khayalak. Berhenti mengucapkan hal-hal yang tidak berguna, seorang berbicara pada saat yang benar, mengenai kenyataan, tepat pada sasaran, tentang Dhamma dan ketekunan, kata-kata yang pantas untuk dihargai, sesuai dengan musimnya, penuh pertimbangan, diterangkan dengan jelas, dan berhubungan dengan
tujuan. (Digha Nikaya, Sutta No.1)

"Giving up lying, one becomes a speaker of truth, reliable, trustworthy, dependable, not a deceiver of the world. Giving up slander, one does not repeat there what is heard here, or repeat here what is heard there, for the purpose of causing divisions between people. Thus, one is a reconciler of those who are divided and a combiner of those already united, rejoicing in peace, delighting in peace, promoting peace; peace is the motive of his speech. Giving up harsh speech, one speaks what is blameless, pleasant to the ear, agreeable, going to the heart, urbane, pleasing and liked by all. Giving up useless chatter, one speaks at the right time, about the facts, to the point, about Dhamma and discipline, words worthy of being treasured up, seasonable, reasoned, clearly defined and connected to the goal." - Digha Nikaya, Sutta No.1

Perbuatan benar memerlukan kita untuk menghindari pembunuhan, pencurian dan perbuatan seksual yang senonoh, dan memerlukan kita untuk melatih kelembutan, kemurahan hati, kendali diri, dan memberikan pertolongan kepada yang lain.


Penghidupan Benar

Untuk melatih Penghidupan Benar, seorang akan bekerja di pekerjaan yang penuh moral, dan yang menghasilkan sesuatu yang tidak merugikan masyarakat ataupun lingkungan. Seorang tuan akan membayar pekerja-pekerjanya dengan adil, memperlakukan mereka dengan penuh hormat, dan memastikan keadaan kerja yang aman. Seorang pekerja di sisi yang lain akan bekerja secara jujur dan rajin. (Digha Nikaya, Sutta No.31). Seorang juga hendaknya menggunakan penghasilannya dengan bertanggungjawab - memenuhi kebutuhannya, menghematkannya, dan membagikan sebagian untuk amal.

"To practise Right Livelihood one will do work which is ethically wholesome and which produces something which does not harm society or the environment. An employer will pay his workers fairly, treat them with respect and make sure their working conditions are safe. An employee on the other hand will work honestly and diligently (see Digha Nikaya, Sutta No.31). One should also use one's income responsibly - providing for one's needs, saving some and giving some to charity.


Usaha Benar

Kepercayaan Kristen tentang Tuhan dan manusia membuat usaha manusia tidak bertalian/berhubungan. Manusia pada dasarnya adalah berakhlak buruk dan orang berdosa yang jahat.

"Orang miskin didorongnya dari jalan, orang sengsara di dalam negeri terpaksa bersembunyi semuanya." (Ayub 24:4)

"Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?" (Yeremia 17:9)

Tak lebih dari sekedar ulat (Ayub 25:6) manusia tidaklah mampu untuk menjadi baik, dan tidak bisa diselamatkan oleh usaha-usaha mereka sendiri melainkan hanya melalui keagungan Tuhan mereka terselamatkan. Buddhisme, dengan perbedaan yang mencolok, melihat watak dasar manusia sebagai baik dan dalam syarat-syarat yang mendukung, lebih mungkin lagi untuk berbuat kebaikan daripada kejahatan. (Baca: Milindapanha 84). Di dalam agama Kristen, manusia bertanggung jawab atas kesalahan yang mereka perbuat semasa hidup mereka tetapi juga manusia bertanggung jawab atas dosa yang diperbuat oleh Adam dan Hawa.

Catatan dari Penerjemah: Ayat yang mendukung pernyataan di atas dapat dibaca di Alkitab kitab Kejadian 3:15-19

Di dalam Buddhisme, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dia lakukan sendiri saja, dan berhubung watak dasar manusia adalah baik, ini berarti usaha, pengerahan tenaga dan ketekunan sangatlah penting. Sang Buddha berkata:

“Abaikan yang salah. Pengabaian itu bisa dilakukan. Kalau pengabaian ini mustahil, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini bisa dilaksanakan, Saya katakan kepadamu: "Abaikan yang salah". Kalau mengabaikan yang salah membawa kerugian dan kesedihan, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini menghasilkan manfaat dan kebahagiaan, Saya dukung kamu: "Abaikan yang salah".

Tanamkanlah kebaikan. Menanam kebaikan bisa dilakukan. Kalau hal ini tidak bisa dilakukan, Saya tidak akan mendukung kam untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini bisa dilakukan, Saya katakan kepadamu: "Tanamkanlah kebaikan." Kalau menanam kebaikan membawa kerugian dan kesedihan, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung menanam kebaikan menghasilkan manfaat dan kebahagiaan, Saya dukung kamu:

"Tanamkanlah kebaikan." (Anguttara Nikaya, Book of Twos, Sutta No.9) "Abandon wrong. It can be done. If it were impossible to do I would not urge you to do so. But since it can be done, I say to you: "Abandon wrong". If abandoning wrong brought loss and sorrow, I would not urge you to do so. But since it conduces to benefit and happiness, I urge you: "Abandon wrong." Cultivate the good. It can be done. If it were impossible to do, I would not urge you to do so. But since it can be done, I say to you: "Cultivate the good." If cultivating the good brought loss and sorrow, I would not urge you to do so. But since it conduces to benefit and happiness, I urge you:"Cutivate good"" - Anguttara Nikaya, Book of Twos, Sutta No.9


Kesadaran Benar dan Konsentrasi Benar

Dua tahap terakhir dari Delapan Jalan Kebenaran ini secara bersama-sama menjelaskan tentang meditasi, latihan yang penuh kesadaran dan lemah lembut  yang pertama-tama adalah mengenal pikiran itu sendiri. Kemudian mengatur pikiran itu, dan terakhir mengubah pikiran itu.

Meskipun kata meditasi muncul sekitar dua puluh kali di dalam Alkitab, tampaknya kata meditasi itu hanya ditujukan kepada latihan sederhana dengan merenungkan ayat-ayat dari tulisan Kitab Suci. (Misalnya Yosua 1:8). Alkitab tampaknya sama sekali meniadakan tehnik-tehnik meditasi yang luas yang ditemukan di tulisan-tulisan Buddhis.

Hasilnya adalah, ketika orang-orang Kristen fundamentalis tergoda oleh nafsu-nafsu jahat atau terganggu oleh pikiran-pikiran negatif, satu-satunya yang bisa mereka perbuat adalah berdoa lebih keras. Ketidakhadiran meditasi adalah juga sebab mengapa orang-orang Kristen sering tampak gelisah dan sangat minim akan keagungan. Keagungan yang tenang dan ketidakgelisahan adalah ciri khas dari umat Buddha.

Catatan dari Penerjemah: Memang diakui bahwa terdapat banyak umat Buddha yang gelisah, dan berbuat jahat. Akan tetapi ciri khas keagungan dan ketenangan itulah yang juga menjadi sebab umat Buddhis tidak keluar mencaricari umat baru. Bukan karena sombong atau angkuh, tetapi karena umat Buddhis pada umumnya mengerti bahwa pemaksaan kehendak tidaklah diperlukan jika kita ingin berbuat kebaikan, dan umat Buddha sadar bahwa Dhamma tetap berlaku kepada semua orang, bukan hanya untuk Buddhis saja. "Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!" (Mazmur 46:11) tetapi orangorang Kristen tidak bisa duduk dengan diam, apalagi berdiam di dalam pikiran  walaupun untuk sejenak. Tuhan juga berkata "berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam." (Mazmur 4:5) yang persis dilakukan oleh umat-umat Buddhis ketika mereka sedang bermeditasi.

Tetapi pelayanan-pelayanan dan doa-doa Kristen karismatik dan penyebar Injil yang fanatik seringkali terlihat seperti perpaduan antara konser musik rock dan kekacauan, dengan pendeta yang berteriak, menggerak-gerakkan tangannya sambil berbicara ketika para jemaat bergoyang kesana-kemari, "mengeluarkan suara tanpa arti", menangis dan bertepuk tangan.

Catatan dari Penerjemah: Perlu para pembaca ketahui, Kristen maupun Buddhis, bahwa inilah kenyataan apa adanya yang telah disampaikan secara jujur, bukan hinaan yang penuh kebohongan. Apa yang dilakukan di dalam Gereja, tampaknya mengandung hal-hal yang tidak sesuai dengan isi Alkitab.

Tak jarang pula, sering terdengar bahasa-bahasa yang tidak bisa dimengerti yang diteriakkan di dalam tempat kebaktian, yang sampai hari ini tak seorangpun tahu apa arti kata-kata yang diteriakkan itu.

Kelebihan besar yang dimiliki oleh agama Buddha adalah, bukan hanya kita dinasihati untuk menjadi tenang, damai, bebas dari nafsu-nafsu kotor, dan mempunyai kesadaran diri, tetapi juga menunjukkan kepada kita bagaimana untuk menimbulkan keadaan tenang, damai, bebas dari nafsu dan kesadaran diri itu. Ada meditasi-meditasi yang menghasilkan ketentraman, untuk merubah kekotoran mental, mendukung keadaan mental yang positif, dan juga untuk merubah sikap-sikap yang tidak baik. Dan tentunya, ketika pikiran yang tenang dan bebas dari praduga, ide-ide yang sudah tertanam, dan nafsu-nafsu yang mengganggu, akan lebih bisa melihat segala hal apa adanya.

Tidaklah mengherankan bahwa banyak meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha
sekarang digunakan oleh para psikologis, ahli jiwa, dan para penasehat.







Artikel Yang Berhubungan Badan:


0 Response to "Beyond Belief Bab 6 - Ajaran Sang Buddha – Alternatif yang Masuk Akal [Khusus Buddhis, Non Buddhis Jangan Baca!]"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme